"Tidak ada cermin di sini, berarti suara tadi bukan berasal dari kamar Mas Heru." Ahmad melihat sekeliling. Memang tidak ada satu pun cermin di sana. Ahmad berjalan menuju ranjang. Hanya ada bantal dan guling. Ahmad beralih duduk di atas kasur. Ingatannya kembali muncul, di mana ia melihat keluarganya di bunuh secara sadis oleh beberapa orang misterius. Jerit tangis sang ibu, terngiang jelas di telinga. Ditambah pula rintihan sang adik yang begitu pilu saat sebuah golok menggores lehernya.

"Ibu ... Hawiyah ... Maafkan Ahmad." Lirih Ahmad sambil terisak. Air matanya kembali tumpah.

PERGI DARI SINI!

Seketika Ahmad terjatuh dari ranjang, setelah ia mendengar bisikan tersebut.

"Siapa kamu! Mau apa kamu! Hai, keluarlah!" Teriak Ahmad.

KRIIEETT!

Tiba-tiba saja pintu lemari yang sedari tadi terkunci mendadak terbuka sendiri. Ahmad beranjak dari lantai. Mencoba memeriksa lemari tersebut. Hanya ada beberapa tumpukan baju yang disusun rapi. Namun, saat hendak berbalik, pandangan Ahmad tiba-tiba saja tertuju pada satu helai baju. Saat Ahmad mencoba mengambilnya, tiba-tiba sesuatu terjatuh dari bawah lipatan baju tersebut. Sesuatu yang membuat kedua matanya terbelalak lebar.

"Mbak Nilam?" Ahmad memungut sebuah foto, di mana ia melihat foto Kakak sepupunya waktu masih muda bersama beberapa orang asing. Dari sekian banyak orang di dalam foto, Ahmad justru tak menemukan wajah Pak Heru di sana. Ahmad sedikit terganggu dengan salah satu pemuda di foto tersebut. Ahmad berusaha mengingat wajah orang tersebut.

"Pak Parta!" Seru Ahmad ketika menyadari orang tersebut adalah Pak Parta.

"Jangan-jangan ..." Ahmad segera memasukkan foto tersebut ke dalam saku. Ahmad juga menata kembali isi lemari Pak Heru agar terlihat rapi. Kemudian ia berjalan keluar kamar.

"Bagaimana Mas, ada petunjuk tidak?" Tanya Yudi yang bergegas menghampiri Ahmad saat pemuda itu selesai menutup pintu.

"Tidak ada, Mas. Tidak ada yang mencurigakan di kamar Pak Heru." Jawab Ahmad berbohong.

Dengan wajah pasrah, Yudi hanya bisa menghela napas. Ia berharap ada sesuatu yang bisa ditemukan di kamar Ketua RT itu.

"Sekarang saya mau masuk ke kamar Indah, Mas. Mas Yudi masih sanggup berjaga kan?" Ucap Ahmad.

"Ya, Mas. Saya masih sanggup." Tukas Yudi.

"Baiklah kalau begitu. Saya masuk dulu," Ahmad menepuk bahu Yudi. Pemuda itu hanya menganggukkan kepala. Kemudian kembali duduk di kursi ruang tamu untuk berjaga-jaga.

Selangkah demi selangkah, Ahmad berhasil masuk ke dalam kamar Indah. Baru saja setengah badan, Ahmad sudah mencium aroma kemenyan dari dalam. Indra penciumannya sangat terganggu dengan aroma tersebut.

"Uhuk, Uhuk!" Ahmad terbatuk-batuk. Ia menutup hidungnya dengan kedua tangan. Kemudian berjalan masuk ke dalam.

Ahmad mengedarkan pandangan, kamar Indah jauh lebih bagus dibanding kamar Pak Heru. Ada satu lemari, dan satu ranjang. Ada pula laci tempat menaruh beberapa alat make up. Dan sebuah cermin sebesar ukuran tubuh manusia yang tertempel di dinding. Namun, cermin tersebut sama sekali tidak pecah. Satu goresan pun tak ada.

"Apa yang sebenarnya Indah dan Mas Heru sembunyikan." Gumam Ahmad dalam hati.

Belum sempat Ahmad melangkahkan kaki, tiba-tiba saja Yudi menyelinap masuk ke dalam kamar.

"Loh, Mas Yudi kok—

"Husst! Ada yang datang." Bisik Yudi sambil menutup mulut dengan satu jari.

"Siapa?" Bisik Ahmad.

"Arrrgghh!"

BRAK!

Terdengar seseorang menendang sesuatu dari arah ruang tamu. Ahmad dan Yudi berusaha tidak bergerak sama sekali. Keduanya juga berusaha menata pernapasannya yang sedikit terengah-engah. Yudi mencoba mengintip dari celah lubang kayu. Namun, seseorang itu tengah berdiri memunggunginya.

"Sial! Kenapa buku itu bisa hilang! Siapa orang yang mencurinya! Jangan-jangan, komplotan tudung putih."

"Tudung putih?" Ahmad seketika ingat dengan sebutan itu.

"Mas, Mas Ahmad. Coba lihat siapa yang datang," ucap yudi selirih mungkin.

Kedua mata Ahmad membulat lebar, ketika melihat siapa yang datang.

"Pak Usman!"

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now