"Saya tidak mau putus di tengah jalan, Wan. Saya ingin Ilham hanya mengabdi kepada Nyai. Dia sudah terlalu lama tersesat, karena ajaran Sobirin." Balas Pak Asep sambil terus mengguyur segayung darah ke tubuh Ilham.

Sama seperti Ahmad, Ilham juga sedang tak sadarkan diri. Entah setan apa yang merasuki Pak Asep. Anak laki-laki semata wayangnya yang begitu rajin beribadah, kini justru dijerumuskan ke hal yang tidak di benarkan oleh agama.

"Tapi, Pak Lek ..." Wawan segera menjeda kalimatnya. Ia mengurungkan kalimat yang hendak ia tanyakan kepada pamannya itu.

"Tapi apa, Wan? Kalau bicara itu jangan setengah-setengah. Bicara saja tidak usah sungkan," pinta Pak Asep ketika menyadari Wawan sengaja menjeda kalimatnya.

"Tidak apa-apa, Pak Lek. Saya cuma kagum saja sama Pak Lek." Wawan berkilah dengan memuji Pak Asep. Ia sengaja melakukannya supaya pria itu tak lagi mencurigainya. Pak Asep adalah tipikal orang yang haus pujian, ia begitu mudah tersanjung ketika ada orang yang memujinya.

"Kamu itu dari dulu tidak berubah, Wan. Saya bangga sama kamu," ujar Pak Asep dengan tersenyum.

"Ham, sepertinya saya harus segera menyelamatkanmu," batin Wawan.

Ritual mandi darah pun selesai. Pak Asep kini beralih mengambil secawan darah dari gentong. Darah kental yang berbau anyir itu, di dapat dari berbagai macam cara. Pak Asep, terkenal kejam jika mengeksekusi korbannya. Ia tak memandang siapa pun orangnya, termasuk istrinya sendiri.

Setelah selesai memandikan Ilham, Pak Asep berpindah ke ruangan lain. Ia harus menyuruh Ilham meminum setetes darah milik Nyai Sekar sebagai tanda pengabdian. Pak Asep menitipkan Ilham sebentar ke Wawan. Pria itu hanya mengangguk.

Usai kepergian Pak Asep, Wawan segera membangunkan Ilham. Ia menggoyangkan tubuh Ilham dengan kasar, berusaha sebisa mungkin agar pemuda itu lekas bangun.

"Ayo, Ham. Bangun, Ham! Kamu tidak boleh ikut tersesat seperti kami, Ham! Sadar, Ham! Sadar!" Ucap Wawan sambil mengulang-ulang perbuatannya.

Namun, usahanya tak membuahkan hasil yang bagus. Ilham masih bertahan di alam mimpi. Pemuda itu sama sekali tak bergerak sedikit pun, walaupun Wawan sudah sangat kencang menggoyang tubuhnya.

Wawan hampir putus asa, ia tak tahu lagi bagaimana caranya membuat Ilham terbangun. Air matanya mulai menggenang di ujung mata, pria itu tampak menyesal. Rupanya, amarahnya di waktu itu membuat dirinya jauh dari ketenangan. Ia selalu merasa cemas, kala usai melakukan aksi kejinya.

Kedua tangannya sudah terlalu lama menyakiti orang lain. Bahkan, tangan tersebut juga sudah menghilangkan begitu banyak nyawa demi ambisi yang tak pernah usai.

"Hust! Hust!"

Seketika Wawan menengadahkan wajah. Ia mendengar ada seseorang yang memanggilnya.

"Siapa kamu?" Tanya Wawan saat melihat seorang gadis yang tengah melambai ke arahnya.

"Kemarilah," pinta sang gadis.

Wawan beranjak, kemudian berjalan menuju gadis tersebut.

"Amara!" Wawan terkejut, ketika melihat gadis yang memanggilnya adalah Amara, anak Kiai Sobirin.

"Izinkan saya membantu, Anda, Pak. Saya akan membantu semampu saya." Ucap Amara setengah berbisik.

"Dari mana kamu tahu tempat ini! Dan kenapa kamu bisa ada di sini?" Wawan masih tak percaya jika gadis tersebut sangat berani masuk ke dalam rumah Pamannya.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now