#20

10 3 0
                                    

|| 1387 words ||

Kepala suku di Utara Pulau telah mati digantung oleh Para Pemburu.

Memikirkan hal itu secara terus-menerus membuatku merasa tak aman. Pasalnya, selama hidup di dunia aku tak pernah mendapati hal-hal seekstrem ini. Namun, keadaan membuatku menjadi dewasa lebih cepat. Mendorongku untuk berpikir laiknya seorang pemuda bijaksana.

Hal mengerikan apa lagi yang akan terjadi selepas ini semua? Keadaan seekstrem apa yang akan kami hadapi nanti? Apakah masih ada tempat yang aman untuk kami? Bagaimana nasib kawan-kawanku? Bagaimana kondisi orang tua kami setelah mengetahui ini semua? Apakah aku masih bisa bernapas dengan tenang sehabis ini semua? Apakah semua ini akan berakhir? Apakah malah aku mendapatkan kegagalan?

Aku tahu kalau Anya sangat mempersalahkan rasa bersalahku selama di sini. Dia bilang, jangan menyalahkan diri sendiri atas semua yang terjadi. Namun, aku selalu merasa terbebani dengan rasa bersalah itu sendiri. Lagian, sejauh kucoba untuk berhenti berperasaan seperti itu, aku malah mendapati sisi diriku yang lain berkata kalau semua ini memang kesalahan yang kubuat.

Dan Vader, meski aku sering berbeda pendapat, dan selalu berdebat dengannya perihal keputusan yang tak sama, aku selalu memikirkannya selama ini. Aku tahu dia bersikap seperti itu, bukan karena tingkah naif nan kekanak-kanakannya, tapi berusaha menyadarkanku atas sesuatu yang besar sedang menguji kami. Bukan sekadar masalah sederhana seperti di kelas-kelas, saat kami berebut buku atau pensil, atau ketika mendebatkan hal sepele seperti warna sepeda yang bagus. Namun, kali ini antara hidup dan mati.

Jika seperti itu, bagaimana caraku menghindar dari tanggung jawab dan rasa bersalah, ketika aku yang membawa mereka berdua kemari? Pikiran buruk itu terus menghantuiku sepanjang perjalanan kami. Kata-kata pengandaian tak ayal semata angin yang lalu saja. Andai aku tak berkeinginan menjenguk Hurrah siang itu. Andai aku menyuruh Vader dan Anya untuk tidak mengikutiku saat itu. Andai aku bisa memutar waktu, aku tak ingin ini semua terjadi.

Untuk alasan tertentu, aku justru merasa putus asa dan ingin menyerah, mengakhiri hidupku di sini. Namun, sepertinya hal itu adalah keputusan yang sama sekali salah. Sisi diriku yang lainnya mengatakan bahwa masih ada jalan keluar dari neraka ini.

Cobalah lihat kondisi kawan-kawanmu, katanya, bukankah kau harus berusaha membawa mereka ke tempat aman? Bukankah terlalu cepat untuk menyerah tanpa mencoba lebih dulu? Tak kasiankah kau dengan teman-temanmu?

Aku ... bimbang dan, kadang, diselimuti ego yang besar. Aku sering mendapati bisikan-bisikan yang seakan ingin membuat kepalaku meledak. Akhiri saja! Toh, buat apa meneruskan jalan tak berujung ini jika nantinya malah sia-sia? Lihat sekelilingmu—banyak cara mati yang lebih ekstrem. Saling bacok, misal. Atau menyerahkan diri sebagai mangsa monster.

Seperti sekarang, ketika aku masih membopong tubuh Anya yang semakin melemas, ada bisikan aneh yang mencoba meracuni pikiranku. Akhiri saja hidup kawanmu! Lihatlah—dia sudah sangat sakit, bukankah lebih baik diakhiri agat ia tak merasakan sakit?

Aku beberapa kali menggelengkan kepala cepat-cepat. Belakangan kepalaku terasa ingin meledak. Dan aku mulai mempertanyakan kenapa bisikan-bisikan itu semakin menjadi-jadi dalam otakku.

"Rhaf," kata Vader, menggiringku kembali ke realita. "Rhaf, kau tak apa? Dari tadi kau tak bicara?"

Kami telah berhasil kabur dari kejaran Pemburu. Sekarang—kendati seharusnya aku bisa melangkah dengan tenang—tetap saja terasa berat, dan aku seolah-olah merasakan diikuti masalah lain yang akan datang nanti.

Aku menunduk, memperhatikan setiap langkahku yang dibalut sepatu buluk. Penuh lumpur, bolongan, dan noda darah basah. Aku tak tahu lagi ingin mengatakan apa, rasanya energiku telah habis bahkan untuk mengucapkan sepatah kata pun.

Rigor MortisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang