06. Pahlawan

21 8 0
                                    

Pukul 13.50 saat dimana matahari sedang terik-teriknya, Yardan pun tak luput menyeka peluh di dahinya yang terus mengucur. Dia berpikir bahwa kulit ayahnya terbuat dari tameng anti panas, setiap hari beliau bekerja di terik matahari seperti ini, tanpa mengeluh sedikitpun.

Juna tidak mau membantu, tentu Yardan tidak bisa diam saja. Dia tidak mau ayahnya kecapean karena bekerja untuknya. Yardan juga harus memutar otak agar bisa berbicara dengan ayahnya walaupun memakai tubuh Juna.

Saat ini ia berjalan menyusuri jalanan ibukota, lumayan banyak lalu-lalang kendaraan. Yardan mencoba mencari ayahnya ke alun-alun yang biasa tempatnya bekerja. Namun, ternyata orang yang tengah ia cari masih belum ketemu. Hingga dia pun kembali berjalan kaki mencari ayahnya barangkali ada di bunderan kota.

"Ternyata bapa, di sini." Tersenyum kala netranya menyorot seorang pria paruh baya yang sedang menyapu si tepi jalan.

Yardan dengan tubuh Juna itu menghampiri bapak-bapak yang sedang menyapu. Dia berharap bisa berakting layaknya Juna yang asli.

"Permisi, Pak," sapa Yardan.

Bapak itu menatap sumber suara, dia mengernyitkan dahi kala orang itu yang tak ia kenalinya.

"Iya, ada apa, yah?" tanya Bapak.

"Bapa, gak cape? Ini lagi panas." Yardan berusaha menahan rasa ibanya, dia selalu merasakan sakit kala bapaknya bekerja seperti ini. Yardan tidak akan pernah malu memiliki ayah yang seorang petugas kebersihan kota.

"Ah, gak Den, bapa udah biasa kayak gini." sambil menyapu jalanan.

"Tapi, bapa bisa istirahat dulu, 'kan?"

Bapak menghela napas. "Bapak udah istirahat barusan, jadi ini tugas bapak untuk bekerja. Selagi jalan tidak terlalu ramai, ini kesempatan bapa untuk membersihkannya."

Yardan terdiam, dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Padahal teman dipekerjakannya sedang beristirahat di tepi jalan, kenapa bapak bisa sekeras kepala ini?

"Kalau begitu, biar saya bantu, Pak," tawar Yardan.

"Eh, enggak apa-apa, gak perlu, bapak masih kuat, kok." Sembari sedikit menjauh.

"Gak apa-apa, pak. Saya pingin nyobain nyapu. Secara saya belum pernah nyapu jalanan." bohong Yardan.

"Gak apa-apa, Den. Nanti seragamnya kotor."

Yardan tersenyum. "Tenang aja Pak, kalau kotor bisa dicuci."

Bapak terkekeh, dia merasa anak ini keras kepala juga. "Ya, sudah kalau itu maumu." Dia memberikan sapu lidi kepada Yardan.

Dengan hati senang Yardan membantu menyapu jalanan bersama ayahnya, walau ayahnya menganggap dia orang asing.

"Den, sekolah di SMP Cakraswara, yah?" bapak bertanya sembari memungut sampah di tepi jalan.

"Iya, Pak."

"Kelas berapa?"

"Kelas tu--" Yardan tiba-tiba terpotong, dia ingat bahwa saat ini berada di tubuh Juna. "Saya kelas sembilan, Pak."

Bapak mengangguk sembari tersenyum. "Anak bapak juga sekolah di sana, beruntung dia punya kakak kelas sebaik dirimu."

Yardan tersenyum pahit, bapak belum tahu padahal Yardan selalu menjadi bulan-bulanan kakak kelasnya ini, bahkan dia harus menerima bahwa terjebak di tubuh orang yang membulinya.

•••

Selama perjalanan, Reva dan Juna terdiam. Tidak ada percakapan yang di lontarkan Reva, rasanya canggung saat mengetahui bahwa temannya ini berjiwa kakak kelasnya yang jahat. Walau dalam bentuk rupa tetap teman dekatnya.

Cermin Terbalik 2Where stories live. Discover now