#16

25 7 3
                                    

|| 839 words ||

Nenek pernah bilang padaku bahwa Bramacorah itu semacam entitas antara ada dan tiada, sebagai penyeimbang Jagat Arwah dan Jagat Manusia. Tapi benarkah? Kalau diingat-ingat .... Nenek menyebut Arwa tanpa huruf 'H' di akhir katanya, berarti .... Jagat Arwa. Bukan Arwah. Aku salah mengartikan ketika berumur delapan tahun, padahal yang nenek maksud barangkali para monster-monster, bukan arwah yang berhubungan dengan hantu-hantu baik ....

Kalau kau lupa, kembalilah ke Chapter 1, Bung, di mana umurku masih genap delapan tahun. Dan perhatikan kalimat-kalimat nenek yang banyak maknanya bertolak belakang dengan apa yang aku artikan. Aku tak bisa menyalahkan beliau, toh, barangkali akibat penyakit pikun dan meracaunya membuat nenek seperti demikian. Ah, aku baru menyadarinya sekarang.

"Jagat Arwa?" Aku membeo. "Apa itu?"

"Semacam tugu 'selamat datang' di Ephemeral." Pendar cahaya di atas sana tak cukup untuk menerangi wajah Peri Mortem. Aku jadi bertanya-tanya apakah makhluk ini berbohong atau semacamnya.

"Kanda dan Pablo tidak membicarakan ini sebelumnya." Aku mengingat-ingat. "Dan masih banyak hal yang kuduga ia sembunyikan dariku."

"Jangan mudah percaya pada mereka—para makhluk setengah binatang tiada yang suka dengan manusia. Maksudku benar-benar manusia utuh, meski wujud mereka dulunya juga manusia." Peri Mortem berkepak. Ada hawa dingin kecil di wajahku, seolah-olah kulit mukaku sedang ditiup oleh seseorang. "Mereka bisa saja menyuguhi daging panggang berkilo-kilo, esoknya mereka mungkin sudah lupa kau ini apa dan siapa."

Inilah sebabnya jalan pikirku bertolak belakang dengan Vader. Bagiku, sebelum kita ingin melakukan sesuatu hendaknya direnungkan atau rencanakan matang-matang barulah bertindak, namun tidak bagi Vader. Katakanlah misalnya satu tambah satu sama dengan dua, maka Vader bakal menjawab lima belas dengan percaya diri dan tanpa pikir panjang.

"Jadi berarti memang ada penduduk selain manusia normal di sini," terkaku.

"Dan kita sekarang berada di Tengah Pulau," katanya, "wilayah manusia setengah binatang—setengah monster."

"Kau bicara apa, sih?" Vader bertanya. Aku bisa melihat jelaga masih menempeli setiap lekuk wajah Vader. Kening, jidat, dagu dan bawah mata. Seolah-olah ia akan transformasi jadi seekor panda gembrot.

Aku menggeleng. Jeda sejenak, "Ransel kita terbakar, tidak ada makan dan minum. Sekarang kita terjebak di sini tanpa tujuan." Aku melangkah mendekat sebongkah batu segiempat yang tingginya sepinggul terletak di tengah enam pilar.

"Kau bilang akan pergi ke Daratan Hijau," sahut Vader cepat, "kayaknya kau melupakannya."

Mudah sekali dia berbicara. "Tentu," kataku, "Tentu saja."

Selagi aku memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan besar bencana yang kami lalui, Anya melangkah mendekat. Aku menoleh padanya. Sesaat, rona pipinya agak merah jambu, tetapi kaca mata minesnya selalu menyembunyikan itu. Aku jadi kepikiran kalau ujung kacamata Anya ditempel menggunakan lem di pangkal kupingnya.

"Bagaimana kondisimu?" tanyaku.

"Tentunya lebih baik dari sebelumnya," sahutnya. Meski yang kudengar tidak menggambarkan demikian.

"Apa persisnya?" Aku kembali memperhatikan tulisan-tulisan kuno di permukaan batu. Seperti aksara yang ratusan tahun telah terukir di sana.

"Sejauh ini kayaknya aku belum kepingin pingsan." Punggung tangan Anya jatuh di samping tanganku. Ikut mengusap ukiran di atas batu.

Udara berembus dingin. Suara primata mengisi hutan lebat yang mengepung kami. "Hei, itu menyeramkan, tahu."

"Setidaknya aku bisa memperhitungkan kapan aku akan pingsan." Suara gadis itu makin rendah dan berbisik. Entah mengapa. "Maaf, bukan bermaksud—"

"Tidak apa," tukasku. "Untuk berjaga-jaga."

Tidak ada balasan lagi selain suara jangkrik dan gesekan dedaunan akibat angin berembus. Dalam cahaya temaram bulan yang jatuh pada wajah Anya, ujung mataku menangkap kalau kedua sudut bibirnya terangkat kecil. Aku mengangkat bahu. Biarkan saja dia seperti itu, aku tidak mengerti.

Geladak berbunyi, disambut petir-petir mengilat. Aku sempat mempertimbangkan untuk lari atau semacamnya, tetapi yang kulakukan hanya berdiri menatap ke awan yang gelap. Kilatan-kilatan berpendar di atas sana. Sedari tadi pun begitu, tetapi kali ini lebih parah. Angin tiba-tiba saja berembus kencang, membuat kami hampir hilang keseimbangan.

Aku reflek memegang pergelangan tangan Anya. Ia sempat menoleh gugup, tetapi cara dia bereaksi seperti membalas kenakalan tanganku boleh juga. Kami berdua saling genggam. Tanganku yang satunya merengkuh sebongkah baru segiempat di sampingku. Lidahku sempat kemasukan ranting-ranting kecil serta dedaunan dan aku malu ingin meludah di depan Anya, maka aku biarkan saja.

Vader berteriak seolah pita suara pemuda itu saat-saat seperti ini diberi kekuatan lebih oleh Yang Maha Kuasa. Maka tak sekali dua kali Vader meraung. Dia memeluk pilar di seberang, sementara di ubun-ubunnya Peri Mortem bersedekap menggunakan batu tinggi itu sebagai pelindung.

"Apa ini?!" teriak Vader.

Aku belum sempat membalas seperti 'Sedang pawai di jalan raya' saat hembusan angin terlampau kencang membuat peganganku hampir terlepas. Benda tajam menggores pipiku, seperti ujung ranting. Meninggalkan rasa dingin dan nyeri berkepanjangan. Lalu—

"Kau membuka gerbangnya!" Meski dalam sudut pandang kedua temanku Peri Mortem sedang berbunyi—berkeok atau apa pun itu—aku bisa mendengar kalau ia berkata dengan jelas, kendati suaranya seperti hampir hilang terbawa arus angin.

Awan gelap di atas sana turun, secara harfiah. Menggumpal membentuk vertigo dilengkapi kilatan-kilatan petir yang mengelilingi pilar segi enam. Bunyi gemuruh semakin jelas di kupingku seolah-olah seseorang dengan sengaja meluncurkannya dengan meriam. Dingin bercampur hangat membawa atmosfir buruk, seburuk apa yang sedang terjadi. Dalam hitungan detik, gumpalan awan pekat ini berputar semakin menebal hingga yang kulihat hanyalah kegelapan.

Rigor MortisWhere stories live. Discover now