Kalimat-kalimat itu terus menghantui pikiran Amara. Entah kepada siapa ia akan bertanya. Amara langsung teringat dengan Ilham. Segera Amara pergi ke Pondok, gadis itu begitu penasaran dengan urusan bapaknya.

Setibanya di ruangan para pengajar, Amara celingukan mencari ustazah Siti. Perempuan itulah yang bertugas menyimpan buku data para santri. Di lihatnya ustazah Siti sedang duduk di kursi, sambil mengerjakan tugas-tugasnya sebagai pengajar.

"Assalamu'allaikum, Ustazah?"

"Wa'allaikumussalam, ada apa Ra? Tumben ke sini," Balas Ustazah Siti sembari menoleh ke arah Amara yang sudah berdiri di hadapannya.

"Maaf, apa saya boleh lihat catatan data santri bernama Ilham, Ustazah? Saya ada perlu dengan dia. Tetapi, saya tidak tahu di mana rumahnya," tanya Amara. Ia dilanda rasa gugup yang hebat, ini kali pertama ia berurusan dengan seorang laki-laki. Kalau bukan karena khawatir, mungkin Amara akan mengabaikan ucapan bapaknya tadi.

"Ilham? Pengawas kelas yang temannya Ahmad itu ya?" Ustazah Siti berbalik tanya.

Amara segera menganggukan kepala.

"Sebentar ya, saya carikan dulu. Kalau boleh tahu, ada urusan apa ya? Jarang-jarang loh, kamu mencari tahu tentang laki-laki. Apa jangan-jangan dia ca—

"Tidak ada urusan apa-apa, Ustazah. Saya hanya disuruh Abah, ya ... disuruh Abah." Potong Amara. Tubuhnya bergemetar hebat. Ia terpaksa berbohong, untuk mengelabui ustazah Siti yang terus memberinya pertanyaan.

"Owalah, disuruh Pak Kiai to. Bilang atuh dari tadi, kan saya bisa langsung cari," sahut ustazah Siti sembari mengambil beberapa tumpuk buku. Memilah satu persatu buku tersebut.

"Ini dia, semua data santri seangkatan Ahmad ada di sini, termasuk Ilham. Tolong dikembalikan kalau urusan Pak Kiai sudah selesai." Ustazah Siti menyodorkan sebuah buku ke Amara. Gadis itu mengambil buku tersebut. Kemudian segera berpamitan dengan ustazah muda itu.

Amara kembali ke rumah dengan tergesa-gesa. Pandangannya hanya tertuju ke depan. Melewati jalanan di koridor Pondok. Ia juga sempat menyapa beberapa ustaz yang kebetulan sedang santai di depan kamar para santri. Namun, saat hendak berbelok ke arah jalan pulang, ia tak sengaja bertemu dengan Oliv.

Amara menghentikan langkah, ia memandang ke arah Oliv yang sedang mengobrol dengan beberapa santriwati. Dengan hati berdebar, Amara berjalan melewati Oliv dan santriwati yang lain.

"Assalamu'allaikum," sapa Amara sambil menundukkan kepala.

"Wa'allaikumussalam," balas Oliv dan yang lain.

"Darimana, Ra?" Tanya Oliv dengan pandangan tak suka. Menjadi anak seorang Kiai memang tak selamanya menyenangkan. Adakalanya, banyak orang yang tak suka kepada Amara, terlebih gadis itu sangat akrab dengan Ahmad, pemuda yang dikagumi banyak santriwati, termasuk Oliv.

"Dari kantor, Liv." Jawab Amara singkat. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan.

"Kalau sudah punya calon suami, jangan coba-coba selingkuh, Ra. Ingat, karma. Lagian, tidak baik kan seorang anak Kiai ketahuan selingkuh," ucap Oliv dengan nada suara tinggi. Ia sengaja mengeraskan suaranya supaya Amara dapat mendengar dengan jelas. Para santriwati yang lain pun terkekeh-kekeh bersamaan.

Amara mempercepat langkah. Mencoba mengacuhkan kata-kata Oliv. Meskipun telinganya sayup-sayup mendengar percakapan mereka dari kejauhan. Semua yang dikatakan gadis itu tidak benar. Tidak ada yang namanya calon suami. Yang ada hanya seorang teman. Ya, ia masih menganggap Ilham sebatas teman. Meskipun nanti, jika mereka berjodoh, Amara tetap menganggap Ilham sebagai teman hidup, tidak lebih. Sebab dihatinya, masih ada nama Ahmad.

Sebuah mobil avansa berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu. Rumah kecil yang terletak di dekat hutan itu, terlihat sedikit ramai. Ada beberapa orang yang sengaja menunggu kedatangan sang tamu.

Saat sang tamu turun dari mobil, seseorang menyambutnya dengan hangat.

"Selamat datang Pak Kiai," sambut Pak Usman.

"Apa semuanya sudah berkumpul, Man?" Tanya Kiai Sobirin.

"Sudah, Pak Kiai. Semua sudah hadir, kecuali Pak Parta." Jawab Pak Usman.

"Baikah kalau begitu. Mari segera mulai rapatnya." Pinta Kiai Sobirin sambil berjalan memasuki rumah tersebut, diiringi dengan beberapa orang yang menjemputnya di Pondok beberapa jam lalu.

Pak Usman, Pak Heru, dan beberapa warga desa Giung Agung tengah berkumpul bersama Kiai Sobirin. Hadir juga Kiai Habidin rekan sejawat Kiai Sobirin. Mereka akan membicarakan perihal kejadian di desa. Termasuk pula upaya penyelamatan Ahmad yang sedang di tawan oleh Ipul dan Pak Sulaiman. Dan tak lupa, mencari tahu keberadaan Indah yang sampai saat ini masih hilang.

Informasi tentang Ipul sudah di dengar oleh Kiai Sobirin. Sebab, Kiai itu memang sengaja memasang telepon di rumah salah satu warga, supaya lebih mudah berbagi informasi.

"Pak Kiai, saya sudah menjalankan tugas untuk membujuk Adiba supaya pergi dari rumah. Saya juga sudah mengutus orang untuk menjaganya di gubuk. Maaf, kalau boleh tahu, kenapa Adiba bisa terlibat? Bukankah dia belum lahir, ketika tragedi itu terjadi?" Pak Usman memulai percakapan.

Kiai Sobirin menghela napas panjang. Ia memandang semua orang di dalam rumah itu. Ada perasaan bersalah yang menghinggap dihatinya. Masa lalu yang buruk, sudah merubahnya menjadi manusia terkeji saat itu. Beliau ingat betul, berapa banyak manusia yang menjadi korban. Bahkan orang yang dicintainya pun turut menjadi korban kebejatannya.

"Sebelumnya, saya mau meminta maaf kepada Bapak-Bapak semua. Saya harap, dengan kejujuran saya nanti, Bapak-Bapak tidak membenci saya. Semua yang saya lakukan saat ini, sebagai penebus dosa yang telah saya lakukan di masa lalu. Saya bergabung dengan kelompok ini supaya saya bisa membantu membasmi para kelompok tudung hitam yang ternyata masih bertahan sampai sekarang. Saya benar-benar minta maaf, jika dulu saya bertindak diluar batas. Saya minta maaf, Bapak-Bapak ..." Kiai Sobirin bersujud di hadapan semua orang yang hadir di sana. Pak Usman dan Pak Heru segera mencegah Kiai Sobirin. Mereka juga merasa sungkan jika sang Kiai melakukan hal tersebut.

"Jangan lakukan itu, Pak Kiai. Kami mohon, kembalilah duduk." Pinta Pak Usman.

Kiai Sobirin menyeka air di ujung mata. Semua yang hadir pun saling berbisik. Baru kali ini, mereka melihat Kiai Sobirin menangis. Ada sesuatu yang menyentuh di hati mereka. Namun, mereka juga sulit memahami isi hati sang Kiai.

"Sebenarnya, apa yang ingin Pak Kiai sampaikan? Kami akan mencoba memahaminya." Kata Pak Heru. Ketua RT itu juga penasaran. Terlebih, ia sudah tidak sabar untuk segera menemukan Indah.

"Sebenarnya, Adiba adalah anak kandung saya dari istri pertama saya, Maimunah." Ucap Kiai Sobirin.

"Apa!" Semuanya berteriak secara serentak. Pak Heru, Pak Usman dan yang lain terkejut mendengar pengakuan Kiai Sobirin. Mereka tak menyangka jika Kiai kondang itu ternyata ayah kandung Adiba. Lantas, siapa sebenarnya Pak Parta? Kenapa Adiba justru diasuh orang lain?

Suasana menjadi hening. Semua yang hadir tiba-tiba terdiam. Hanya kedua mata mereka yang terlihat saling melirik.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now