#24

19 2 0
                                    

|| 691 words ||

Pelabuhan tampak ramai.

Nah, ramai yang kumaksud di sini bukanlah sedang tiup terompet, riuh kembang api atau pawai, melainkan puluhan pria bagai gigantis sibuk mengangkut box-box ke kapal. Dalam sekali lihat, bulu romaku meremang. Ini mirip seperti yang ada di mimpiku sekian hari lalu—entah kapan. Nah, kalau kau lupa, kembalilah ke chapter 5, Bung.

Pelabuhan ini lumayan besar, muat sekitar empat atau lima kapal bajak laut ukuran sedang. Kayunya agak keropos, menopang beban puluhan kilogram dari apa pun yang ada di atas lantai kayu buluk kehitaman itu. Obor-obor dibiarkan menyala berkeredep dalam keremangan, pada setiap tiang-tiang sebuah jembatan yang menjulur ke laut gelap.

Apa pun isi-isi kotak yang mereka bawa, tampaknya memiliki berat tak serupa. Dari kisah Pablo dan Kanda, kotak-kotak itu bermuatan barang, entah barang apa aku tidak tahu, yang akan dibawa ke Daratan Hijau.

"Sepertinya aman." Alea bersiap bangkit dari persembunyian, tetapi Kanda keburu mencengkeram pergelangan tangan gadis tomboy itu.

Nah, aman yang Alea maksud di sini sama sekali tidak aman bagiku. Melihat kumpulan raksasa yang seperti siap menggencet badan itu barangkali hal yang lumrah untuk Alea. Katakanlah mereka tiba-tiba menyeringai dengan gigi setajam taring harimau, itu aman-aman saja bagi Alea.

Wah hebat, pikirku. Selamat datang kematian.

"Kurasa kita perlu cara lain," jelas Kanda, seakan-akan semua ini telah terencana dengan matang.

Kanda menjelaskan secara singkat—benar-benar singkat—membuatku agak menyesal ikut mereka sampai di sini. Kala Alea dan Kanda berdiskusi, Vader sibuk bertanya pada mereka yang keduanya balas dengan singkat saja. Aku dan Anya tak banyak berpartisipasi dalam menyanggah, setuju atau tidak pada rencana mereka. Intinya, apa yang akan terjadi nanti, sudah pasti kami akan berada di ambang kematian. Seperti yang sudah-sudah. Pablo sedari tadi menyimak, meski kedua netra reptil pemuda itu mengamati pelabuhan dengan intens.

"Masuk ke dalam peti?" tanyaku terbawa efek kejut setelah brainstorming mereka selesai. "Kalian bercanda, ya?"

"Cuma itu satu-satunya cara yang aman," kata Kanda yakin.

Mungkin saja. Karena aku tidak ingin mati dipiting para pria besar itu, aku oke-oke saja pada rencana besar Kanda dan Alea.

Berjalan pelan menyusuri petanahan becek, kami tiba di sekumpulan pekerja yang ada di pekarangan tenda-tenda yang berdiri. Satu api unggun menyala di tengah 4 tenda. Banyak box-box kotak, persegi panjang, hingga tong kayu yang tertumpuk. Beberapa pekerja masih mengangkut menuju ke kapal pinggi pantai.

Di depan api unggun, terdapat tiga pria. Keduanya berbadan besar, yang satu jangkung mirip sebatang kayu lapuk, yang jika tertiup angin bakal terseret. Mereka duduk pada dahan pohon yang sepertinya telah lama tertanam dan terpotong di sana. Ketiganya berpakaian buluk, hitam dan dipenuhi noda kecoklatan dan merah yang gelap. Sama-sama mengantuk. Mata mereka mengatup, lalu terperanjat sekian detik berikutnya, kemudian tertutup lagi.

"Baiklah," kata Kanda. "Kalian lihat peti yang ada di sana?" Ia menujuk dua peti yang tersusun di samping tenda paling ujung. Sekitarnya terdapat box dan tong kayu. Tingginya muat untuk berjongkok dan sepertinya memiliki lebar yang lumayan untuk kedua sudut bahu. "Itu rencananya."

Kami melangkah pelan, memutari belakang tenda yang luar biasa bau busuk. Terpal-terpal ini seperti dibiarkan berdiri si sini selama berminggu-minggu. Tak terurus dan hanya akan dibersihkan seadanya kala ingin digunakan. Dindingnya pun tampak bolong-bolong menyedihkan, seperti telah lama melewati masa-masa pelapukan alam.

Ketika tiba, Pablo dan Kanda perlahan menurunkan peti yang paling atas. Mereka bertiga masuk ke dalam sana; Kanda, Pablo dan Alea. Aku merinding mendadak. Demi Tuhan, semenit berada di dalam kotak yang sempit, pengap dan bersesakkan seperti misi bunuh diri massal. Mereka masuk, lalu menutup pintu peti

"Kau nggak apa, kan, bersesakan di dalam sini?" Aku menatap Anya. Kacamatanya tampak basah karena tetes air dari dedaunan.

Ada jeda lama sebelum Anya membalas, "Tidak masalah."

Yah, tidak masalah yang dia maksud pasti memiliki makna bertolak belakang. Namun, memang seharusnya Anya melawan phobia-nya untuk bangkit.

"Baiklah. Kalau begitu, kita akan—"

"—bahlul! Cepat masuk!" Vader menarik lenganku kuat. Membuatku refleks berjongkok.

Kami telah berbaris di dalam peti, lalu Vader menutup cepat, sebab terdengar jejak kaki mendekat kemari dengan obrolan singkat dari dua suara.

"Kata Bos angkat peti, ya?"

"Yah—jangan banyak tanya. Lekas."

"Hanya memastikan. Berapa—"

"Semuanya. Semua peti."

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang