"Astaghfirullah, Astaghfirullah," lisan Ilham terus beristighfar.

Tiba-tiba aroma busuk menyengat ke seluruh ruangan. Ilham bergegas menutup hidung. Aromanya sangat pekat, membuat mata Ilham berair.

"Bau apa ini," gerutu Ilham.

Ia mencari-cari sumber bau busuk tersebut. Namun, setelah sekian lama mencari di dalam kamar, Ilham tak jua menemukannya.

Ilham berniat membuka jendela kamar, namun saat hendak membuka tirai, Ilham melihat seseorang tengah berlari di luar. Seseorang yang sedari tadi mengawasi gerak-geriknya.

"Jangan-jangan maling,"

Ilham bergegas keluar kamar. Berlari menuju halaman belakang. Kamar Ilham mempunyai dua jendela. Satu menghadap halaman koridor, dan yang satu lagi menghadap ke arah halaman belakang.

"Ilham!" Tegur seorang pengawas Pondok.

"Eh, Bang Fadil." Ilham sengaja menghentikan langkah.

"Bang, Bang. Panggil saya Ustaz," pinta Fadil, salah satu rekan Ahmad dan Ilham yang masih seumuran dengan mereka. Hanya terpaut beda bulan saja. Namun, ia sudah diangkat menjadi Ustaz.

"Ya, Ustaz Fadil. Ada apa, kok manggil saya," ucap Ilham sedikit menggoda Fadil.

"Kenapa kamu malam-malam begini keluar kamar, tugas kamu kan jadi pengawas kelas, bukan pengawas keamanan. Ayo, ngaku mau ke mana," cecar Fadil.

"Begini, Ustaz Fadil yang ganteng, baik hati, tidak sombong, tadi waktu saya di kamar, dan hendak membuka jendela, saya melihat ada orang yang mencurigakan tengah berlari di halaman belakang. Waktu mau saya kejar, orang itu kabur. Saya menduga kalau itu, pasti maling. Tapi ... saat saya mau mengejar orang itu, Ustaz ganteng yang baik hati, tidak sombong ini datang menegur saya. Alhasil, saya jadi berhenti mengejar itu maling," terang Ilham. Keterangannya disertai dengan gerakan tangan yang menunjuk ke arah Fadil.

"Kamu mengigau kali, Ham. Sedari tadi saya sama Ustaz Efendi keliling, tidak ada siapa-siapa di sini. Makanya kalau mau tidur itu, wudu dulu, baca doa dulu. Jangan asal tidur!" Ketus Fadil.

"Tapi, saya berkata jujur Ustaz. Tadi memang ada orang di sana," bantah Ilham.

"Ya sudah, mari kita cari sama-sama. Kalau kamu berbohong, tak jitak kepalamu." Ancam Fadil.

Ilham hanya bisa meringis, sambil menggaruk-garuk kepala. Firasatnya mengatakan, jika memang ada orang yang sedang mengawasinya tadi. Fadil mengajak Ilham untuk mencari sekitar Pondok. Fadil juga menyuruh Ilham menggeledah seluruh ruangan bagian belakang Pondok. Tapi, setelah mengecek beberapa kali, tidak ada tanda-tanda jejak orang misterius yang dimaksud oleh Ilham.

"Sekarang, lebih baik kamu kembali ke kamar, Ham. Tidak ada siapa pun di sini. Ayo, cepat sana balik!" Perintah Fadil yang tampak kecewa dengan pernyataan Ilham.

"Tapi, Bang-

"Tidak ada tapi-tapian. Aku suruh balik ya balik! Apa perlu kujitak dulu kepalamu! Sini!" Fadil menarik baju Ilham, hendak menyentuh kepalanya. Rupanya Ilham melawan. Ia berhasil kabur. Ia lari terbirit-birit menuju kamar.

Bruk!

"Aduh," Ilham terjatuh. Tubuhnya menabrak seseorang.

"Maaf, maaf. Saya tidak sengaja," ucap Ilham.

Seseorang itu segera bangkit. Ia sengaja memakai penutup kepala supaya tidak ada yang mengenali wajahnya.

"Eh, kamu kan yang tadi-

Seseorang itu mendorong tubuh Ilham hingga terjengkang. Orang misterius itu segera berlari, meninggalkan Ilham yang berusaha mengejarnya. Sayangnya, orang tersebut dengan lihai memanjat dinding, dan melompat ke arah area luar Pondok.

Ilham kesusahan berlari, kakinya tersandung sarung yang tiba-tiba merosot. Tubuhnya kembali terjengkang, kedua tangannya berusaha menahan tubuhnya agar tak mengenai tanah.

"Sial! Hampir saja ketangkap!" Gerutu Ilham. "Siapa orang itu, mau apa malam-malam begini ke Pondok. Kalau benar dia maling, kenapa tadi aku tak melihatnya bawa sesuatu dari sini? Apa jangan-jangan orang itu ..." Ilham merenung sejenak.

***

Keesokan harinya, di desa Giung Agung. Para pelayat berdatangan silih berganti ke rumah Pak Usman. Orang tua Putri baru saja tiba dari Kota. Ibunda Putri pun syok, mendengar anak semata wayangnya tiba-tiba meninggal. Tangis haru pecah dalam satu ruangan. Terlebih Pak Usman, beliau mengurung diri di dalam kamar. Peristiwa semalam membuat jiwanya tergoncang. Pak Usman benar-benar merasa putus asa.

"Turut berduka cita ya, Mbak." Ucap Adiba kepada Leli, ibunda Putri.

Leli hanya mengangguk. Ia baru bisa pulang, saat transportasi umum sudah mulai berjalan. Ia dan suaminya sudah lama merantau. Sebulan sekali ia akan pulang kampung. Itu pun saat ia mendapat cuti dari pabrik tempatnya bekerja.

Ayah Putri, Baskara adalah penjual kain di Kota. Sementara Leli, ibunda Putri seorang buruh pabrik. Mereka sengaja menitipkan Putri kepada sang bapak karena memang sang bapak tinggal sendirian di desa. Sang ibu, Rusminah sudah lama meninggal. Pak Usman pun merasa senang saat Putri baru lahir. Ia membesarkan Putri dengan sepenuh hati. Merawatnya penuh kasih sayang.

Namun, kini Pak Usman hanya bisa meratapi kepergian Putri untuk selama-lamanya. Bahkan ia enggan keluar kamar. Ia tengah memeluk boneka kesayangan Putri, sambil terus terisak.

"Pak Usman masih belum keluar kamar ya, Mas?" Tanya Pak Parta kepada Baskara.

"Belum, Pak. Mungkin, Bapak memang butuh waktu untuk sendiri. Saya tidak berani mengganggu." Jawab Baskara sembari menyodorkan dua gelas kopi panas kepada Pak Parta dan juga Yudi.

"Assalamu'allaikum," Ahmad baru saja tiba di kediaman Pak Usman. Ahmad sengaja berangkat bersama Pak Heru sebab belum mengetahui di mana rumah Pak Usman.

"Wa'allaikumussalam," jawab hampir seluruh pelayat yang datang.

"Saya tidak bisa berkata-kata lagi, Bas. Saya mewakili seluruh warga untuk mengucapkan bela sungkawa kepada keluarga yang ditinggalkan. Saya sebagai Ketua RT turut prihatin dengan kondisi Pak Usman." Kata Pak Heru, kedua tangannya merangkul Baskara. Baskara kembali terisak. Bagaimana pun juga, ia tak bisa menahan kesedihan karena telah kehilangan anak gadisnya.

"Terima kasih, Pak RT. Saya juga mengucapkan banyak terima kasih, kepada warga yang sudah membantu mengebumikan Putri. Semoga Allah membalas kebaikan warga sekalian," balas Baskara.

"Aamiin. Tidak perlu sungkan, Bas. Sudah menjadi kewajiban kami, para warga untuk saling tolong menolong." Timpal Pak Heru.

"Mas, bagaimana keadaan Indah? Dia sudah siuman belum?" Bisik Yudi ketika Ahmad baru saja duduk di sampingnya.

"Alhamdulillah, Indah sudah siuman, Mas Yudi. Keadaannya juga sudah membaik." Ahmad membalas ucapan Yudi dengan nada santai.

"Alhamdulillah," Yudi merasa lega. Ia sempat khawatir dengan kondisi anak Pak RT itu.

"Kenapa, Mas? Khawatir ya? Mas suka dengan Indah?" Goda Ahmad.

"Ya tidak lah. Mana mungkin saya suka dengan Indah. Mas Ahmad ini bercanda," kilah Yudi. Dari gestur tubuhnya, terlihat jelas bahwa pemuda itu terlihat gugup.

Ahmad hanya tersenyum, sambil melihat ke arah Adiba. Gadis cantik itu sedari tadi mengamati dirinya, lalu kemudian mengalihkan pandangan.

"Siapa kamu sebenarnya, Ba." Lirih Ahmad.

JALAN PULANGDär berättelser lever. Upptäck nu