"Saya beli gula Mbok, satu kilo. Ini uangnya," Pak Usman menyodorkan selembar uang sepuluh ribuan dua kepada Mbok Inah.

Mbok Inah menerima uang Pak Usman, dan segera memberi kembalian. Setelah, kepergian Pak Usman, Mbok Inah kembali menemui Ahmad di dapur.

"Sekarang Ustaz kembali saja ke rumah. Lain kali ke sini lagi, akan saya ceritakan semua. Tolong rahasiakan ini semua. Karena, para warga lain menutupi kasus kematian Aisah. Cepatlah pulang! Sebelum ada yang curiga!" Mbok Inah secara sengaja mengusir Ahmad dari warungnya. Ia pun segera menutup warung tanpa memberi penjelasan apa-apa ke pada Ahmad. Tentu saja pemuda itu bingung dengan sikap Mbok Inah yang mendadak berubah.

Ahmad bergegas kembali ke rumah Pak Heru dengan membawa segala macam pertanyaan. Mengapa tidak ada yang mengatakan padanya, tentang Aisah. Apa benar kata Mbok Inah jika para warga sengaja menyembunyikannya? Ahmad berjalan dengan setengah melamun. Tak sadar jika dari kejauhan, ada sepasang mata yang tengah mengawasinya.

***

"Assalamu'allaikum,"

"Wa'allaikumussalam,"

Kiai Sobirin menyambut kedatangan Ilham dengan suka cita. Lantas menyuruh Ilham untuk segera istirahat. Ilham mengangguk cepat, kemudian berjalan menuju asrama putra.

"Ilham!" Panggil Oliv, santri wati yang sudah lama mengenal Ilham dan juga Ahmad.

"Ada apa, Liv?" Tanya Ilham.

"Bagaimana keadaan Ahmad, dia baik-baik saja kan?" Bukannya menjawab pertanyaan Ilham, Oliv justru memberikan pertanyaan ke pemuda berparas tampan itu.

"Baik-baik saja. Aku mau ke kamar dulu," jawab Ilham dengan nada ketus.

"Tunggu dulu," Oliv menarik lengan baju Ilham.

"Lepas Liv, bukan mahram!" Tegas Ilham.

"Maaf, habisnya kamu diajak bicara malah pergi. Kiai Sobirin menyuruh Ahmad mengajar di mana? Kamu pasti tahu, beritahu aku dong," paksa Oliv.

"Kamu tanya saja sama Pak Kiai, aku malas bicara dengan kamu. Selalu saja Ahmad yang dicari, apa tidak ada yang lain," gerutu Ilham sembari terus berjalan menjauh dari Oliv.

"Kamu kan tahu, Ham. Aku suka dengan Ahmad. Masa kamu tidak mau membantuku, tega sekali kamu." Balas Oliv dengan nada tinggi.

Ilham memejamkan mata sejenak. Mengambil napas lalu mengembusnya pelan.

"Apa yang akan kamu berikan padaku, jika aku berhasil membantumu dekat dengan Ahmad?" Tanya Ilham. Kedua matanya menatap tajam ke arah Oliv. Gadis itu menjadi ketakutan.

"A-apa pun. Aku akan berikan apa pun untukmu, selagi aku mampu," jawab Oliv. Ia tengah menggigit bibir. Sebenarnya ia pun tak tahu harus menjawab apa. Dengan spontan kalimat itu keluar dari mulutnya.

"Kalau aku ingin tubuhmu, apa kau juga akan memberikannya?" Goda Ilham.

Oliv terbeliak mendengar ucapan Ilham. Ia tak menyangka jika santri alim itu berani meminta sesuatu yang menurutnya terlarang untuk diminta.

"Kurang ajar sekali kamu, Ham. Aku tidak akan memberikan tubuhku padamu. Jangan harap!" Tukas Oliv.

Bibir Ilham menyunggingkan senyum ke atas. "Kalau begitu, jangan minta aku tuk membantumu. Aku pun tak sudi membantumu dekat dengan Ahmad. Kau terlalu murah untuk sahabatku yang mahal!"

"Apa kau bilang!" Seru Oliv dengan kedua mata melotot.

"Kalau kau memang suka dengan Ahmad, bukan seperti ini caranya, Liv. Kau tahu, aku memang seorang santri tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri kalau aku juga mempunyai keinginan untuk memanfaatkanmu. Jadi, berterima kasihlah padaku, karena aku belum sampai pada tahap itu!" Tandas Ilham. Ia berjalan meninggalkan Oliv sendirian dengan beribu macam umpatan.

"Awas kamu, Ham." Ucap Oliv sembari mengepalkan tangan.

BRAK!

Ilham membanting pintu dengan keras setelah tiba di kamarnya.

"Sial! Kenapa harus aku, Mad! Kenapa harus aku yang selalu menjadi bayanganmu! Hah!" Ilham menendang kursi hingga terpental mengenai dinding.

"Bunuh Ahmad ... bunuh Ahmad ..." tiba-tiba saja Ilham mendengar bisikan. Ilham mengedarkan pandangan, kosong. Tidak ada siapa pun di kamar. Hanya pantulan dirinya di cermin yang ia lihat.

"Bunuh Ahmad! Singkirkan dia!" Ucap bayangan Ilham dari pantulan cermin.

Ilham menggeleng. "Tidak! Ahmad sahabatku, aku tidak akan mencelakainya!"

"Bunuh Ahmad! Bunuh Ahmad!" Bayangannya terus mengulangi kata yang sama.

"BERHENTI!" pekik Ilham.

"Ha ha ha! Kau lemah Ilham! Lemah!"

Suara pantulan dirinya di cermin kian menggema. Ilham terpaksa menutupi kedua telinganya. Ia tak mau mendengar hasutan setan.

"Lemah kau Ilham! Lemah! Apa kau tidak tahu, kalau Ahmad juga menyukai gadis itu,"

"APA!" Seru Ilham perlahan melepas kedua tangannya dari telinga.

"Ya, Ahmad menyukai Adiba. Dia hanya berpura-pura mendukungmu. Padahal dia ingin memilikinya sendiri,"

Ilham melihat dengan seksama, bayangan dirinya di dalam cermin. Lalu tiba-tiba saja bayangannya memudar berganti dengan dua orang yang dikenalnya. Ahmad dan Adiba saling bergandengan dan berpelukan.


PRANG!

Ilham melempar kursi ke arah cermin. Serpihan kaca berserakan di mana-mana. Hampir saja mengenai wajahnya.

"Jangan bercanda kamu, Mad! Aku benci sama kamu! Benci!" Umpat Ilham geram.

"Lanjutkan! Kau berhak bahagia!" Bisik suara yang sedari tadi mengganggu pikiran Ilham.

"HENTIKAN! PERGI! PERGI!" Teriak Ilham. Tiba-tiba saja Ilham merasa kesakitan. Telinganya mengeluarkan darah. Ilham menyeka tetesan darah yang mengalir dari telinganya.

"Apa ini!" Ilham memandang tak percaya. Kedua tangannya berlumuran darah. Sekian detik kemudian, ia merasa telinganya sangat gatal. Ilham mencoba mengorek telinga dengan jari kelingking. Beberapa saat kemudian, ia merasa ada yang bergerak di dalam telinganya. Ilham berusaha menarik sesuatu yang sedari tadi mengganggu indra pendengarannya.

"Aarrgh!" Pekik Ilham merasa kesakitan saat sesuatu yang bergerak tadi berhasil di keluarkan.

"Astaghfirullahaladzim!" Ilham berteriak ketakutan saat melihat seekor lintah yang berlumur darah di tangannya. Ilham segera melemparnya ke lantai. Lintah itu bergerak, menggeliat. Ilham sangat syok, kemudian tubuhnya terhuyung ke lantai, tak sadarkan diri. Darah yang begitu banyak masih mengalir dari lubang telinganya.

"Dasar manusia munafik!" Kata seseorang di suatu tempat.







JALAN PULANGWhere stories live. Discover now