#21

13 3 0
                                    


|| 1386 words ||

Alea kelihatan sangar dan mengerikan, tetapi gadis berambut pendek itu memiliki sifat baik dan bersahabat. Ia mau saja mengulurkan tangan untuk membantu orang lain—termasuk kami. Jadi, ketika ia tahu kalau yang hampir ia panah itu adalah Kanda dan Pablo—yang ternyata kawan lamanya—dia langsung membawa kami berlima masuk, kemudian menutup pintu.

Rumah ini tampak lebih luas ketimbang milik Pablo dan Kanda. Ada setidaknya tiga pintu kayu yang masih tertutup rapat. Lalu semacam lorong kecil yang membawa ke kegelapan. Pelita digantung di area-area sudut rumah, serta bagian dinding. Terus masuk ke dalam, ada perapian yang masih menyala. Meliuk-liuk di tungku yang gosong.

Pablo langsung dibawa duduk oleh Kanda pada salah satu kursi. Pemuda itu tampak tak berdaya sama sekali, jika saja tak diperhatikan lamat-lamat. Goresan ranting, serta bekas cakaran ada di mana-mana di bagian tubuh Pablo. Bahkan, sebagian baju lusuhnya kelihatan habis terbakar. 

"Aku tak punya obat," kata Alea. Pada satu tangannya, terdapat sebuah mangkuk kecil yang berisi adonan—atau apa pun itu—warna hijau kental. "Tapi semoga ini berguna untuk menghilangkan nyeri pada Pablo."

Gadis itu lalu beranjak padaku. "Aku akan membantu menghilangkan nyeri dan menutup lukanya. Baju yang ... pacarmu kenakan ini sudah dipenuhi dengan darah, tak nyaman kalau dikenakan terus-menerus, aku juga akan menggantinya dengan baju yang lebih baik—tentu kalau kau tak keberatan."

Aku lalu menunduk, mendapati Anya yang mendongak menatapku. Aku sempat cemas, tetapi Anya mengangguk kecil beberapa kali sebagai sebuah isyarat kalau dia akan baik-baik saja. Kemudian, dia diambil alih oleh Alea, dan dibopong gadis berambut pendek itu menuju lorong yang minim pencahaan barusan.

"Jadi," kataku, "gadis itu teman lamamu?"

Kanda sedang duduk di kursi lain samping Pablo. Ternyata, adonan hijau kental dalam mangkuk kehitaman tadi adalah daun herbal yang seperti telah ditumbuk dan dihaluskan. Kanda telah membuka kemeja lusuh yang sodaranya kenakan. Dada bidang, serta delapan pack perut Pablo terekspos. Namun, yang membuat tak nyaman dipandang ialah tubuhnya dipenuhi luka-luka, hingga bekas luka lama itu sendiri.

"Iya," kata Kanda, sembari membaluri bagian bahu Pablo dengan daun herbal. "Kami sudah lama tak saling mengunjingi, jadi seperti inilah ketika bertemu. Kesannya agak bikin kalian was-was dan ketakutan."

Aku menghela napas. Lalu menyadari Vader yang berpindah tempat duduk di belakangku. Ranjang yang kami duduki mengeriut ketika bokong Vader mendarat. "Tak masalah," ujarku. Sebelumnya aku bahkan mendapati yang lebih mengejutkanku dari ini. "Aku sangat berterima kasih padamu. Padamu dan Pablo."

"Aku hanya ingin membantu," katanya, "karena dulunya kami juga seperti kalian."

Aku memahami setiap kondisi seseorang dalam keadaan apa pun. Bagaimana perasaan itu mampir, menyelimuti secara utuh. Tak berbeda dengan Anya dan Vader, Kanda pun demikian. Sebelum berakhir di sini, dia ingin kami menjauhinya ... bukan berarti ia membenci kami, dan bukan pula ia sungguh-sungguh menyalahkan atas apa yang terjadi pada kami—meski kenyataannya begitu. Namun, Kanda hanya tak ingin, kami terlibat masalah yang lebih besar. Ia juga sepertinya tahu kalau ada rasa tak nyaman di ulu hatinya ketika kami—sebagai manusia normal—berdekatan dengan kaumnya. Karena Kanda tahu, kami pasti takut dengan mereka.

Aku justru tak enak saat ia dan sodaranya lagi-lagi membantu kami bertiga. Seperti ada rasa hutang budi yang mengikuti ke mana langkahku berpijak ketika bersama Kanda dan Pablo. Terlebih lagi, kondisi keduanya seolah memberikan dorongan tak tersirat untukku melindungi dan membantu mereka—bukan sebaliknya.

"Aku masih heran dengan orang-orang di sini," celetuk Vader. Dia semakin memangkas jarak dudukknya di dekatku. "Kenapa mereka seolah takut dengan kami?"

Rigor MortisWhere stories live. Discover now