#02

97 35 59
                                    

|| 1083 words ||

Sewaktu umurku genap empat tahun, aku pernah mengira seekor kucing itu bertelur. Aku juga pernah menduga jika dinosaurus itu masih ada, karena Ayah bercerita bahwa mereka ada di kandang belakang rumah Nenek, sedang memakan rumput bersama sapi peliharaan beliau.

Sementara ayah menceritakan hal absurd lainnya, mama menegaskan kalau mulut ayah itu penuh dusta. Itu mustahil, katanya. Kalau dipikir-pikir,  ada benarnya.

Nah, semuanya bermuara dari sana. Karena aku lebih sering menghabiskan waktu bersama ayah, ia jadi lebih semangat membawaku setiap hari ke rumah nenek. Dan menek ikut serta dalam membuat isi batok kepalaku memikirkan atas apa yang ia ceritakan.

Kira-kira, sebelas per dua ratus perbandingan antara Ayah dan Nenek. Sementara Ayah suka mengelabui tentang yang duluan ada di bumi itu ayam, bukan telur, Nenek malah menceritakan Hurrah, tempat Jagat Arwa berada. Hantu-hantu baik yang suka senyum, makhluk mitos yang baik hati, dan hal-hal unik sekaligus ngeri lainnya.

Sekarang, umurku sudah dua belas tahun dan itu sudah cukup dewasa bagiku untuk menganggap hal-hal yang diceritakan Ayah itu cuma sebatas hal konyol. Apa yang sering dia kisahkan padaku dulu tidak benar adanya.

Kalau kisah Hurrah ....

Saat kecil, aku tidak pernah mengira kalau di balik cerita dan racauan Nenek, pada malam hari saat aku ingin tidur itu adalah nyata. Namun, sejak pertama kali Nenek membawaku ke sana ketika umurku yang ke delapan, aku mulai berpikir bahwa duniaku tidak akan sama lagi.

"Nenek akan menunjukkan Hurrah padamu."

Rhafal junior memekik kesenangan. Pada akhirnya, aku akan melihat dengan mata dan kepalaku sendiri atas apa yang selama ini Nenek ceritakan padaku. Tinggiku masih sepinggang Nenek saat itu, dan kelihatan mungil sekali.

Kubuntuti Nenek yang tengah berjalan membungkuk dengan lambannya. Seraya terus melangkah, dia bertanya padaku, "Kenapa kau sangat ingin melihat Hurrah?"

"Aku ingin melihat hantu!"

Kalau lawan bicaraku adalah mama, mungkin dia sudah menjotos kepalaku sambil berkelakar, "Rhafal, mama tahu kau sedang berimajinasi tentang cerita nenek, tapi kalau yang ini jangan berlebihan, Nak."

Aku tidak sedang bercanda. Hurrah itu tempatnya para hantu-hantu baik tinggal, makanya aku ingin ke sana. Barangkali aku bisa main enggrang dengan bocil-bocil hantu di Hurrah, atau mungkin main takraw boleh juga.

"Ingin bertemu hantu?" tanya nenek. "Sini Nenek ajak kau ke kuburan malam Jum'at nanti."

"Serius, Nek?"

"Janganlah mudah percaya pada orang, Rhafal. Itu harus ditanamkan dalam batok kepalamu sejak kecil, bukannya menghitung biji dadu pada permainan ludo. Ada-ada saja si Tam."

Ngomong-ngomong, ayah bernama Tam. Kalau versi lengkapnya, jadi Rom Tamrim. Tetangga lebih sering memanggil ayah dengan sebutan "Rom", sementara mama memanggilnya "Kak". Kadang-kadang saat malam tiba, mama memanggil ayah dengan sebutan "Cinta".

Kubuntuti punggung nenek—rasanya tidak efektif bila menyebut pantat nenek—sambil memandangi corak daun kering pada baju belakangnya. "Kalau begitu, aku ingin bertemu Bramacorah."

Nenek kudenger berdesis, "Untuk apa, Nak?"

"Aku ingin menjadi seperti Bramacorah!" Aku nyaris menari seperti penari balet di sini. Menelusup ke depan nenek, menghadang jalannya hingga berhenti sejenak. "Aku ingin memiliki sihir macam Bramacorah! Aku ingin mengubah Sekala jadi kuda nil!"

Sekala adalah teman sekaligus musuhku. Bocah seumuranku itu memiliki tubuh besar macam anak algojo. Sekala macam tangki air yang dijejalkan bola sebagai kepalanya. Kadang aku bingung mencari keberadaan leher anak itu.

Suatu hari dia dan kedua temannya, sebut saja Hadi dan Timmy, mendatangiku yang tengah makan siang di kelas.

"Hei, Rhafal, mau main takraw tidak?" ajaknya.

Aku menoleh, lantas menolak dengan menggeleng. Kupikir simbol itu sudah jelas artinya, namun Sekala tampaknya berbeda mengartikannya.

"Bocah dungu!" Sekala mengambil tupperware-ku hingga ekor ikan patin jatuh ke lantai.

"Kalau kau tidak mau main, kuambil ekor ikan patin yang satunya, ya!"

"Ikan nila," kataku. "Ambil-lah, aku sudah kenyang."

Mungkin karena merasa kalah atau kemauannya tak terpenuhi, Sekala menendang bangku yang pantatku dudukki. Bak gelombang tsunami, aku terjatuh ke samping, untungnya bangku yang ia tendang menolak jatuh ke arahku. Sekala ikut jatuh karena bangku mengarah padanya, di tambah dorongan kakiku. Tupperware jatuh, isinya berhamburan di lantai.

Sekala memekik nyaring sekali. Anak bungsu kepala sekolah itu berteriak sejadi-jadinya sambil bergulung ke lantai. Berlagak macam korban. Karena tidak mau disalahkan, aku juga ikut teriak sambil memegang lututku. Seketika jadi kontes adu suara.

Hadi dan Timmy tak banyak membantu. Alih-alih membopong tubuh Sekala atau tubuhku, keduanya malah saling teriak, "Ayo Sekala! Lawan! Masa gitu doang kalah!"

"Lawan!" adu mereka.

Kelas yang tadinya kosong, mendadak ramai lagi. Anak-anak dari kelas sebelah berdatangan untuk menonton. Karena malu atau masalah lain, Sekala mendadak bangkit dan berhenti berteriak. Lalu tanpa ba-bi-bu lagi segera menarik kerah seragamku.

Aku pikir bogeman dari tangan gempalnya itu bakal mendarat di pipi, namun ternyata aku salah. Ia malah mencakar-cakar kepalaku. Karena tidak mau kalah, kugaruk ubun-ubun Sekala sambil membayangkan kalau itu adalah buah nangka.

Lima menit berikutnya, aku dan Sekala berada di ruang BK.

Karena perkelahian absurb itu, Sekala bersumpah akan memakanku kalau aku menolak ajakkannya. Makanya, kadang kalau tidak mau digeprek bocah itu, kuturuti saja kemauannya alih-alih adu cakar.

"Kuda nil?" tanya nenek. "Kenapa tidak jadi gajah saja?"

"Itu terlalu besar," kataku. "Tapi mungkin kuda nil dengan kepala gajah bagus juga!"

Nenek berdehem kecil sebagai reaksi, kemudian ia lanjut melangkah lagi. Di depanku, nenek membuka pintu kamarnya. "Ayo ikuti nenek," pintanya.

Kamar nenek adalah definisi tempat kuno berabad-abad lalu. Aroma bunga lavender akan menyesaki indra penciumanmu. Belum lagi bau dua toples kayu manis di atas nakas samping tempat tidur. Setiap berada di kamar nenek, bulu kudukku meremang kala mataku beradu pandang dengan tengkorak kepala rusa yang lengkap dengan tanduk keringnya, digantung pada dinding atas ranjang.

"Untuk mengusir makhluk jahat," kata nenek suatu waktu. Mama pernah menjelaskan kalau itu semacam tradisi turun temurun nenek moyang.

"Tengkorak rusa itu tidak makan daging anak kecil." Nenek menarikku kembali pada realitas, dengan suara seraknya. "Dan dia tidak hidup."

"Tapi dia menatapku."

"Itu tengkorak. Matanya tidak ada."

Aku bergidik, lalu mendekat ke arah nenek. Wanita itu tengah susah-payah menggeser lemari coklat tanpa cermin di sisi kiri kamar.

"Apa yang kau lihat?" tanyanya, bola mata kelabunya mengarah padaku.

Kubantu nenek menggeser lemari. Karena masih kecil, tenagaku masih sejumput di atas nenek. Alih-alih tergeser, lemari ini tetap bergeming. Detik berikutnya, kucoba kerahkan seluruh tenaga, akhirnya lemari bergeser.

Tampaklah pintu di sana.

Nenek menatapku sejenak, "Suatu saat Nenek akan mati, kau mesti menjaga Hurrah untuk Nenek." Dan usai mengunjungi Hurrah, dua hari berikutnya nenek meninggal. Menyisakan sebuah misteri, kira-kira di dalam Hurrah ada apa saja selain kapal bajak laut terbengkalai yang kulihat?

Rigor MortisWhere stories live. Discover now