#03

66 32 18
                                    

|| 1212 words ||

Ayah menghapus buliran air disudut matanya; mama terus memegang pundakku kuat-kuat dari belakang.

Pagi itu, aku menangis sejadi-jadinya. Area pemakaman jadi tempat terakhir nenek sebelum naik ke alam selanjutnya. Banyak keluarga maupun tetangga berpakaian serba hitam di sini sedang berbelasungkawa, pengecualian dua orang tukang gali kubur yang tak sempat pulang, ikut berdiri sambil memegang cangkul dengan pakaian seadanya yang penuh noda tanah.

Padahal satu hari sebelumnya, saat di teras rumah, nenek pernah berkata, "Kalau Nenek mati, kau jangan menangis, Nenek---"

Aku bingung. "Kenapa Nenek harus mati?"

"Hei, Nak, Nenek tidak mau hidup di dunia sampai kurus kering." Ia mengangkat lengan kanan, lalu menarik kulit bawahnya. "Lihat, sudah mengendur. Artinya Nenek sudah tidak lama lagi."

"Apanya?"

Nenek diam sejenak. "Naik odong-odong," tuturnya. Tatapan manik kelabunya sempat kosong. "Kemarin Nenek bilang ingin naik odong-odong, kan, ya?"

"Tapi Nenek, festival raya diadakan tiga minggu lagi," kataku memberi tahu. Odong-odong bukan macam Om Siomay yang selalu lewat depan rumah sore hari.

Nenek menatapku. Lagi-lagi, kekosongan tampak pada pandangannya. Nenek tersenyum sejenak, lalu ia mengalihkan pandang ke arah lain. Ditatapnya pigura foto di atas lemari berlaci. Fotonya, ayah, mama dan aku, dua tahun lalu saat festival raya. Dengan pengambilan gambar jelek sekali, dijepret saat aku tengah menangis karena ingin dibelikan mainan balon terbang berbentuk kepala Doraemon.

"Semoga Nenek belum mangkat," sahutnya, "ngomong-ngomong, Nenek akan membersihkan rumah hari ini. Kau bantu Nenek, ya?"

Aku nyengir bersemangat. "Em, sebenarnya, Nek, kalau Nenek tidak keberatan, aku bisa menarik daun kelapa, lalu nenek ikut di atas---"

"Terima kasih, Nak. Tapi tidak," potongnya cepat. "Ayo kita bersih-bersih rumah, Nenek tidak sabar."

Saat itu, aku belum paham atas apa yang nenek tuturkan. Semua kalimatnya kurasa masih normal, tidak mengandung makna lain. Nenek ingin mati, tapi kupikir itu cuma candaan semata.

Sore itu, aku, ayah dan mama belum pulang ke rumah. Jadinya kami masih tinggal di rumah nenek. Kata mama kami bakal pulang saat malam, mungkin menginap lagi, karena Pak Morris—tetangga Nenek di perumahan sini, sedang mengadakan syukuran; anaknya usai sunatan.

Ayah dan mama menghadiri acara Pak Morris, sementara aku dan nenek bersih-bersih rumah. Nenek sudah kepalang tua dan bungkuk—seperti yang kubilang—tapi dia semangat sekali menyapu lantai rumah hingga halaman depan sampai belakang.

"Di sini," kata Nenek. Wanita tua itu memetakan tempat di tanah pakai sapu. Di tumbuk-tumbuknya ujung sapu ijuk ke tanah berumput di halaman belakang rumah. "Nenek mau dikubur di sini."

Keningku mengernyit. Saat itu, aku tengah menarik karet ketapel untuk memanah buah mangga. "Nenek ingin menanam buah mangga lagi? Dikubur di sana?"

"Bukan, Nak, bukan. Misal Nenek mangkat, Nenek—"

"Oah!" Aku terkejut, lantas terduduk ke tanah. Ketapelku ikut terlempar entah terbang ke mana. Nenek bergerak cepat—atau bergerak lambat—ke arahku. "Ada apa? Kau berteriak seperti baru saja melihat tuyul melayang."

"Itu!" Kutunjuk sesuatu di balik dahan pohon mangga. "Dia-dia bikin aku terkejut!"

Nenek menoleh pada arahan jari telunjukku, di dahan itu. "Nak, kau masih normal? Dahan pohon tidak mungkin tiba-tiba mengubah wajah jadi badut psikopet gila. Terlebih, dia cuma diam di sana."

Rigor MortisNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ