#08

34 19 0
                                    


|| 941 words ||

Awan gelap yang bergerumul di cakrawala adalah cerminan mimpi burukku.

Ketiadaan cahaya yang terang-benderang membuat pohon ex yang dulunya tampak subur, kini hidup berdiri kokoh tanpa daun hijau. Semak dan bunga-bunga tak lagi kulihat memberi akses indah nan nyaman, tumbuhan itu tampak tak subur sedikitpun. Suasananya sungguh berbeda kali terakhirku pernah ke sini.

Tanah basah dan beberapa melahirkan kubangan lumpur. Di sebagian tempatnya, beberapa bangkai hewan tergeletak tak beraturan. Bau busuk pekat di penciumanku. Mataku memicing di salah satu dahan pohon ex, begitu terdengar bunyi gagak berkeok beberapa kali, lalu burung itu terbang begitu saja.

"Ada apa dengan ini semua?" Suara Anya tampak bergetar.

"Aku ... tidak tahu."

Aku masih berusaha memproses situasi. Sekiranya, apa yang baru saja terjadi di sini? Ada apa dengan Hurrah? Kenapa semuanya sangat berbeda? Aku jadi kepikiran kalau kapal terbengkalai di area pantai saat kunjunganku dan nenek beberapa hari lalu, adalah di mana semuanya bermuara. Tapi, benarkah?

Peri Mortem terbang ke segala arah dengan cepat. Ia celingak-celinguk aneh. Lalu ia kembali padaku, "Ada apa dengan rumahku?!"

"Kau tidak pernah bilang kalau tempat yang kau ceritakan memiliki bangkai binatang di mana-mana dan ... sesuram ini." Gadis itu tampak kaku. Anya semakin mendempetku hingga bahu kami bersentuhan. Ketika sadar, ia menoleh sejenak lalu memberi jarak.

"Rhaf," kata Vader menginterupsi. Ia memandangi apa saja yang ditangkap penglihatannya, "Mimpimu. Bukankah semacam ini, ya? Maksudku---"

Suara dahan pohon yang patah membuat kami semua diam. Di kejauhan, meski tak begitu kentara cahaya, bisa kulihat dahan-dahan pohon patah. Lalu terdengar bunyi kepakan sayap yang amat sangat jelas terdengar. Itu ... semacam burung---atau sesuatu mendekat kemari. Hinggap dari satu dahan ke dahan yang lain. Makhluk---atau monster itu bersayap.

Senter, pikirku. Segera kurogoh tas sekolah di punggung, lalu teringat bahwa aku tak membawa benda itu. Lagian, berkunjung ke rumah nenek, atau ke Hurrah lebih tepatnya, tidak kepikiran olehku bakal semengerikan ini. Mana mungkin aku membawa senter?!

"Guys," kata Vader, "sepertinya sesuatu itu mendekat ke arah kita!"

Peri Mortem melayang sedikit maju. Sayap mungilnya berkepak laju. Menaruh jeda sejurus, makhluk Hurrah itu kemudian segera berbalik ke arahku sembari berbunyi memberitahu, "Alkonost! Cepat sembunyi!"

"Sembunyi!" bisikku keras-keras. Entah aku tengah berbisik atau berbicara pelan penuh tenaga.

Kami bertiga berbalik dengan maksud masuk kembali dalam goa. Aku sudah menepis sulur lebat yang merambat dengan tangan. Rasa basah air hujan---atau air dedaunan terasa dingin, sekaligus menguarkan bau tak sedap. Namun anehnya, tanganku malah menemukan sesuatu yang keras macam permukaan batu. Dalam arti lain, lubang masuk goa tadi sudah berubah dengan sendirinya.

"Hah, apa-apaan?!" Baru kali ini aku pernah mendengar seorang Anya berteriak kencang.

Aku mendadak kelimpangan dengan pikiran berkecamuk tidak karuan. Aku mulai terpikir bahwa tempat ini dan seisi-isinya berada di luar akal sehatku. Semuanya tak bisa diterima oleh otak. Cerita nenek---Hurrah, adalah hal yang seharusnya tidak patut kuterima.

Peri Mortem berkepak menuju kanan, di sana terdapat semak yang tinggi, di bawahnya ada kubangan lumpur---atau darah, karena ada bangkai hewan semacam rusa tergeletak. Kulupakan aroma menyengat yang hinggap di penciuman. Segera aku berlari mengarah ke makhluk Hurrah itu diikuti Anya dan Vader.

Kami berjongkok di tanah yang becek. Sesemakan ini masih basah, sesekali terasa dingin saat bersentuhan dengan kulit secara langsung. Tak peduli pada bangkai hewan depanku, hidungku mengerut tak nyaman.

"Apa itu?!" Vader bertanya. Dalam sejumput cahaya, air wajah anak itu tak dapat kudeskripsikan dengan baik. Antara panik, cemas, takut dan waspada: semuanya menempel pada wajah Vader.

Peri Mortem melayang ke arahnya. Karena cahaya yang kurang, makhluk Hurrah satu ini hampir menyatu dengan kegelapan, kalau saja sayapnya yang keabuan tak mengepak, lalu kedua tangannya bergerak memberi tahu, "Alkonost!"

Tentu saja Vader tak paham. Alisnya berkerut hampir satu.

Kutatap manik pemuda itu, "Monster."

Makhluk itu mendekat. Suara sayap berkepak tampak terdengar terbang merendah. Dari daun semak, bisa kulihat sesuatu tak jauh di depan sana. Di bawah cahaya temaram, perawakannya mirip manusia, tapi bersayap dengan tubuh bungkuk yang ganjil. Ia menerawang ke sekitar.

Susah payah kugertakan gigi kuat-kuat sebagai isyarat diam pada Vader yang tengah mengoceh. Anak itu tampak tak peduli dengan keadaan tengah was-was. Setelah kuberi jari tengah depan wajahnya, barulah ia bergeming.

Mahkluk itu melangkah pelan. Kepalanya menyorot apa pun yang ditangkap bola mata nyalangnya. Sekejap, kami tak ada yang bersuara. Dalam remangnya cahaya serta bau busuk bangkai binatang, membuat komplikasi paket lengkap untuk melemaskan badanmu.

Mahkluk itu berkepak kembali, lalu terbang entah ke mana. Ketika suasana kembali seperti semula, kujitak kepala Vader, "Lain kali, jangan main-main dengan nyawa!"

Kami segera bangkit, lalu mengarah ke tempat yang agak lapang. Anya berdehem serak. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?

Kupegangi ceruk leher yang tak gatal. Mataku menelaah bangkai rusa di kubangan lumpur coklat. "Kalau kau tanya itu, pasti jawabannya adalah mencari jalan pulang," jawabku, "aku tidak tahu kalau ada yang salah dengan goa itu! Dan maaf---kalau kalian pikir aku tengah menjebak kalian berdua. Intinya, ini semua di luar perkiraannku."

Karena tidak ada yang lekas menjawab, kuasumsikan mereka paham. "Kalian sendiri yang ingin mengikutiku, ingat? Jadi ini semua bukan sepenuhnya salahku!"

Entah kenapa emosiku menguap tak karuan. Ada semacam rasa bersalah yang menggerogoti ulu hatiku. Meski yang kulakukan justru tampak tolol di mata Vader dan Anya.

Vader mendekat. Tangannya mengusap bahuku. "Tenangkan dirimu sebentar, Rhaf, kau sepertinya perlu tempat untuk sendiri---untuk menyegarkan otakmu. Nah, di sana---"

Ujung bola mataku memicing pada arah yang ditunjuk Vader. Sebuah batu besar di bawah pohon ex mati. Semak lebat dan satu bangkai binatang dengan kepala dan badan terpisah jadi pelengkapnya. Orang waras mana pun tak akan mau menenangkan pikiran di sana---di tempat semacam ini.

Tapi kuhargai usaha Vader. "Terima kasih." Sepertinya aku memang perlu merenungi banyak hal.

Rigor Mortisजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें