#09

44 19 0
                                    

|| 1195 words ||

Tak sampai sepuluh menit pantatku mendarat di sebongkah batu, ada lagi bahaya yang mengancam kami. Entah apakah kiranya Hurrah menyimpan segala hal buruk di dalamnya sejak dulu, atau ini semua akal-akalan nenek---aku tidak bermaksud menyalahkan wanita itu, semuanya tidak bisa kucerna dengan baik. Aku heran kenapa kami tak mati saja di tangkap makhluk bersayap sebelumnya.

Berbeda dari yang sebelumnya, kali ini yang kulihat adalah sepasang mata menyala di kejauhan menatap ke arah sini. Dari gesturnya yang rendah, dapat kuterka kalau itu adalah binatang kaki empat. Tapi aku tidak begitu yakin menyebutnya demikian, karena itu bisa saja manusia setengah binatang atau monster aneh yang mengintai.

Peri Mortem berada di sampingku sembari menoleh ke arah yang sama. Dalam beberapa detik saja, ia melayang di depan wajahku, "Kita harus pergi," katanya sembari membuat gestur lari, "yang ini suka daging."

Aku langsung paham apa maksudnya. Kuhampiri Vader dan Anya yang tengah berbincang apakah kiranya lebih baik diam di sini sampai ada orang yang menjemput atau kelimpangan menyusuri bangkai binatang sambil mencari bantuan, langsung kuberitahu apa yang baru saja kulihat dan peri Mortem sampaikan. Tak butuh waktu lama, kami sudah berlari membelah hutan.

Kakiku sudah kepalang mati rasa. Rasanya ingin sekali menitipkannya di tempat penitipan. Nafas kami berembus terengah-engah. Baik Anya maupun Vader, tak ada yang berani sekadar meminta berhenti berlari, atau kami bertiga bakal di-ngap sesuatu yang mengejar di belakang.

Sesekali kami mesti melompati kubangan lumpur. Aku tidak bisa menerkanya lebih jauh dari itu, karena bisa saja itu adalah kubangan darah binatang. Sungguh, gelap dan raung keras makhluk di belakang adalah kombinasi yang mengerikan dengan keadaan ini.

Zpt!

Aku tak tahu reflekku sebaik ini, namun anak panah yang baru saja melayang menancap di pohon sampingku, berhasil membuatku tersaruk mundur.

"Rhafal!" Vader dan Anya mendekat. Keduanya memegang bahuku.

Kami menatap anak panah dengan ngeri. Menyadari bukan hanya kami bertiga di area sini. Lebih dari itu.

Aku masih mengelus dada, tetapi Peri Mortem melayang di depanku. Memberi tahu bahwa harus sembunyi secepatnya. Kami bertiga refleks berbelok ke arah pohon tepat di mana anak panah menancap. Di sana ada anakan pohon ex dan semak yang lebat.

"Alkonost!"

"Panah jantung mereka!"

Teriakan bersahut-sahutan. Mengisi kelamnya kabut di hutan ini. Suara-suara berat nan serak itu kuduga berasal dari pria-pria yang berbeda. Kalau tidak salah, ada setidaknya lima suara yang tak sama.

"Siapa mereka?!" Anya bergetar. Dia jongkok di kiriku. Jauh-jauh kubuang niat untuk memberitahunya bahwa ia sedang menginjak seenggok kaki hewan.

"Pemburu!?" Entah Vader bertanya atau sedang menerka.

Peri Mortem melayang di depanku. Ia membuat gestur tubuh dari jemarinya yang kecil. Susah payah kukerutkan kening guna memahami bahwa yang ia maksud adalah seseorang. Yang artinya, memang ada manusia selain kami di sini.

Aku baru saja hendak memberitahu apa yang tengah Peri Mortem sampaikan, ketika beberapa anak panah melesat di area kami. Gesit aku tersaruk mundur, secara refleks, Anya dan Vader terkejut.

"Kita harus pergi dari sini," kataku, "entahlah mereka siapa. Yang utama, jangan sampai orang-orang itu tahu keberadaan kita."

"Panah—"

"Jangan sampai lolos!"

"Jantungnya—bidik jantungnya—"

Suara meraung dari mahkluk yang mengejar kami sebelumnya terdengar nyaring. Apa pun yang terjadi diremang kegelapan sana, kami diam tak bersuara sedikit pun. Bahkan rasanya menarik nafas saat ini mungkin saja mengundang kematian.

Rigor MortisWhere stories live. Discover now