d-12 | couldn't have him sit there and think

Start from the beginning
                                    

Trinda hampir saja menyebutkan kalau bukan cuma mobil, semalam dia juga dipinjami charger laptop dan pakaian ganti. That's not a big deal, kecuali kalau yang mau dipinjam adalah BPKB mobil atau sertifikat apartment.

"Emang Mas Ismail yang Mas kenal kayak gimana?"

"Medit."

"Hah? Mana ada Mas Ismail pelit!" Jelas saja Trinda nggak terima. Wong royalnya kayak gitu dibilang pelit!

"Maksud gue bukan pelit yang kayak gitu. Tapi ..." Mas Iman mikir-mikir dulu kalimat yang menggambarkan maksudnya. "... protective banget sama barang-barang pribadi. Gue belum pernah lihat dia minjemin mobil ke orang lain."

"Mas aja yang nggak tahu, kali. Di circle Mas Ismail, aset pribadi tuh udah kayak nggak ada harga diri, bebas dipake bareng-bareng."

Dan Trinda nggak asal ngomong, karena bahkan selama lima tahun terakhir Mas Zane tinggal di luar negeri, apartemen kosongnya dibiarkan bebas ditempati teman-temannya kalau sedang butuh tumpangan di Jakarta. Bukan cuma apart, bahkan mobil nganggurnya, Bentley Bentayga seharga 9 M sudah lima tahun belakangan dipakai Mas Gusti.

Tidak eksklusif properti Mas Zane doang, yang lain juga sama saja gilanya. Bukti bahwa bersahabat sebelas tahun lamanya bisa membuat hubungan manusia jadi lebih kental dibanding darah—dan Trinda yang titelnya adalah 'adik bersama' jadi merasakan benefit pertemanan mereka juga.

Mas Iman melengos. "Lo dibawa ke apart-nya juga, kan?"

"Emangnya aku karung belanjaan, dibawa-bawa??"

"Ya maksud gue, diundang masuk, kan? Coba lo perhatiin isi rumahnya. Kayak showroom IKEA, nggak pernah disentuh orang."

"Terus mbak-mbak home cleaning bersihinnya gimana kalau nggak nyentuh??"

"Bodo ah, capek gue ngomong sama lo."

Trinda meringis tipis. "Mas omongannya ngelantur, sih. Lagian kenapa mendadak ngomongin levelku?"

"Soalnya elo kan lagi pedekate ama doi!"

"Lah??" Trinda jelas shock karena nggak ingat pernah memberitahu siapapun di Nowness, selain mbak-mbak bartender, mengenai misi rahasianya. "That's nonsense, Mas."

"It's an open secret, Trinda. Main lo kurang cantik."

Trinda mingkem sesaat. "Mas denger gosip murahan gitu dari mana?"

"Nggak perlu ada yang ngasih tau, semua orang di kantor bisa nyimpulin sendiri."

Trinda mingkem lagi. Padahal selama dua bulan jadi intern, modusnya bisa dihitung jari, nggak terang-terangan pula. Karena dibanding apapun, dia nggak mau kelihatan needy dan bikin si mas jadi nggak nyaman. Juga nggak mau ada yang mengungkit-ungkit kalau dia masuk ke Nowness lewat jalur orang dalam.

"Yes, menurut lo udah smooth, tapi menurut semua orang masih kentara" Mas Iman ngoceh lagi.

"Nggak sekalian nunggu tahun depan aja ngasih taunya?" Trinda berdecih. "Kalau Mas baru bilang sekarang, pas semua orang di kantor udah tau, terus fungsinya buat apa?"

"Kalau tadi gue nyebutnya 'semua' orang di kantor, berarti Ismail juga termasuk, Trinda Farhan Satria! Dan kalau gue bilang level lo udah naik, berarti apa?"

Alih-alih mencerna omongan Mas Iman itu, Trinda malah salah fokus dengan nama politisi yang digunakan si mas untuk memplesetkan namanya.

"Artinya peluang lo gede, Astagfirullah, telmi amat." Mas Iman mengusap mukanya dengan kedua tangan karena gemas. "Gue bilang gini biar lo cepet ambil keputusan, apalagi besok hari terakhir lo ngantor. Tau sendiri kan, traffic Ismail lumayan padet? Lo lengah sedikit aja, dijamin udah ada yang nikung."

Dated; Engaged [COMPLETED]Where stories live. Discover now