BUK!

Ahmad terhuyung. Kepalanya terasa sakit. Ada seseorang yang sengaja memukul kepalanya dari arah belakang. Dengan pandangan berkunang, Ahmad mencoba melihat orang di belakangnya. Namun, dengan minimnya penerangan Ahmad sama sekali tak bisa melihat jelas wajah orang tersebut. Tak lama kemudian, ia tak sadarkan diri. Ada yang mengalir dari kepalanya.

"Kenapa kau pukul dia! Lihat, kepalanya berdarah."

"Daripada kita ketahuan, lebih baik kupukul saja dia."

"Dasar bodoh!"

Dua orang misterius itu kini saling berdebat. Untuk menghilangkan jejak, salah satu orang itu menyeret tubuh Ahmad ke dapur. Merebahkannya di salah satu dipan.

"Cepat bersihkan lukanya!"

"Enteng sekali bicaramu! Kamu yang mukul, aku yang disuruh bersihkan!"

"Jangan banyak bacot kamu! Cepat lakukan! Atau kurobek mulutmu yang banyak omong itu!"

Dengan kesal salah satu orang tersebut pun membersihkan luka di bagian kepala Ahmad. Ia juga mengobati lukanya dengan peralatan seadanya. Sementara rekannya tengah sibuk mencari sesuatu di dalam kamar Popon.

Setengah jam kemudian. Orang misterius itu berhasil menemukan apa yang mereka cari. Sebuah buku yang sampulnya sudah usang. Sebagian halamannya juga sudah banyak yang sobek. Setelah mendapat apa yang mereka mau, keduanya pun bergegas keluar rumah. Sayang, salah satu dari mereka tak sengaja menjatuhkan sesuatu ke lantai.

***

Keesokan harinya, Ilham, Pak Asep dan Wawan sedang berada di perjalanan menuju kampung halaman. Awalnya Ilham menolak untuk pulang, namun Kiai Sobirin yang memintanya untuk ikut dengan sang bapak. Dirinya masih teringat dengan Amara. Ada rasa bersalah yang menghantuinya. Tetapi, semalam Kiai Sobirin sama sekali tidak membahas perihal pernikahan. Sedangkan Amara, hanya duduk terdiam sambil menyimak obrolan sang bapak dengan para tamunya.

"Bapak mau tanya sama kamu Ham, tapi kamu harus menjawab dengan jujur. Apa benar kamu menyukai anaknya Kiai Sobirin?" Tanya Pak Asep. Selama perjalanan memang keduanya terdiam. Tidak ada obrolan sama sekali. Ketika hampir setengah perjalanan, Pak Asep mulai mengawali percakapan.

Dengan canggung, Ilham hanya menganggukkan kepala. Pak Asep mengembus napan pelan. Lalu kembali diam. Hubungan antara Ilham dengan Pak Asep memang sedikit berjarak. Namun, jika lama tak bertemu, Ilham akan sangat rindu kepada sang bapak. Semua orang tua pasti juga memiliki rasa rindu kepada anaknya. Hanya saja, sebagian dari mereka memilih untuk mengutarakannya dengan cara yang berbeda.

Perjalanan menuju kampung Ilham tidaklah jauh. Hanya butuh dua jam dari Pondok. Ilham juga tak perlu susah payah menunggu kendaraan umum untuk bisa pulang. Kedua orang tuanya sudah menyediakan satu unit mobil untuk ia kendarai sendiri. Jadi, Ilham lebih leluasa untuk pulang ke rumah kapan saja.

Sesampainya di rumah, Ilham sudah disambut oleh beberapa orang. Semua orang yang hadir adalah rekan Pak Asep. Bisa dibilang, anak buah. Ilham juga tidak begitu tahu, apa pekerjaan bapaknya. Yang ia tahu, bapaknya hanya memiliki toko sembako yang buka di beberapa cabang.

"Selamat datang, Mas Ilham." Sambut para anak buah Pak Asep.

"Ada apa ini? Kok rame-rame." Tanya Ilham penasaran.

"Kami hanya sekadar berkunjung, Mas. Sekalian menjenguk keadaan Nyonya." Jawab salah satu anak buah Pak Asep.

"Ibu? Memangnya Ibu kenapa?" Ilham bertanya lagi.

"Nyonya sakit,"

"Apa!" Ilham segera berlari ke dalam.

Pak Asep hanya diam melihat sang anak panik. Ia menyulut sebatang rokok, kemudian duduk di kursi ruang tamu.

"Malam ini, kita eksekusi dia! Saya sudah bosan, dengan orang yang terlalu bertele-tele!"

"Baik, Tuan!"

***

Mentari pagi ini masih bersembunyi. Setitik cahayanya belum mampu menembus awan mendung yang sejak kemarin menggantung. Suasana pagi yang dingin, membuat sang pemilik tubuh enggan berpisah dengan selimut. Seperti Yudi, pemuda itu masih saja bercengkerama dengan guling. Entah sedang malas atau apa, ia tampak tak bersemangat hari ini. Peristiwa di mushola tempo hari membuatnya sering berhalusinasi. Ia bahkan lebih takut dari sebelumnya. Kalau bukan karena memenunhi tanggung jawab, mungkin Yudi tidak akan berani keluar kamar.

Tok! Tok!

"Assalamu'allaikum, Yud!"

"Siapa sih, pagi-pagi bertamu," gerutu Yudi sambil menyibak selimut. Kemudian turun dari ranjang.

Dengan langkah diseret, Yudi segera berjalan menuju depan.

"Wa'allaikumussalam, Pak Parta." Yudi terperangah melihat Pak Parta yang berdiri di depan rumahnya.

"Yud, saya mau bicara sama kamu, ini penting." Ucap Pak Parta.

"Silahkan masuk, Pak." Pinta Yudi.

Pak Parta bergegas masuk ke dalam.

"Ada apa, Pak? Sepertinya penting sekali." Tanya Yudi sambil mengucek mata. Memaksa terus berjaga ditengah kantuk.

"Mas Ahmad di mana?" Pak Parta berbalik tanya.

"Saya tidak tahu, Pak. Semalam waktu di rumah Popon, saya langsung pulang. Soalnya ... saya takut!" Jawab Yudi.

"Memangnya ada acara apa di rumah Popon?" Sekali lagi Pak Parta bertanya.

"Popon meninggal, Pak. Semalam diadakan acara pengajian, tapi lagi-lagi saya melihat hantu." Jawab Yudi lagi.

"Apa! Popon meninggal!" Seru Pak Parta. Yudi segera mengangguk.

"Innalillahi ..." Pak Parta terlihat cemas.

"Sebenarnya Bapak mau bicara soal apa? Maaf, saya lagi tidak enak badan." Yudi berbohong. Sebenarnya ia tidak suka dengan kedatangan Pak Parta. Firasatnya mengatakan, pasti Pak Parta sedang meminta bantuannya. Selain penakut, Yudi juga sedikit pemalas. Dalam kurung, jika ada yang mengganggu waktu tidurnya.

"Saya tidak menyangka kalau Popon akan meninggal dunia. Ini tidak bisa dibiarkan, kita harus segera mencari tahu siapa dalang di balik semua ini." Ucap Pak Parta. Dadanya bergemuruh mendengar kabar meninggalnya Popon.

"Sebenarnya, apa yang sedang terjadi, Pak. Saya baru tiga bulan di sini, sebelumnya tidak terjadi apa-apa di desa. Banyak orang meninggal secara misterius, seminggu sebelum Ahmad datang. Apa semua ini ada hubungannya dengan Ahmad? Atau memang disengaja untuk mengambing hitamkan santri itu." Kini Yudi yang bertanya pada Pak Parta.

"Saya juga tidak tahu, Yud. Yang saya tahu, dulu memang pernah ada peristiwa semacam ini di kampung sebelah. Saya juga tidak menyangka kalau kejadian dulu, bisa terulang kembali dan meneror desa. Saya juga pendatang, jadi tidak begitu tahu," terang Pak Parta.

Yudi terkejut mendengar penuturan Pak Parta. Jika Pak Parta adalah pendatang, lalu siapa penduduk asli desa Giung Agung?




JALAN PULANGWhere stories live. Discover now