25. Tragedi Cermin Merah

28 3 0
                                    

Angin pagi ini sangat menusuk kulit, walaupun sudah memakai pakaian yang cukup tebal hawa dingin itu masih bisa masuk ke pori-pori. Juna terus menerus berdesis kala pepohonan terombang-ambing tertiup angin.

"Yardan, kau yakin tentang ini?" tanya Juna tiba-tiba meragu.

"Kita berdo'a saja Bang." Yardan berjalan menyusuri jalan setapak bersama Juna.

"Kau yakin masih ingat jalannya?" tanya Juna lagi.

Yardan mengembuskan napas, lantas berhenti melangkah dan menatap orang yang memakai tubuh aslinya. "Bang, harusnya abang yang inget, kan dulu Abang yang ngasih rute penjelajahan."

Juna berdecak sembari menepuk dahinya. "Kau benar, aku lupa."

"Kau beneran lupa jalannya Bang?" tanya Yardan dengan parasaan yang mulai cemas, raut wajahnya berubah masam.

"Kau juga tidak ingat?" tanya Juna yang juga menatap tajam Yardan.

Yardan meringis sembari menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu mengangguk pelan.

Juna perdecak, cukup kesal dengan dirinya sendiri. Harusnya dia yang ingat, karena dia sendiri yang memilih rute penjalajahan.

"Oke, gak usah khawatir, aku akan mencoba mengingatnya kembali. Kau juga harus bantu menyenteri jalannya," tutur Juna.

Yardan pun menuruti perkataan Juna, dia menyinari jalanan dengan senter di gawainya. Sekarang pukul 01.10, tinggal tersisa 20 menit lagi sebelum bulan purnama itu terjadi. Agak menantang bagi mereka pasalnya ini adalah waktu yang sangat mistis waktu dimana makhluk tak kasat mata bisa saja beraktifitas.

Setelah berusaha mengingat jalanan, akhirnya mereka sampai di tempat pohon besar yang menjulang tinggi, cukup gelap hanya ada lampu remang-remang sejauh 10 meter dari tempat mereka berdiri.

"Aku yakin ini tempatnya," ungkap Juna.

"Aku rasa juga begitu," balas Yardan.

"Kalau begitu cepat kita cari cermin itu secepatnya, sepertinya bulan purnama akan muncul."

Yardan mengangguk lantas kembali menyenteri sekeliling berharap cermin itu dapat memantulkan cahaya dari ponsel Yardan.

Juna sampai mencari ke semak-semak belukar, lantas dia melihat jam di ponselnya. Sudah pukul 01.20, waktu yang sangat singkat untuk mencari keberadaan cermin itu. Tersirat rasa putus asa pada Juna, apakah dia tidak akan bisa kembali lagi ke tubuhnya yang dulu?

"Bang Juna!" teriak Yardan, membuat sang empu tersadar dan menatapnya.

Yardan menunjuk ke arah pohon besar itu, terlihat secercah cahaya dari sana, membentuk sebuah persegi panjang. Juna mendekati cahaya itu.

"Apakah begitu cara cermin itu datang?" gumam Juna.

Perlahan cahaya itu semakin besar dan semakin silau, hingga membentuk sebuah cermin. Namun, cahaya tersebut masih belum menghilang.

"Cepat, kita harus menghadap ke sana!" Juna menarik tangan Yardan dan bergegas berhadapan dengan cermin misterius tersebut.

1 ... 2 ... 3 ...

Cahaya itu semakin silau seperti lampu Blitz dari kamera. Menunggu beberapa saat hingga di sekelilingnya kembali gulap gulita. Tidak terjadi apa-apa, hanya saja Juna bisa melihat dirinya di pantulan cermin.

Kini Yardan dan Juna bisa melihat diri mereka sendiri, cermin itu masih ada, tetapi tidak dengan cahayanya. Juna meraba wajah dan tubuhnya, begitupun Yardan, dia terus menatap lekat kepada cermin terbalik itu.

"Bang ..." Yardan menatap datar pada Juna.

Juna menatap sama kepada Yardan. "Tampar aku! Tampar aku!"

Cermin Terbalik 2Onde histórias criam vida. Descubra agora