#06

47 25 2
                                    


|| 1410 words ||

Menengadah luar kamar, kudapati lorong masih kosong. Tampaknya mama masih berkutat dengan masakan di dapur dan ayah kurasa—dari suara televisi di ruang tamu—sedang menonton siaran berita. Atau mungkin TV yang menontonnya tengah tidur, entahlah.

Aku masuk kembali ke dalam kamar mama dan ayah. Jendela terbuka membuat akses cahaya untuk masuk dan menerangi seisi kamar. Dua lemari pakaian bersebelahan di sudut ruang. Satu nakas—lengkap dengan weker, pigura fotoku; mama dan ayah, serta lampu kamar.

Nah, nakas itu adalah list pertamaku untuk mencari kunci rumah nenek.

Awalnya sepulang sekolah barusan aku sudah bertanya kepada ayah maupun mama. Tapi keduanya memiliki jawabannya yang berbeda-beda. Dua-duanya membuatku bingung.

Kata ayah, "Tanya Mamamu."

Kata mama, "Tanya Ayahmu."

Kuputuskan untuk diam dan tidak lanjut bertanya, sebelum mereka berdua mencerocosiku dengan pertanyaan, "Mau apa kau mencari kunci rumah Nenek? Mau apa kau ke sana?" Dan semacamnya.

"Kau menemukannya?" tanya Peri Mortem. Mahluk Hurrah yang satu ini terus membuntutiku setelah pulang sekolah. Padahal, kupikir sangkar burung di dalam kamarku sudah cukup nyaman buat dia berdiam diri.

"Aku sedang berusaha," tuturku. Kubuka laci pertama, kedua dan ketiga, namun tidak kutemukan kunci rumah nenek di sana. Bahkan, kunci apapun, isinya cuma berkas-berkas macam lembaran kertas, serta-merta album foto keluarga.

Pindah ke area lemari, kubuka salah satu pintunya yang tidak terkunci. Seperti yang kau tahu, isinya hanya pakaian yang tergantung. Kepakan sayap Peri Mortem menghilangkan kesunyian. Ia terbang ke depanku, masuk dalam lemari di antara pakaian. Tak lama, ia keluar sembari menggeleng.

Aku hampir frustasi dan berteriak, namun urung ketika kulihat sebuah kunci tua—motif kunci rumah nenek, lebih tepatnya—menggantung di dinding dekat pintu masuk kamar.

Hampir lima menit lebih kumenggeledah kamar mama dan ayah, tapi kunci sialan itu ternyata menggantung di sana.

Tidak kutemukan suara langkah kaki ayah atau mama yang akan pergi kemari, kuduga sekarang masih aman. Usai mengambil kunci, selanjutnya aku keluar dan menutup pintu pelan-pelan.

"Rhafal ...." Ayah memanggil namaku. Namun kuduga ia sedang menggigau. Dari suaranya macam diiringi menguap lebar. "Buatkan ... Ayah ... kopi ...."

***

Aku sudah siap berangkat ke rumah nenek. Tas sekolah sudah kukosongkan dari buku dan alat tulis, lalu kuisi dengan air minum dan roti yang kubeli di kantin saat sekolah tadi.

Perjalanan ke rumah nenek sebenarnya tidak begitu jauh, namun tetap saja itu memakan waktu lama. Karena rencananya, aku akan menggunakan sepeda. Sepeda hitam pemberian ayah sebagai hadiah ulang tahunku itu masih mengilat dan tampak baru. Selain karena jarang kupakai, ayah selalu rajin membersihkan meski tidak kotor sama sekali. Nanti bakal berkarat, katanya suatu waktu.

"Kalau kau ingin ikut denganku, kau harus jago menyembunyikan diri," pintaku pada makhluk Hurrah yang satu ini. Ia melayang di depanku. Sayapnya berkepak cepat. Peri Mortem tersenyum lembut padaku sambil mengangguk.

Tidak mungkin bagiku memasukkan makhluk ini dalam tas sekolahku, kendatipun ia masih bisa bernapas, kuyakini esoknya bakal jadi bangkai tanpa makam.

Keluar kamar, kucoba pergi ke dapur untuk minta ijin pada mama. Mama sedang duduk di kursi makan, menunggu masakannya matang di kompor, sembari membaca buku bergambar serba merah, dengan judul 'Pedihnya Siksa Neraka'.

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang