❇ | 23.

17.1K 981 7
                                    

‧°𖦹。⋆Forget It⋆。𖦹°‧

Kapan terakhir kali Janu duduk berkumpul mengelilingi meja makan ini? Meja makan yang masih sama seperti dulu dan tidak pernah di ganti. Setelah membawa Senna malam itu, Janu kini baru menyadari bahwa waktu telah berlalu secepat ini.

Janu sejujurnya merasa kecil berhadapan dan di sambut kembali di depan kedua orang tua yang pernah menjadi mertuanya itu.

Dia mungkin hampir menangis saat ibu memasukan nasi goreng ke dalam piringnya. Wanita paruh baya yang dalam ingatan nya menangis putus asa memukul dadanya sebab baru saja kehilangan putri sulungnya di rumah duka.

"Ibu, Janu mengatakan kepadaku bahwa dia sangat menyukai nasi goreng buatan ibu!"

"Sungguh? Kalau begitu lain kali aku akan membuatkan spesial untuk calon menantu ku yang tampan ini."

"Makanlah," Janu mendongak mendapati senyum tipis wanita paruh baya itu yang tertuju kepadanya.

"Terima kasih." Ucap Janu.

Sarapan pagi itu di lalui dengan hangat sebab kegembiraan oleh kakek nenek yang senang melihat sang cucu makan dengan lahap. Hal itu setidaknya berhasil menutupi bagaimana tingkah aneh kedua orang lainnya yang kini bahkan tidak nyaman duduk berlama-lama di tempat yang sama.

Senna bahkan lebih dulu menyelesaikan sarapan nya hanya untuk berpura-pura menyibukkan diri mencuci peralatan masak yang telah di pakai sebelumnya. Hal itu bukannya tidak menarik perhatian Janu yang kini hanya bisa mencuri pandang terhadap punggung wanita itu yang membelakanginya.

Di banding tadi malam, Janu kira Senna lebih-lebih bersikap dingin pagi ini.

🕊💭

Tiga hari berlalu sudah.

Janu hampir putus asa untuk mengajak Senna berbicara. Di luar perkiraan, tidak semudah itu mendapatkan waktu juga ruang yang tepat untuk memperbaiki apa yang sudah terjadi di antara keduanya.

Senna mungkin berbicara dengannya untuk beberapa hal, tetapi wanita itu dengan pintar menghindari percakapan yang sudah susah payah Janu dapatkan seolah Senna sudah tahu apa yang akan dia katakan.

Malam kedua yang sudah Janu nantikan, siapa yang menyangka bahwa putra nya yang manja lebih memilih untuk tidur di pelukan sang Nana. Lalu tadi malam dengan tanpa di duga Senna sudah lebih dulu menyelimuti dirinya sampai ke kepala.

Janu mendesah panjang.

Andai seseorang sadar bahwa matanya kini selalu lekat memperhatikan tiap gerak-gerik Senna. Hari ini pun, Janu akan berusaha mencari celah kesempatan.

Ibu datang dengan sebuah semangka yang masih utuh lalu memberikannya kepada Senna untuk di potong. Begitu wanita paruh baya itu pergi, Janu berniat untuk mendekati Senna dengan embel-embel membantunya.

Baru saja akan beranjak, suara benda-benda yang berjatuhan dari dalam kamar membuat atensi Janu teralihkan. Begitu pun Senna yang refleks menoleh ke belakang.

Janu bergegas memasuki ruang kamar tempat suara berasal. Tidak memperhatikan kesopanan, dia segera berlari begitu mendapati Ayah yang terduduk di lantai sembari memegangi dadanya.

Pria paruh baya itu bernafas tidak teratur. Janu lekas membantunya naik ke atas kasur sebelum kemudian ibu datang dengan sebuah inhaler.

"Ayah bagaimana—"

Senna mengambil tempat di sebelah sang Ayah. Raut khawatir begitu kentara meliputi wajahnya.

Syukurnya secara berangsur-angsur pria paruh baya itu akhirnya bisa kembali bernafas seperti semula. Dia tersenyum tipis begitu melihat raut cemas putri bungsu nya.

Replace[END]✔Where stories live. Discover now