#17

33 6 4
                                    

|| 1356 words ||

Inginnya, sih, aku berlagak seperti pelindung untuk gadis di sampingku ini. Memeluknya, misal. Tapi yang bisa kulakukan cuma menjerit histeris, sampai-sampai aku bingung mendeskripsikan rasa ranting-ranting kecil dan dedaunan yang masuk dalam mulutku.

Pusaran awan gelap yang mengelilingi pilar-pilar semakin mempercepat lajunya dan memperkecil jaraknya. Tubuhku terasa berat dan ingin putus secara bersamaan akibat tekanan. Seakan sedang ada tangan tak kasat mata yang berbondong-bondong menarik kedua tungkai kakiku dan kepala. Kilatan-kilatan petir sialan ini terus mengumandangkan gemuruh yang niscaya jika lebih lama bakal membuat kuping mengalami ketulian.

Waktu terasa lambat. Setiap detik yang berlalu seperti bermenit-menit. Belakang bola mataku terasa perih, tubuhku keram. Sebetulnya, aku tidak yakin apakah kiranya ini hanya imajinasi atau sebuah delusi saja, ketika membuka kelopak mata berikutnya tempat di sekitarku berubah, secara harfiah.

Aku terbaring di atas bebatuan. Ketika beringsut duduk, belakang bola mataku mendadak perih karena silau. Seluruh tubuhku baik-baik saja. Rasa tercekik, perih dan keram sebelumnya hilang. Seolah aku baru saja bangun tidur di pagi yang cerah.

Nah, pagi yang cerah itu bukan sekadar perumpamaan, tetapi sungguhan terjadi secara harfiah. Pohon-pohon cemara dan pinus berdiri kehijauan. Anakan semak di bawahnya tumbuh subur disertai bunga aneka jenis. Kicauan burung seperti bersahutan di setiap sudut tempat. Cakrawala biru membentang luas. Aku baru saja menyadari beberapa detik kemudian, saat mengedarkan pandangan bahwa aku berada di pilar segienam sebelumnya.

Tempat ini masih bersih dan tampak baru. Aku jadi bertanya-tanya apakah aku terpelanting di era beberapa hari sebelum Gerbang Ephemeral ini dibuat.

Oke, masih banyak hal yang tidak masuk akal daripada hal itu. Salah satunya keberadaan Anya, Vader dan Peri Mortem. Aku heran dan tampak gelisah.

Angin berembus sejuk, membawa aroma bunga-bunga yang harum. Segeralah aku beringsut bangkit. Tulisan-tulisan kuno pada permukaan keenam pilar masih terukir bagus. Jelas atau tidak, menurutku tetap sama ketika kau tak bisa memahaminya sama sekali. Jadi aku abaikan saja sejenak.

Aku tidak lagi lagi mirip gelandangan yang gosong, tetapi sekarang lebih baik. Jadi, aku kepikiran kalau ini benar-benar hanya delusi. Apa yang terjadi berada di luar logikaku.

Aku mungkin sudah seratus persen berada dalam imajinasi, saat melihat asap putih berpendar dari kejauhan. Mataku memipih. Itu seperti aliran air yang melayang di udara mirip cara ular berenang di air. Semakin dekat semakin membesar bentuknya. Hingga tak jauh di depanku, asap putih ini mengubah wujud menjadi seseorang ....

Seorang wanita berkulit kelewat mulus. Rambutnya panjang berwarna putih sebatas pinggul. Di atas ubun-ubunnya terdapat mahkota berbentuk akar yang sepertinya ditempel begitu saja di sana. Seluruh pakaiannya pun berwarna putih, dengan kemilau abu-abu. Gaun panjang, hingga menutupi tungkai kakinya yang sepertinya tak perlu repot-repot dia lakukan, karena asap putih masih membuat pusaran di sana. Aku bertanya-tanya apakah dia ini hantu kuntilanak versi siang hari atau semacamnya.

Katanya, "Wah, lihat, siapa yang datang."

Keningku mengernyit. Wanita muda ini bergerak mendekat. Aku sempat menduga dia tak punya kaki, karena dia leluasa terbang rendah ke arahku seolah-olah ada angin tak kasat mata yang meniupnya dari belakang.

Aku tersaruk mundur ketika tangannya yang mulus tanpa noda ini ingin meraih wajahku. "Kau ini siapa?"

"Yang pasti bukan hantu," katanya. Wah, dia sepertinya tahu isi batok kepalaku. "Jangan takut. Kau mengingatkanku pada 87 tahun yang lalu. Ah, apa 100 tahun yang lalu, ya? Mungkin antara 105 atau 200 tahun yang lalu."

Rigor MortisWhere stories live. Discover now