"Mas Yudi tidak boleh bicara seperti itu. Justru kita harus melawan rasa takut dengan cara mendekatkan diri kepada Allah. Semua yang terjadi, sudah menjadi bagian dari takdir. Mas Yudi tidak boleh putus asa seperti itu," kata Ahmad dengan nada lembut.

"Ya, Mas." Singkat Yudi. Ia segera berikamah. Beberapa menit kemudian keduanya melaksanakan shalat maghrib secara khidmat.

Setengah jam berlalu. Dari kejauhan terlihat seseorang tengah berlari ke arah mushola. Dilihatnya, ada dua orang pemuda yang tengah membaca ayat suci Al-Qur'an. Orang tersebut segera mempercepat langkah. Berlari sekencang mungkin, menghampiri kedua pemuda tersebut.

"Tolong! Tolong!"

Ahmad dan Yudi segera beranjak dari duduknya, setelah mendengar teriakan orang tersebut.

"Tolong! Tolong saya!"

"Pak Sulaiman? Ada apa Pak?" Tanya Ahmad panik melihat Pak Sulaiman yang tiba-tiba datang dengan raut wajah ketakutan.

"Tolong saya, Mas. Tolong saya!" Jawab Pak Sulaiman dengan tubuh bergemetar.

"Ya, Pak. Kami pasti bantu. Tolong katakan apa yang terjadi," pinta Ahmad berusaha menenangkan Pak Sulaiman yang sedari tadi kelimpungan. Beberapa kali juga ia menoleh ke arah belakang dengan wajah pucat.


"A-da mayat, Mas. Mayat!" Seru Pak Sulaiman.

"Mayat?" Ucap Ahmad dan Yudi secara bersamaan.

"Ya, Mas. Ada mayat!" Pak Sulaiman mengulang kalimatnya.

"Mayat siapa, Pak? Di mana?" Ahmad semakin penasaran. Sementara Yudi, beberapa kali terlihat mengelus tengkuk. Ia berusaha membuang rasa takut. Meskipun sekujur tubuhnya ikut bergemetar.

"Di- di rumah!" Tandas Pak Sulaiman.

"Ayo kita ke rumah Bapak sekarang!" Titah Ahmad. Pak Sulaiman mengangguk cepat. Keduanya segera menuju kediaman Pak Sulaiman. Yudi dengan langkah lamban mengikuti dari belakang.

Setibanya di rumah Pak Sulaiman, ketiganya bergegas masuk ke dalam. Rumah yang terbuat dari kayu itu tampak gelap gulita. Padahal tidak sedang mati listrik.

"Di mana mayatnya, Pak?" Tanya Ahmad.

"A‐ ada di dapur, Mas." Jawab Pak Sulaiman menunjuk arah belakang rumah.

"Mari kita periksa!" Ajak Ahmad, namun saat hendak menuju dapur, Yudi dengan cepat menahan langkah Ahmad dengan menarik tangannya.

"Tunggu, Mas. Apa Mas Ahmad tidak curiga pada Pak Sulaiman? Pak Sulaiman punya banyak tetangga loh, Mas. Kenapa harus minta tolong sama kita? Kan bisa sama tetangganya, Mas."

Seketika Ahmad terdiam. Benar yang dikatakan oleh Yudi. Kenapa Pak Sulaiman tidak meminta tolong kepada orang terdekat, tetapi justru sengaja lari menuju mushola.

BUK!

BUK!

Keduanya pun jatuh tertelungkup dengan darah yang mengalir dari bagian belakang kepala. Mereka berdua kehilangan kesadaran.

"Rasakan itu! Akhirnya aku bisa melampiaskan kebencianku selama ini padamu, Bocah tengik!" Ucap rekan Pak Sulaiman.

"Kita bawa mereka ke dalam," titah Pak Sulaiman.

Pak Sulaiman dan rekannya menyeret tubuh Ahmad dan Yudi secara bergantian. Ahmad diikat di sebuah tiang kayu. Sementara Yudi dikurung di dalam kamar. Tentu saja dengan ikatan di tangan dan kakinya.

"Mau kau apakan dia? Kamu yakin, dia yang dimaksud oleh sang pemimpin?" Tanya Pak Sulaiman.

"Tentu saja, Siapa lagi." Jawab rekannya.

"Apa yang membuatmu yakin, saya lihat dia pemuda baik-baik." Balas Pak Sulaiman.

"Dia memang pemuda baik- baik, tetapi jika terus dibiarkan hidup, dia akan menjadi bumerang buat kita. Sekarang saya mulai paham, kenapa pria tua itu sangat menjaganya. Ternyata dia adalah anak Ki Alif. Ketua dari Tudung Putih." Jelas sang rekan.

Kedua mata Pak Sulaiman terbeliak lebar mendengar penuturan rekannya. Dia sangat terkejut ketika nama itu disebut. Peristiwa kelam yang terjadi pada masa itu, kini tertampang jelas di matanya.

Peristiwa di mana ia beserta rekan yang lain, dengan sadis membantai satu keluarga. Bahkan ia juga masih ingat saat dirinya menggorok leher seorang gadis kecil yang tidak bersalah.

"Ja-jadi dia anaknya Nunung?" Tanya Pak Sulaiman dengan tubuh bergemetar.

"Tentu saja." Tukas sang rekan. "Lupakan dia! Perempuan itu memang pantas mati! Dia tega mengkhianati kita dan memilih menikah dengan musuh bebuyutan kita. Saya rasa, kematian mereka bukan sekadar dijadikan tumbal, tetapi untuk memperluas kekuasaan." Imbuhnya.

Pak Sulaiman terkulai lemas, ia bahkan menjatuhkan diri ke lantai. Ada sesak di dalam dadanya. Bagaimana pun, ia merasa bersalah karena telah membiarkan orang lain membunuh mantan istrinya. Tangis Pak Sulaiman pecah. Ia terisak cukup keras, hingga membuat rekannya geram.

"Dasar lemah! Kau itu seorang bajingan, Man. Pantang untuk menangis!" Sindir rekan Pak Sulaiman.

"Bagaimana pun, dia itu mantan istriku. Dia perempuan yang baik," ujar Pak Sulaiman.

"Mana ada perempuan baik yang mau selingkuh dengan lelaki lain, Man? Mana ada!" Bantah sang rekan.

Pak Sulaiman hanya terdiam. Semua yang dikatakan orang itu tidaklah benar. Mantan istrinya tidak seperti itu. Mereka sepakat bercerai dengan cara baik-baik. Nunung adalah perempuan terhormat. Ia bahkan menjaga muruahnya sebagai perempuan di saat masih menjadi istrinya. Pak Sulaiman begitu mencintainya. Dia tidak ingin perempuan itu terjerumus ke lembah kemaksiatan. Namun, ia benar- benar tak menduga, jika Nunung menikah dengan Ki Alif, yang jelas-jelas adalah musuhnya.

Peristiwa masa lalu membuatnya terus merasa bersalah. Bahkan seberapa banyak ia menangis pun tak akan bisa menebus dosa yang telah ia lakukan. Membunuh anak dari perempuan yang ia cintai.

"Argh!" Yudi merasakan sakit di bagian kepala. Ia segera terperanjat ketika menyadari kedua tangan dan kakinya terikat.

"Di mana aku," lirihnya sambil mengedarkan pandangan. Kamar yang ditempatinya sangat asing. Sayup-sayup Yudi mendengar seseorang tengah mengobrol dari luar. Yudi berusaha mengintip siapa orang tersebut. Tetapi, ikatan di kakinya begitu kuat. Jangankan berdiri, mengesot pun ia tak mampu.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now