"Aku juga tidak tahu, apa itu tudung hitam. Yang jelas, Ilham membutuhkan kita. Bantu aku, Ba." Amara memohon dengan wajah sendu.

Adiba mengembus napas pelan. Sesekali ia juga melirik ke arah rumah megah tersebut. Jika Ilham berada dalam bahaya, sudah dipastikan kondisi Ahmad pun sama. Karena keduanya memiliki potensi yang kuat untuk kelompok tersebut.

"Baiklah. Tapi, kamu harus menuruti semua kata-kataku. Aku mohon, jangan gegabah." Tukas Adiba. Amara pun mengangguk.

Selang beberapa jam kemudian, Adiba sudah jauh meninggalkan tempat tersebut. Ia memercayai Amara. Ia yakin, gadis itu akan berhasil menolong Ilham. Bukan tak mau ikut masuk ke dalam, jika sampai Pak Asep tahu keberadaannya, pasti pria tua itu akan melakukan segala cara untuk menangkap dirinya.

Adiba berjalan perlahan menyusuri rerimbunan daun. Batang-batang kering yang tergeletak di atas tanah pun patah terinjak kaki. Ia tak lagi memikirkan letak gubuk yang diberi tahu oleh Pak Usman. Yang ada dipikirannya saat ini adalah kembali ke desa. Menyelamatkan orang-orang di sana. Meskipun ia tak yakin, apakah mampu melakukannya.

"Jangan lupa kembali,"

Itu menjadi kalimat terakhir yang disampaikan oleh Adiba kepada Amara. Pelupuk matanya terlihat nanar, linangan air mata tak mampu ia tahan. Bagaimana pun juga, ia sangat berbeda dibanding Amara. Gadis itu memang tidak memiliki apa yang ia miliki, namun tekadnya yang sangat kuat, membuat dirinya kagum kepada gadis cantik itu.

"Ya Allah, hamba mohon lindungi adik hamba," batin Adiba dalam hati.

Sesampainya di perbatasan hutan dan desa, remang-remang Adiba melihat seseorang tengah berjalan dengan langkah cepat menuju pemukiman warga. Orang tersebut juga tampak melenggang dengan tegang tanpa melihat area sekitar. Adiba berjalan mengendap-endap, mengikuti orang tersebut.

Tak lama kemudian, Pemandangan yang mengerikan benar-benar membuat kedua mata Adiba tak sanggup untuk berkedip. Tampak begitu banyak tubuh yang tergeletak di atas tanah, darah berceceran di mana-mana. Kondisi rumah para warga pun begitu memprihatinkan.

Apa yang sedang terjadi? Adiba terjatuh lemas, air matanya tak sanggup lagi ia tahan. Mengapa semuanya harus terjadi, apa sebenarnya tujuan dari pembuat masalah ini? Jika hanya sekadar balas dendam, mengapa harus mengorbankan orang yang tak bersalah?

Adiba kian terpuruk. Ia tak tahu harus memulai dari mana. Sedikit cerita yang ia ketahui dari sang bapak, Parta, membuat dirinya semakin ketakutan. Benar, sesuatu yang kelam tengah menanti dirinya saat ini. Sesuatu yang sangat gelap dan hitam. Adiba terus terisak, kepada siapa ia akan meminta bantuan? Sementara sang bapak diketahui sudah lama meninggal.

"Bangkitlah, Nduk. Kalau kau begini terus, bukan mereka saja yang akan mati, kau pun juga ikut mati."

Adiba segera menoleh, ia terkejut melihat sosok yang mengajaknya bicara.

"Ba-bapak!" Seru Adiba.

"Mari kita lawan sama-sama. Percayakan semuanya sama Allah, dan yakinlah kalau kita pasti menang." Ucap Seseorang yang dipanggilnya bapak.

Adiba beranjak dari tanah, kemudian berdiri, menyeka air matanya. Lalu berjalan menghampiri orang tersebut.

"Semua yang terjadi itu, karena ulah Bapak sendiri! Kenapa, Pak? Kenapa harus Adiba yang kena? Kenapa?" Adiba mendorong tubuh orang tersebut, sehingga pria itu hampir terjatuh.

"Maafkan Bapak, Nduk. Maafkan Bapak." Orang tersebut segera berlutut di hadapan Adiba. Adiba kembali terisak.

"Pak Kiai, semua su ..." Pak Usman menjeda kalimatnya, saat melihat Kiai Sobirin tengah berlutut di depan Adiba.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now