Dipandang penuh tanda tanya, Abyasa lalu mengulas senyum samar. "Saya Abyasa, pak. Teman dekat Jemima." Sangat dekat karena hampir sepuluh tahun mereka bekerja di ruangan yang sama dan hanya berdua saja. Jadi pernyataannya tak sama sekali salah, kan? "Saya akan menggantikan calon pengantin laki-laki. Saya ingin menikahi Jemima dan hari ini saya melamar putri bapak."

Entah apa yang merasuki pria paruh baya di depannya yang untuk bernapas saja kesusahan karena tangis terus berjatuhan. Tiba-tiba memeluk Abyasa tanpa bertanya apapun atau setidaknya menanyakan lebih rinci siapa dirinya yang tiba-tiba ingin mempersunting sang putri dalam situasi kacau begini.

Tapi tahu dirinya tak perlu mengharapkan keraguan dari kedua orangtua Jemima, Abyasa sontak menahan senyuman gembira yang hampir saja lepas di antara duka di sekelilingnya.

"Terimakasih, nak. Terimakasih sudah menyelamatkan harga diri putri kami."

Sudah dipastikan jika itu artinya ia diterima.

*

Entah kegilaan apa yang merasuki Abyasa yang bahkan tak sama sekali ia sangka datang di hari pernikahannya yang terancam batal. Kesedihan terserap lenyap bergantikan dengan keterkejutan dan tak percaya, Jemima yang mendengar dari sang ibu jika mantan atasannya itu melamar dirinya, langsung bergerak untuk menghampiri Abyasa yang masih dipeluk erat oleh Wiono yang tak mampu hentikan tangisnya.

Mengernyit dalam ketika pergelangan tangan pria itu berada dalam genggamannya, Jemima yang marah karena Abyasa memanfaatkan situasi kalut kedua orangtuanya, menarik pria itu yang langsung melepas pelukan Wiono yang langsung menatap putrinya dengan raut keheranan.

"Mima ... Nak--"

"Kami mau bicara dulu, bu," ucapnya hentikan sang ibu.

Terus melangkah dan masuk ke dalam kamar yang pintunya ia biarkan terbuka karena tak memungkinkan juga untuknya menutup dan kian membuat prasangka, Jemima segera berhadapan dengan Abyasa bersama tatapan yang membulat. "Bapak gila?!"

Abyasa menurunkan pandangan tepat ke pergelangan tangan yang dapat merasakan dinginnya kulit Jemima.

"Bapak!" Penuh penekanan, Jemima memanggil Abyasa lagi yang kemudian menatap tanpa seraut ekspresi. "Bapak mikir apa?"

"Tidak memikirkan apapun." Pria itu menggeleng.

Jika ia berpikir sebelum melakukan hal ini maka nuraninya akan bekerja untuk menghalangi niat jahatnya.

"Bapak gila?!" Geram, Jemima lepaskan tangannya ketika sadar jika sejak tadi ia menggenggam pergelangan tangan Abyasa yang kemudian bersedekap dengan dagu terangkat di hadapannya. "Bapak ngga perlu lakukan--"

"Bahkan walau pun orangtua kamu menangis saat ini?" Lalu pandangannya menyusuri ke tiap sosok yang ikut masuk ke kamar yang memiliki dekorasi cantik dengan lampu temaram berwarna keemasan. Hanya meja rias yang memiliki penerangan paling cerah.

Ini ... Pasti kamar pengantinnya.

Tiba-tiba marah menyelusup ke balik dada, Abyasa mengepalkan kuat kedua tangan di sisi tubuh.

Hampir saja kebodohannya membuat ia kehilangan Jemima. Di tempat ini ... Jika tak segera bertindak pasti lelaki sialan itu yang akan menyentuh wanitanya.

"Bap--"

"Setelah terjadi seperti ini kamu juga tidak mungkin hanya diam saja, kan?" Membungkuk, pria itu berbisik di telinga Jemima. "Aku tidak menyangka akan disuguhkan dengan tragedi memilukan seperti ini dan itu terjadi kepada orang yang sangat saya pedulikan. Saya ingin menolong kamu dari rasa malu, Jemima. Menolong keluarga kamu, menyelamatkan harga diri keluarga ini. Bukankah harusnya kamu berterimakasih?"

Personal Assistant : WIFE!Where stories live. Discover now