Urakan, kata yang terlintas begitu saja dan menjadi gambaran yang terlalu jelas untuk menggambarkan mereka.

"Ibu mau minta tolong kamu awasin mereka, lagi gak ada keperluan juga kan? Soalnya ibu masih ada jam di kelas sepuluh,"

Walau sebenarnya ingin menolak, pada akhirnya yang bisa Laura lakukan adalah mengangguk dua kali bersama senyum paksanya, "iya bu, bisa," padahal sebenarnya dia ingin sekali membaca lanjutan novelnya di perpustakaan setelah tadi ke toilet. Akh! Sekarang dia menyesal tidak menahan diri lebih lama saja tadi di perpustakaan.

"Ya udah, ibu tinggal dulu ya. Marahin aja mereka kalau mau coba-coba kabur, atau kalau perlu catat aja namanya biar ibu tambah hukumannya,"

"Iya bu,"

Setelahnya yang tersisa adalah Laura bersama tatapan dari kedelapan pasang mata yang kini menatap ke arahnya.

"Gak ada tawar-menawar ya kakak-kakak, denger sendiri kan ibu bilang apa?" ucap Laura langsung.

Ini lah yang sangat dia hindari. Selain senior-senior bandel yang pastinya akan memanfaatkan kekuasaan mereka sebagai sang tertua, Laura juga malas jika harus menjadi target jahilan mereka nantinya.

"Ra, panas loh ini, masa lo gak kasian sama kita," melas Putra begitu Laura sudah menempati salah satu undakan tangga yang memang berada sejajar dengan keberadaan mereka.

"Makanya jangan bolos lain kali," acunya sembari mengeluarkan earphone dari saku kemejanya.

"Wah.. bang parah banget, masa Lau ngatain abang,"

Laura yang mendengar namanya di sebut oleh Kafka dengan cepat mendelik pada cowok bertindik itu. Melototkan matanya kala cowok-cowok yang se-angkatan dengannya itu hanya tertawa senang.

"Saya gak bilang kakak-kakak loh. Fitnah tuh kak!" bantahnya cepat.

Dengan kesal Laura menunjuk Kafka dengan alis yang sudah bertekuk marah, lalu mengarahkan jari telunjuknya segaris dengan lehernya, seolah memberi isyarat bahwa dia akan menghabisi cowok itu setelah ini.

"Uwhh! Ngeri bu wakil," kekeh Pati semakin menggodanya.

Mendengkus malas, Laura memilih untuk mengabaikan mereka. Lebih baik dia melanjutkan aksi membaca novelnya yang sempat tertunda bersama musik yang sudah mengalun lembut melewati rungunya.

"Awas aja pada kabur, gue laporin bu Jehan nanti!" ancam Laura menatap mereka satu per satu.

"Jangan berhenti hormat Tria!"

"Ish! Pegel nih!"

Menjulurkan lidahnya mengejek, akhirnya Laura mulai tenggelam dalam bacaannya. Setiap pergantian lagu dirinya juga sesekali mengecek kondisi kedelapan pemuda yang masih setia di tempat mereka itu--walau tak jarang dirinya harus kembali menegur kala mereka mencuri-curi kesempatan untuk duduk.

Entah karena sudah sangat tenggelam dalam konflik dari novel yang di bacanya atau Laura yang memang mulai malas menegur kelakuan mereka, dirinya sudah tak lagi menaruh fokus pada amanah bu Jehan. Dirinya seolah lupa dan hanya fokus pada dunianya sendiri. Hingga tarikan pada earphone sebelah kanannya terlepas dan sebuah suara berhasil mengisi lagu yang seakan hilang begitu saja.

"Fokus banget sampai gak nyadar masih ada kita,"

Megerjap bingung, Laura melarikan tatapnya ke arah Bumi yang kini berada tepat di sampingnya, sejajar dengan keberadaan Putra, Tria, Kafka, dan Pati yang mulai ikut berteduh di undukan yang lain. Sedangkan di tempat mereka berdiri tadi sudah tak ada keberadaan Rama dan kedua temannya.

"Loh? Kok udah pada bubar?"

"Udah bel istirahat Lau, sibuk sendiri sih," jelas Putra.

Seakan tak cukup percaya, Laura mulai mengedarkan pandangnya, melihat kerumunan murid-murid yang mulai memenuhi area koridor.

AmertaWhere stories live. Discover now