"Berani, Mas." Jawab Yudi. Yudi kesusahan menelan saliva. Jangankan malam hari, siang hari saja ia takut pulang sendirian. Apalagi harus melewati dua pohon beringin yang tumbuh di depan rumahnya. Namun, demi menjaga nama baik, Yudi terpaksa berbohong.

"Syukurlah kalau begitu." Tandas Ahmad lega. "Ya, sudah Mas. Silahkan azan, sudah waktunya shalat." Imbuhnya.

"Mas, apa sebaiknya saya temani Mas Ahmad saja, takutnya Mas Ahmad nyasar. Mas Ahmad kan orang baru di sini," Yudi mencoba memberi usul.

"Tidak usah, Mas. Saya bisa sendiri. Lagi pula, kalau nyasar bisa tanya warga sekitar. Mas Yudi tenang saja," balas Ahmad. Pemuda itu benar-benar tidak peka dengan ucapan Yudi yang ingin sekali ikut dengannya.

Yudi segera bangkit, meraih mikropon. "Mas, kamu yakin tidak mau di temani?" Tanya Yudi sekali lagi sebelum mengumandangkan azan.

"Yakin, Mas." Singkat Ahmad.

Yudi menarik napas panjang, mengembusnya perlahan, kemudian mengumandangkan azan.

"Loh, si Yudi di mushola to? Apa tidak takut kesurupan, eh kan ada Ustaz Ahmad. Pantas saja dia berani," Gumam Popon saat mendengar suara Yudi dari toa mushola. Secangkir kopi panas masih mengepul di atas meja. Dengan duduk bersila di atas matras, Popon masih betah berada di rumah Pak Heru. Ia sama sekali belum pulang sejak tadi siang. Pak Heru memintanya untuk menjaga Indah, sebab Pria yang menjadi RT itu pergi ke desa sebelah karena urusan pekerjaan.

Popon beranjak menuju kamar mandi. Ia hendak mengambil air wudu, namun tiba-tiba langkahnya terhenti. Telinganya menangkap sesuatu. Sesuatu yang terdengar sayup-sayup.

Popon mencoba mempertajam pendengaran, namun suara tonggeret yang sejak tadi berbunyi mengacaukan indra pendengarannya.

"Ah, palingan angin." Ucap Popon melanjutkan langkah.

Sementara itu, Indah di dalam kamar tengah meringik kesakitan. Kedua matanya melotot, napasnya tersengal-sengal. Ada sesuatu yang menjerat lehernya, sesuatu yang tak kasat mata. Indah berusaha melepaskan diri, namun selalu gagal.

"To--to-- long!" Suara Indah nyaris tak keluar. Matanya menangkap sesuatu yang bergerak mendekatinya. Sosok itu kian terlihat, dan saat tepat berada di hadapannya, Indah tercekat. Jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Aku akan memberimu kesempatan kedua, jika kali ini gagal, maka nyawamu taruhannya!"

Sosok itu tiba-tiba menghilang, hanya meninggalkan aroma wangi yang menyeruak di seluruh area kamar. Indah terbatuk-batuk, ketika jeratan di lehernya ikut menghilang.

"Aku harus menyingkirkan gadis itu, bagaimana pun caranya." Dengan langkah tertatih, Indah mengambil sebuah buku, menulis sesuatu di buku tersebut. Kemudian merobeknya, memasukkan ke dalam saku.

"Loh, sudah baikkan to Ndah?" Tegur Popon ketika melihat Indah keluar dari kamarnya.

"Ya, Mas." Balas Indah sembari menoleh.

"Mau ke mana? Ini sudah waktunya shalat maghrib," tanya Popon sambil memakai sarung.

"Mau ke depan sebentar, Mas. Lagian, Indah lagi halangan," jawab Indah dengan nada lembut. Gadis itu  kemudian berjalan menuju ruang tamu.

"Jangan keluar rumah ya, Ndah. Tidak baik keluar waktu maghrib," ujar Popon. Indah hanya menganggukkan kepala.

Melihat Popon yang sudah masuk ke kamar, Indah bergegas berbalik badan. Ia tak berniat untuk ke ruang tamu, melainkan masuk ke dalam kamar yang di tempati Ahmad.

Seusai di dalam, Indah merogoh saku, mengeluarkan robekan kertas ke dalam baju yang sering dipakai Ahmad saat berada di rumah.

"Maaf, Mas. Aku terpaksa melibatkanmu, ini semua karena kamu yang membawa gadis itu kembali. Aku tidak mau mati! Tidak!" Lirih Indah.

***

Sementara itu di kediaman Pak Parta, Adiba masih tak percaya dengan apa yang ia lihat tadi siang. Keris kecil yang di muntahkan oleh Indah, masih dibungkus rapi dengan salah satu jilbabnya. Ia tak mau satu orang pun tahu, termasuk bapaknya sendiri, Parta.

"Nduk, sudah shalat maghrib?" Tanya Pak Parta dari arah luar.

"Sudah, Pak." Jawab Adiba.

"Bisa keluar sebentar? Ada yang mau bapak bicarakan,"

Adiba bergegas menyembunyikan keris tersebut ke dalam lemari. Ia sengaja menaruhnya di dalam tumpukan jilbab. Adiba mencoba mengatur pernapasan, lalu berjalan santai keluar kamar.

"Ada apa ya, Pak?" Tanya Adiba ketika melihat sang bapak sudah duduk di ruang tamu.

"Duduklah, bapak mau bicara serius." Pinta Pak Parta.

Adiba mengikuti perintah Pak Parta. Ia duduk di samping pria tua itu.

"Ada yang ingin bapak tanyakan, tapi sebelumnya bapak mau minta maaf dulu, kalau pertanyaan bapak nanti menyinggung perasaanmu." Ucap Pak Parta dengan sangat hati-hati.

"Memangnya, Bapak mau tanya apa?" Tanya Adiba penasaran.

"Besok, bapak mau ke desa sebelah menemui saudara bapak. Apa kamu mau ikut?" Pak Parta berbalik tanya.

Adiba mengedipkan mata berulang kali. Ia tahu ke mana arah pembicaraan tersebut.

"Adiba tidak ikut, Pak. Adiba di rumah saja." Jawab Adiba, meskipun lirih namun Pak Parta bisa mendengarnya.

"Apa kamu tidak ingin bertemu dengan orang itu?" Tanya Pak Parta lagi.

Adiba menggelengkan kepala dengan yakin.

"Tapi, bagaimana pun juga dia bapak kandungmu, Nduk."

GELEGARR!

Tepat saat Pak Parta menyelesaikan kalimatnya, petir tiba-tiba menyambar di atas atap, tak lama kemudian terdengar suara rintik hujan yang turun mengenai genteng rumah Pak Parta. Suaranya bak melodi yang menggema di malam hari.







JALAN PULANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang