"Waw, thanks, Bro. Gue sarapan dulu, yak! Lo kalau butuh apa-apa, ada baby sitter tuh, yang bakal bantu lo." Tak menunggu lama, Ravend beranjak dari sana sembari membawa roti tawar tersebut. Namun, ia kembali lagi ketika lupa membawa topping untuk rotinya.

"Duh, lupa. Buat gue kan, ya? Iyalah, kan, dilempar ke gue," monolognya sendiri.

Aiden hanya bisa pasrah. Menanggapi Ravend sama halnya seperti menanggapi preman kurang akhlak. Mau sebanyak apapun ancaman tak akan mempan.

"Bisa serius?" Aiden berucap dengan datarnya.

Bulu kuduk Ravend langsung berdiri kala netranya bertatap langsung dengan sorot tajam dari mata Aiden. Mulutnya yang tengah mengunyah roti pun berhenti seketika.

Ravend mendudukkan dirinya di atas kursi di samping ranjang rumah sakit yang terdapat Aiden di atasnya, kemudian menatap Aiden dengan tatapan yang berbeda dengan sebelumnya. Tatapan yang mengajak keseriusan, meskipun mulutnya tak juga berhenti mengunyah. Nanggung, katanya.

"Apa? Mau bilang apa? Gue dari tadi juga serius nanya, lo-nya ngga mau jawab. Sekarang mau bilang apa?" tanyanya beruntun.

Aiden sempat terdiam sesaat, "emang tadi lo nanya apaan?"

Ravend berdecak. Ia berpikir Aiden segera mengucapkan kalimat yang membuatnya penasaran. Namun, kenyataannya, ia malah balik bertanya.

"Gini, nih, kalau orang baru bangkit dari alam ghaib. Mau ditanya beberapa detik yang lalu juga lupa," katanya jengah.

Aiden menggigit bibirnya. Ia bahkan seperti orang linglung sekarang. Tatapan kosong itu kembali lagi menghampiri raga Aiden. Pandangannya yang semula menatap Ravend, kini tak lagi berarah, ia seperti menunduk.

"Heh, heh, Den. Sadar lo, nyet! Ga usah bengong lagi. Kemasukkan poci mampus lo! Sadar, sadar. Istighfar. Tau istighfar ga? Yang Alhamdulillah .... Eh, astaghfirullah. Iya, yang begitu. Ayo, gue tuntun. Astaghfirullahaladzim ...."

"Astaghfirullahaladzim," Aiden mengikuti.

"Iya, terus. Astaghfirullahaladzim, 3 kali, Den. Kalau mau lebih ngga papa. Ayo, lagi."

"Astaghfirullahaladzim."

"Astaghfirullahaladzim ...."

"Udah. Gimana?" tanya Ravend masih setengah panik.

"Udah. Gimana?" Aiden menirukan lagi.

"Ealah si monyet. Ya, ga usah lo tiruin lagi lah bego! Udah selesai. Mau gue ruqyah lo?" kesal Ravend.

Aiden tak menjawab lagi. Ia masih dengan tatapan kosong itu. Membuat Ravend semakin gelisah. Takut jika tiba-tiba Aiden berubah menjadi monster yang mengerikan, yang akan menyerangnya secara tiba-tiba. Atau mungkin, tiba-tiba Aiden kemasukkan jin jahat.

"Den .... Sadarlah, sadarlah, sadarlah. Bim bim salabim, abrak kadabrak, muah." Keluarlah mantra tak berguna dari mulut Ravend, diakhiri dengan bibirnya yang sudah monyong hendak mencium Aiden.

Entah reflek atau tiba-tiba sadar, Aiden segera menjauhkan kepalanya dari bibir Ravend yang seperti bebek. "Ngapain lo?"

"Nyium lo biar sadar."

"Kagak, kagak. Minggir lo!"

"Mau ke mana emang?"

"Nikahin emak lo!" sebal Aiden pada Ravend.

"Mak gue, kan, udah ngga ada, Den. Lo mau nikahin mayit apa gimana? Terus calon bini lo gimana? Duh, sayang banget, Den, kalau lo sia-siakan. Siapa tau cantiknya modelan kayak Jennie Aespa gitu."

"Terserah."

"Kayak cewek lo, ngomongnya terserah-terserah."

"Diem lo! Ngomong lagi gue lakban beneran," ancam Aiden.

"Emang lo bawa lakban?"

"Gue beli ntar."

"Emang lo bawa duit?"

"Minjem dulu"

"Mau minjem siapa lo?"

"Lo kek, atau siapa?"

"Eits, ngga bisa. Gue pelit, ngga mau minjemin."

"Terserah ah. Minggir lo!" perintah Aiden agar Ravend menepi, tidak menghalangi aksesnya untuk turun dari ranjang.

"Mau ke manaa?" Ravend masih bertanya.

"Kamar mandi"

"Bisa jalan?" tanyanya lagi.

"Gue ngga lumpuh, Pen!"

Ravend pun hanya menahan tawanya. Sungguh, sebenarnya malam ini ia bahagia dengan kesadaran Aiden. Namun, tak tanya itu. Membuat Aiden kesal juga menjadi kebahagiaannya.

Sembari menunggu Aiden menyelesaikan hajatnya di kamar mandi. Ravend tanpa sengaja melirik nakas di samping ranjang yang terdapat ponsel yang sedang dicas. Layar ponsel itu menyala, melihatkan sebuah notifikasi WhatsApp dari nomor tak dikenal.

+62 81235645789
| Assalamualaikum
| Permisi, ini nomornya A' Aiden bukan? Salam kenal, A'. Aku ....

Alis Ravend bertaut. Siapa cewek yang mengirim pesan itu? Mengapa ia memanggil Aiden dengan sebutan A'a? Mungkinkah itu adiknya? Namun, Aiden bahkan bercerita padanya bahwa adik dia satu-satunya sedang di luar negeri. Kecil kemungkinannya bila itu nomor adik Aiden. Terlebih lagi memanggilnya dengan sebutan A'a.

Lantas, siapa cewek tersebut?




==========================================

Siapa tuh?!
Tebak, tebak. Dia adeknya Aiden atau .... Pacarnya Aiden? Atau .... Siapa, yaaa

Komen, dong. Yang bener dapat kebenaran wkkwkw

Duh, maaf, ya, Chaens. Lamaaaaa banget ga update. This is cemas, cewe pemalas.
Ah, ga deng. Mang lagi sibuk aja sama urusan kehidupan yang tiada ujungnya ini. Makanya, mumpung liburan, aku mau usahakan untuk rajin update. Semoga aja ga ingkar ucapan lagi, yak.

Tapi, ya ga tiap hari juga, sih ...

Dah, intinya begitu dah.

Kalian apa kabar btw?
Jangan lupa votment, ya!

Babayy

Hi, We Are ZxVorst Team Where stories live. Discover now