Bab 5 (Menjaga Jarak)

Start from the beginning
                                    

Kupikir perdebatan itu akan berlangsung lama, atau setidaknya ada adegan extrime yang akan terjadi namun ternyata aku salah. Atta lebih dulu datang menjemput Niffa. Dia hampir turun dari motornya namun Niffa lebih dulu mendorong Baim dan bergegas menaiki motor Atta sebelum adiknya itu mengamuk pada Baim mungkin. Dan jangan berpikir Baim akan diam saja, alih-alih mengejar Niffa ke motor Atta, Baim justru masuk kembali ke dalam mobilnya, sepertinya bersiap untuk membuntuti Niffa dan Atta.

Aku menarik Yasa untuk segera berdiri.

Melihat Atta yang mengemudikan motornya dengan cepat, aku cukup kesal dengan gerakan Yasa yang terbilang lambat. Aku hampir saja ingin meninggalkan nya namun lupa kalau saat ini aku sedang menggunakan motor milik Yasa.

Jadi sekarang, aku lebih memilih untuk menunggunya.

"Astagfirullah!" Aku nyaris meninju Yasa, saat dia dengan santainya masih menepuk nyamuk sementara Niffa dan Atta sudah tidak terlihat. "Buruan Yasa!"

Dan alih-alih bergerak lebih cepat, Yasa justru masih tetap terlihat santai. Dia bahkan sempat mematikan rokoknya terlebih dahulu sebelum dia menaiki motornya dan menyuruhku untuk segera naik.

Anehnya, Yasa mengemudikan motornya berlainan arah dengan arah Niffa dan Atta pergi saat kutanya ini jalan menuju kemana dia hanya menjawab kalau aku harus percaya saja padanya dan percaya kalau kami akan tiba lebih dulu ditempat Niffa dan Atta dari pada Baim.

Dan benar memang, kami tiba lebih dulu dari Baim. Bahkan, Niffa dan Atta pun belum sampai di rumah mereka sementara kami sudah, sungguh ajaib temanku yang satu ini dia sangat tau jalan-jalan tikus kota Jakarta yang aku sendiri saja bahkan tidak tahu.

"Kita nggak kejauhan disini, Yas?"

"Enggaklah," Yasa menggeleng, kemudian berkata. "Kalau kita majuan dikit lagi aja, itu namanya udah bertamu ke rumah Niffa dan sudah bisa dipastikan lo akan duel lagi sama Baim."

"Gue nggak pernah duel sama dia."

"Yoi," Yasa menjawab dengan menyalakan rokoknya lagi. "Lo emang nggak pernah duel, cuma pernah dilabrak sama dia." Lalu dia terkekeh sendiri. "Dih, najis kaya cewek labrak melabrak, tai."

"Bacot."

Aku baru akan naik kembali ke motor Yasa untuk duduk, tapi ponselku berbunyi. Sebuah nomor baru muncul dilayar ponselku, mengeryit sebentar aku akhirnya mengangkat panggilan masuk dari nomor itu dan langsung melemparkan sebuah pertanyaan tanpa basa-basi pada si penelpon.

"Siapa?" Tanyaku.

"Aku," balasnya santai. "Niffa."

Awalnya aku tidak ingin mempercayai kalau itu memang Niffa, tapi suara Niffa yang sudah aku hapal diluar kepalaku membuat aku akhirnya berpikir tentang hal lain. Niffa mengganti nomornya? Nomor yang sudah lama dia gunakan itu? Untuk apa?

"Kamu ganti nomor?" Tanyaku, tanpa basa-basi. Lagi pula, aku memang tidak pandai berbasa-basi.

"Iya." Niffa menjawab singkat.

"Kenapa?" Tapi sebenarnya aku lebih penasaran dengan hal lain, karena itu aku langsung bertanya padanya. "Kamu di mana?"

"Rumah kamu."

"Rumah aku?"

"Iya."

"Ngapain?" Balasku sedikit dengan nada tak enak. Ini sudah malam, di rumah hanya ada Ibuku. Dan, kalau Baim sampai bisa menyusul Niffa dan Atta ke sana lalu dia tahu kalau itu adalah rumahku, bukankah suasananya akan semakin tambah kacau? Alih-alih menghentikan masalah, Niffa justru akan menambahkan masalah baru jika sampai Baim tahu tentang hal itu.

KhaniffaWhere stories live. Discover now