08. Rumah dan Kebahagiaan

20 8 0
                                    

"Kak Reva, kenapa abang sama bapa lama?" tanya Yara.

Reva menatap sendu adik temannya, entah harus mengatakan apa pada anak polos ini. Apakah mungkin dia harus menceritakan yang sesungguhnya?

Terdengar suara sirene berbunyi, suaranya sangat jelas walaupun rumah Reva berada di dalam gang. Seketika rasa cemas kembali hadir, tangannya gemetar dan memeluk Yara. Apakah mungkin? Reva harap apa yang di pikirannya itu salah.

Tak lama sebuah rombongan mengangkat seseorang dengan tandu yang sering digunakan oleh petugas medis, terlihat juga Yardan dan Juna menangis. Tanpa sadar Reva juga ikut menangis, diiringi suara pengumuman dari mushola.

"Assalamu'alaikum warrahmatullahi wabbarakatuh, innalilahi wa inalilahi rajiun ... Telah berpulangnya bapak Hadid, Rt ..."

Yardan terus menatap orang yang terkapar lemah itu, rasa sesak yang tak bisa ia tahan, dia memeluk ayah kandungnya untuk terakhir kalinya. Ternyata sampai akhir ayahnya tidak tahu bahwa jiwanya saat ini terjebak di tubuh orang lain.

"Bapak pergi dengan bahagia, tapi aku tidak bahagia, Pa," batin Yardan.

•••

"Bapak kenapa tinggalin Yara?" Kalimat itu terucap dari bibir mungil Yara. Tangis terus mengiringi ucapannya hingga tersendat-sendat.

Bapak ada, tapi sudah berada di dalam tanah. Setelah ini bagaimana nasib Yardan dan juga adiknya? Tanpa bapak mereka tidak bisa hidup, setelah ibu meninggal enam tahun yang lalu rasa sakit itu masih terasa, sekarang bapak juga ikut pergi membuat luka lama itu kembali menganga.

Hari sudah semakin sore, ponsel di saku Yardan bergetar. Namun, sang empu masih menatap datar kepada gundukan tanah yang masih basah itu, air matanya terus mengalir tanpa peduli suara dari ponselnya.

Selama menunggu bapak operasi tadi, Juna memutuskan untuk memberikan ponsel miliknya, lantaran Yardan pasti akan kesusahan karnanya. Apalagi perihal sekolah dan tentu antar jemput sopir pribadinya, setidaknya Juna sedikit membantu pada Yardan atas kesalahannya.

"Yardan, kamu lelaki yang kuat ... Kamu pasti bisa tanpa bapak," ungkap Reva menatap iba pada sahabatnya itu.

Yardan terdiam, dia juga bingung harus mengatakan apa selagi tubuhnya sekarang terjebak di tubuh orang lain. Juna juga ikut menangis dan sesekali memeluk Yara, ingin sekali Yardan memeluk adiknya itu. Bagaimana bisa adiknya tidak merasakan perbedaan antara Yardan dan Juna.

"Sebaiknya kita pulang, gak baik terus di sini, Yara," pinta Reva pada Yara.

"Gak mau! Yara mau sama bapak!" Dia terisak lebih kencang membuat Yardan kembali berderai air mata.

"Gak mau kak Reva!" teriak Yara lagi.

Yardan mendekat pada adiknya itu, walaupun dia tidak tahu bahwa tubuh orang lain ini di isi oleh jiwa kakak kandungnya sendiri.

"Yara, kita pulang, yah. Bapak tidak pergi, bapak ada di sini." Yardan menepuk dadanya. "Bapak akan selalu ada di hati Yara, dia tidak sepenuhnya pergi, 'kan?"

Yara menelan saliva susah payah, tenggorokannya terasa kering karena terus menerus menangis. "Bapak masih ada?"

Yardan dengan tubuh Juna mengangguk. "Yara sayang bapak, 'kan?"

Yara mengangguk antusias. "Yara sayang bapak!"

Air mata Yardan kembali menetes. "Karena itu bapak akan selalu di hati Yara dan akan selalu Yara kenang, jadi ayo kita pulang dengan segala kenangan kita bersama Bapak."

Yara menangis, dia tidak terima dengan kepergian bapak. Bapak adalah ibu sekaligus ayah untuk Yara, tanpanya bagaimana mungkin Yara bisa bertahan. Dengan berat hati Yara menurut dan pergi dari makam itu.

"Yara pasti ketemu lagi sama bapak." Yara sembari berjalan menjauhi makam ayahnya dengan dituntun oleh Juna.

•••

Yardan berjalan lunglai diiringi nada dering ponsel yang terus berbunyi. Telepon masuk tak ia gubris sedari tadi, nyatanya Yardan mampu berjalan dari rumahnya yang asli ke rumah megah Juna yang jaraknya mampu menghabiskan waktu setengah jam perjalanan jika memakai kendaraan. Pulang dengan berjalan kaki dari pukul tujuh malam hingga sampai di rumahnya pukul sembilan malam.

Yardan sengaja mengulur waktu dengan berjalan pelan, hati dan pikirannya berkecamuk. Antara nasibnya saat ini dan nanti, bagaimana Yardan bisa melewati hari seperti ini?

Dia melangkahkan kaki ke pintu masuk, saat ia masuk, Yardan disambut oleh tepuk tangan seseorang.

"Wah, wah! Anak yang rajin! Saking rajinnya pulang hampir tengah malam," ucap suara berat dari seorang pria paruh baya.

Yardan menatap datar pada pria itu, dia bisa menebak bahwa itu adalah ayah kandung Juna. Dia meringis, untuk pertama kalinya dia melihat ayah kandung Juna selama tinggal di sini. Kemana saja dia?

"Jam berapa sekarang?!" tanyanya tegas dan dingin. "Jawab!"

Yardan tidak menjawab, dia bingung harus mengatakan apa saat hati dan pikirannya semrawut, tidak mungkin dia harus mengatakan bahwa dia sebenarnya adalah Yardan bukan Juna, hanya saja jiwa mereka tertukar. Jika saja dia mengatakan itu ayahnya Juna pasti akan menganggapnya gila.

"Juna! Kamu dengerin papa tidak? Kamu dari mana aja?!"

Yardan menunduk saat ayah Juna melayangkan tatapan tajam dan bentakan, nyatanya dia menciut dimarahi oleh seorang ayah. Ayah kandung Yardan tak pernah membentaknya, jika dia salah ayah Yardan selalu menasihatinya dengan perlahan tetapi tegas. Namun sepertinya, dia tidak akan mendapatkan lagi nasihat dari orang yang paling ia sayangi itu.

"Pah, biarkan dia istirahat dulu, dia pulang pasti ada kerja kelompok," ujar istrinya menengahi.

"Ini semua gara-gara kamu, kamu terlalu memanjakannya, jadi seperti ini 'kan?" berang Arya---ayah Juna.

"Kenapa Papa nyalahin Mama?" tanya Shinta---ibu kandung Juna. "Kamu juga ayahnya Juna, kenapa papa nyalahin mama terus?"

"Ya, karena kamu terlalu sibuk sama pria bule itu, sampai gak tahu kesalahan anakmu selama ini!" teriak Arya dengan amarah yang menggebu-gebu.

"Apa maksud kamu?" Kini Shinta menatap nyalang dan serius.

"Iya, selama ini kamu udah berani main di belakangku, 'kan? Ngaku kamu!"

Yardan menutup telinganya rapat, pikirannya bertambah semrawut mendengar pertengkaran pasangan ini. Entah apa yang mereka perbincangan sampai-sampai berteriak sekencang ini. Yardan segera berlari ke kamarnya dan mengunci pintu, hatinya semakin sesak saja melihat pertengkaran pasangan itu. Tidak bisakah para orang dewasa itu menyelesaikan masalahnya dengan kepala dingin?

Yardan menyadari sesuatu ternyata keluarga Juna tidak seindah yang ia bayangkan. Juna mendapatkan kemewahan rumah dan memiliki apa yang dia inginkan, mungkin satu yang tidak dia miliki, yaitu kasih sayang orang tua.

"Jaga ucapan kamu, yah? Aku tidak pernah seperti itu, mungkin kamu yang main-main di belakangku?" teriakkan Shinta terdengar keras sampai ke kamar Yardan.

Yardan masuk ke kamar mandi berharap suara pertengkaran mereka tidak terdengar lagi olehnya, memang tidak seharusnya Yardan mendengar pertengkaran orang dewasa yang memang bukan ranahnya.

"Apakah aku bisa melewati ini?" Lagi-lagi Yardan meneteskan air mata.




TBC

Kasih aku Kritik dan saran, yah ❤

31/10/22<3

Cermin Terbalik 2Where stories live. Discover now