d-10 | when the world revolves around them

Начните с самого начала
                                    

Mas Gusti menoleh. "Ibu dikasih tau nggak, tuh anak magang di mana?"

"Ibu nggak nanya. Udah pesimis. Transkrip nilai aja pas-pasan, pengalaman organisasi nggak punya, ya udah lah, magang di mana aja terserah."

"Di tempat Ismail!"

Trinda baru aja mau senyum mendengar jawaban bijak ibunya, eh, Masnya sudah nyahut duluan, bikin ibunya memincingkan mata dengan dahi berkerut-kerut.

"Emang kenapa siiih? Di sana juga magang beneran kok. Masuknya aja rada gampang karena pake orang dalam, tapi kerjanya sama aja kayak intern yang lain." Trinda berusaha membela diri.

"Ismail temen kamu, Mas? Yang waktu kalian magang di Bali, dia balik duluan karena ada masalah itu?" Tidak mengindahkan Trinda, Bu Hari nanya ke Mas Gusti.

"Yang punya kafe." Mas Gusti memberi alternatif titel yang lebih proper untuk Ismail.

"Iya, yang itu, kan?"

"Iya, yang itu."

"Terus magangnya di bagian apa? Sesuai sama jurusan kan, Nduk? Jangan sampe udah susah-susah, terus disuruh ngulang lagi kayak Mbak Prita."

Mbak Prita itu adik kandung Bu Hari, bulik Trinda, yang track record kuliahnya paling lama sekeluarga.

"Tempat magang kan butuh ACC dosen pembimbing, Bu. Udah pasti sesuai lah."

"Kenapa nggak ke tempat Mbak Iis aja sih??"

Dan obrolan soal itu jadi puanjaaang, sampai-sampai Trinda dendam, pengen pura-pura sakit aja biar nggak usah datang ke nikahan masnya.


~


Sebagai pasangan kondangan yang baik, Winny datang sendiri tanpa dijemput, di sore hari pulang kerja pada H-1 acara. Sudah siap juga dengan tas berisi pakaian ganti yang sudah disetrika rapi. Siapa lagi yang jadi tukang antar jemputnya kalau bukan Theo? Bagusnya, dengan kehadiran mereka yang kelewat cepat, Trinda jadi punya alasan untuk nggak nimbrung keluarganya makan rame-rame nanti malam, dan pilih room service saja di kamarnya untuk mereka bertiga.

"Daripada bengong sendirian di kosan, besok ikut aja sih, Yo." Trinda ngomong ke Theo yang sudah duluan tengkurap di kasur untuk merilekskan otot-otot yang kecapekan dipakai kerja seharian, sementara Trinda dan Winny menunggu pesanan makan mereka dengan sabar di kursi.

"Males nyari baju yang sesuai dresscode-nya." Cowok itu menggumam dengan mulut teredam bantal. "Gue nunggu di sini aja gimana? Ntar bungkusin makanannya."

"Dih??" Trinda memutar bola mata, sementara Winny senyum-senyum.

"Ya udah, sekalian aja nggak usah balik, Beb. Bertiga muat kan di sini?" Winny memutuskan sambil meringis ke Trinda. Trinda iya-iya saja. Dia mah sudah biasa jadi orang ketiga. "Btw, gimana progress PDKT lo? Balik dari Malang nggak cerita-cerita."

Ditanyai begitu, Trinda mendengus pelan. Bawaannya masih kesal karena lima hari keluar kota dengan Mas Ismail—dengan tiga hari cuma berdua saja—nyatanya nggak bisa dia manfaatkan sebaik mungkin.

Rasa-rasanya sudah sempat tercipta chemistry, tapi nyatanya kok sikap Mas Ismail lempeng begitu-begitu saja?

"Camping di pantai juga kan tuh? Gue sempet lihat story-nya." Theo ikut-ikutan.

"Ayo dong bestie, cerita."

"Apanya yang mau diceritain? Nggak ada progress apa-apaan."

"Lo bukannya udah bertekad mau tebar pesona? Nggak jadi?"

"Jadi, tapi dia nggak termakan pesona gue."

Winny melongo, sementara Theo cekikikan. "Ya gimana yaa ... dia kan taunya elo adeknya temen sendiri. Kalaupun terpesona, emang bisa apa?"

"Kurang kenceng kode lo, Beb. Si abang-abang ini nggak pekaan kayaknya orangnya."

"Gue nih ya, kalau ada anak yang sepuluh tahun lebih muda tebar pesona, nggak bakal nyampe juga akal gue buat mencerna maksudnya si bocil. Beda 10 tahun tuh udah kayak beda peradaban."

"Sepuluh tahun lebih muda dari elo mah masih SD kelas lima atuh." Winny melotot ke pacarnya.

"Waktu si Ismail seumuran kita, Trinda juga kelas lima, Babe. Creepy banget lah, pasti kebayang-bayang kayak main sama ponakan sendiri, biarpun kalau udah sama-sama tua begini nggak kelihatan beda jauh umurnya."

Trinda makin muram, apalagi Winny juga jadi bergidik.

"Ya udah, sabar aja dulu. Kasus lo ini nggak bisa diburu-buruin. Sekalinya tuh orang ilfeel, bye!"


~


Jam setengah tujuh lewat sedikit, Trinda berpapasan dengan Mas Ismail di lobby hotel.

"Mas? Di sini juga? Oh, iya, ya, pada mau bachelor party. Di lantai berapa?"

"Tiga satu. Elo ...." Cowok itu meneliti penampilan Trinda sejenak. Sudah bukan pakaian kerja tadi, berarti cewek itu bukannya baru tiba juga. "... mau ngapain abis ini?"

"Nggak ngapa-ngapain." Trinda menjawab dengan kening berkerut-kerut. Sumpah, dia nggak siap dengan pertanyaan si mas. Bisanya kan dia yang make a move, jadi dia sudah siap dengan dua simulasi, apabila ucapannya diiyakan atau tidak. Kalau sebaliknya begini, Mas Ismail yang nanya, mau nggak mau jantung Trinda kayak mau meledak saking excited. "Kenapa?"

"Mau massage nggak? Gue udah reservasi buat dua orang, mendadak si onta batalin."

YA TUHAN, TRINDA BENERAN MAU MELEDAK.

WAIT—Onta itu ... nggak mungkin cewek ... iya, kan?

Tapi nggak mau menyia-nyiakan kesempatan yang jelas nggak akan datang dua kali, Trinda cepat-cepat mengangguk—berusaha sebisa mungkin tidak kelihatan terlalu bersemangat, juga membuang jauh-jauh ingatan bahwa baru kemarin malam dia pergi massage bersama ibu dan masnya.

"Reservasinya jam berapa?" tanyanya balik.

"Jam tujuh. Kalau mau ambil barang dulu di kamar, ambil aja, gue tunggu di lantai delapan."

"Enggak, langsung aja." Dalam hati Trinda amat bersyukur tadi dompetnya ketinggalan di kantor dan mas-mas OB-nya mau mengantarkan ke hotel tepat di saat Mas Ismail baru tiba juga.

What a coincidence!



... to be continued

Ternyata chapter ini ratingnya mature. 💀😩 Jadi kalian kebagian setengah chapter aja ya. Kalau ngerasa gantung bet adegan terakhirnya, silakan baca chapter 10 di Karyakarsa.

Dated; Engaged [COMPLETED]Место, где живут истории. Откройте их для себя