❇ | 10.

19.3K 1.1K 11
                                    

‧°𖦹。⋆She's A Good Girl⋆。𖦹°‧

Akhir pekan ini Tuan Rian yang tak lain adalah Ayah dari Janu meminta sang putra untuk mengunjungi rumah utama. Katanya dia sungguh merindukan Ajiel—teringin sekali menghabiskan waktunya dengan sang cucu tersayang. Lantas pesan untuk membawa Senna ikut serta tidak lupa juga tersampaikan lewat orang suruhannya tempo lalu.

Kini Janu pun sudah pulih dari sakitnya. Bahkan laki-laki itu sudah kembali bekerja sejak tiga hari yang lalu.

Oleh karena itu, di sinilah ketiganya pagi ini. Duduk menikmati secangkir teh hangat sementara Tuan Rian kini sibuk bertukar rindu bersama sang cucu.

"Kau sudah semakin berat dan besar sejak terakhir kali Kakek melihat mu." Laki-laki yang hampir berumur enam puluhan itu berujar begitu merasakan berat badan Ajiel yang saat ini sedang duduk di pangkuannya.

"Itu karena Nana menyayangiku! Nana selalu memberikan ku makanan yang enak!" seru Ajiel girang.

"Sungguh?" ucap Tuan Rian tak kalah antusias.

Dengan cepat Ajiel mengangguk. "Hum! Nana sangat pintar memasak! Kakek juga harus mencoba masakan yang di buat oleh Nana!"

Perkataan polos yang keluar dari bibir Ajiel itu membuat Ayah Janu terkekeh kecil, tak terkecuali Senna yang saat ini berusaha menyangkal dengan malu-malu.

"Benarkah? Kalau begitu bisakah Nanamu menyiapkan makan malam untuk nanti malam?"

Baik Kakek berserta cucunya itu kini membawa arah pandang mereka kepada Senna.

Ajiel sendiri segera menggunakan trik andalannya. Anak itu dengan curang memperlihatkan kedua jelaga polosnya yang kini berbinar terang.

Senna meringis. Dia lemah kalau sudah begini.

🕊💭

Indah lembayung jingga hiasi sang cakrawala di atas sana. Di bawah naungannya—dari tiap-tiap penjuru di luar sana, Senna dan sang putra jadi salah satu yang di beri kesempatan untuk dibuat terpana-mengagumi keindahan langit petang dengan senyum lebar yang merekah sempurna.

Ayunan besi yang keduanya naiki saat ini bergerak mengayun dengan konstan; perlahan. Mengiringi percakapan ringan yang sedang mereka berdua lakukan. Yang pasti, tingkah laku keduanya kini tak lepas dari empat sorot pasang mata yang sedari tadi awas memperhatikan.

"Apa kau akan terus menahannya?" senyum tipis tertarik pada bibir si lelaki paruh baya. Beliau senang, mendengar tawa keras sang cucu yang kini bergema riang.

"Ajiel telah tumbuh besar. Karena itu, bukankah tidak ada lagi alasan untukmu menahannya?" ujar Ayah Janu menatap Senna.

"Dia tidak akan pergi kemana pun."

Kepala Tuan Rian kini tertoleh ke arah sang putra.

"Dia tidak akan pernah bisa meninggalkan Ajiel." Janu berkata dengan percaya diri. Sorot matanya masih memandang lurus pada sosok Senna dan sang putra.

Tuan Rian tiba-tiba saja tertawa keras. Hal itu lantas membuat Janu memicing memandangi sang Ayah.

Tidak ada lagi percakapan lain dari anak dan Ayah itu setelahnya. Lama keduanya terdiam sambil memperhatikan kembali interaksi antara Senna dan Ajiel di depan sana. Kedua manusia berbeda usia itu tampak begitu asik bermain dan tertawa.

Tampaknya, Ajiel dengan manja meminta sang Nana untuk menggendongnya saat ini. Lantas tentu saja dengan senang hati Senna meraih tubuh putranya itu masuk ke dalam gendongannya.

"Ayah tahu mereka memang benar-benar mirip." Tuan Rian akhirnya kembali buka suara. "Itu tidak mengherankan sebab keduanya adalah saudara kandung. Namun tetap saja," lelaki berusia enam puluh itu kemudian membawa tubuh serta kepalanya menghadap ke arah sang putra. "Janu, kau tidak bisa menahannya hanya karena anak itu benar-benar mirip dengan mendiang istrimu. Kau tidak boleh melakukan itu, Nak."

Tepukan keras itu tampaknya tidak hanya didapatkan Janu pada bahunya, melainkan juga pada hatinya.

"Dia adalah wanita yang baik, Nak." selepas mengatakan itu, lelaki diusia senja itu melangkahkan kakinya masuk terlebih dahulu. Meninggalkan sang putra yang kini hanya bisa termangu diam di tempatnya.

Tbc.

Kalau ada yang nggak ngerti tanya aja disini!

Jangan lupa vote dan komen!

Replace[END]✔Where stories live. Discover now