"Yud, kamu kenapa! Hei, bangun!" Popon menepuk-tepuk pipi Yudi.

"Jangan keras-keras, Mas. Kasihan Mas Yudi," tegur Ahmad. Popon hanya meringis.

"Mas Ahmad, kamu jaga saja si Yudi. Biar saya yang azan," ucap Pak Heru.

"Baik, Pak." Tandas Ahmad.

Pak Heru segera mengumandangkan azan. Para jemaah yang masih berada di mushola, berbondong-bondong mengambil wudu secara bersamaan. Mereka dilanda ketakutan.

"Setelah shalat, kita langsung pulang saja. Saya takut!" Ujar Popon.

"Ya, kita pulang sama-sama. Takut kalau nanti ada ..." salah satu warga menjeda kalimatnya. Ia mengedarkan pandangan, sekilas ia melihat bayangan yang melesat cepat di antara pepohonan. Merasa takut, warga tersebut mempercepat gerakannya.

"Ada apa?" Tanya Popon curiga.

"Tidak ada apa-apa. Buruan wudunya," tukas sang warga.

***

Keesokan harinya, desas desus soal Pak Soleh (dua) pun menyebar ke seluruh pelosok desa. Para warga yang mendengar berita itu, merasa takut untuk keluar rumah. Para ibu-ibu melarang anak mereka untuk pergi ke mushola, meskipun mendapat penolakan dari sang anak. Mereka tetap ingin berangkat mengaji dengan guru baru. Tentu saja kejadian semalam membuat Pak Heru resah. Sebagai Ketua RT, ia harus menjamin ketenangan warganya. Pak Heru terlihat mondar-mandir di ruang tamunya. Mencoba mencari solusi yang tepat untuk menghadapi keresahan para warga.

Sementara itu ...

"Mad, kamu yakin masih mau tinggal di sini? Kejadian semalam saja sudah menakutkan. Apa kamu tidak mikir, kalau desa ini aneh. Masa ada dua Pak Soleh, dan Mas Yudi juga tiba-tiba pingsan. Aku yakin, dia pasti melihat sesuatu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kamu nanti, jika lama-lama di sini," ucap Ilham sambil mengemasi barang miliknya. Hari ini, ia pulang. Kembali ke Pesantren sesuai perintah Kiai Sobirin.

"Aku masih ingin di sini, Ham. Kiai Sobirin sendiri yang memintaku mengajar di sini. Kalau aku pulang sekarang, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya beliau. Aku tidak mau hal itu terjadi," tukas Ahmad.

"Ya sudah kalau itu keputusanmu. Aku pulang sekarang! Desa ini seram!" Ilham menutup tas, dan menggendongnya di bahu kanan.

"Ham, tolong kamu jangan bilang ke Pak Kiai soal kejadian semalam ya? Aku tidak mau, hal itu membuat Pak Kiai tak tenang." Pinta Ahmad.

"Baiklah." Tandas Ilham, melenggang pergi menuju ruang tamu. Di sana, ada Pak Heru yang masih mondar-mandir.

"Loh, pulang sekarang to, Mas." Sapa Pak Heru.

"Ya, Pak. Karena ini juga perintah Pak Kiai. Saya minta maaf, kalau ada salah selama saya berada di sini," balas Ilham. Tak lama kemudian Ahmad muncul keluar dari kamar.

"Aku antar ya, Ham. Sampai depan gapura," kata Ahmad menawarkan diri.

Ilham mengangguk. "Ya, Mad."

"Hati-hati di jalan ya, Mas Ilham. Maafkan saya, jika selama di sini, Mas Ilham merasa tak tenang," ucap Pak Heru sembari menjabat tangan Ilham.

"Sebenarnya, ada apa Pak dengan desa ini? Saya merasa jika kejadian semalam bukan yang pertama kali. Semua itu bisa ditebak, dengan bahasa tubuh para jemaah. Mereka tampak tidak terlalu panik, dan justru hanya diam menata keberanian saat di mushola," Ilham bertanya penuh selidik.

"Ham, jangan tanya seperti itu, tidak baik. Maafkan Ilham, Pak." tegur Ahmad.

"Tidak apa, Mas Ahmad. Saya juga bingung mau menjelaskan apa. Saya juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Maafkan saya, bukannya saya bermaksud menutup-tutupi, cuma ... ada hal lain yang harus saya kerjakan." Jawab Pak Heru berusaha bijak.

"Baik, Pak. Saya mengerti. Saya pamit dulu, Assalamu'allaikum," Ilham melangkah pelan meninggalkan Pak Heru di ruang tamu. Ia kecewa dengan jawaban Pak Heru yang seakan dibuat-buat.

"Wa'allaikumussalam, hati-hati Mas." Ucap Pak Heru.

Ilham hanya mengangguk, disusul Ahmad yang ikut serta mengantar Ilham pulang. Ilham melaju mobilnya dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, mereka berdua tampak kebingungan. Pasalnya, jalanan desa menjadi lebih sunyi. Tak seperti hari kemarin, yang begitu ramai. Warung kelontong yang sebelumnya ramai pembeli, kini terlihat sepi.

"Desa ini, memang benar-benar misterius." Gumam Ilham sambil mengatur kemudi.

"Kamu tidak ingin berpamitan dengan Adiba, Ham?" Tanya Ahmad.

Ilham tertegun sejenak. Kenapa Ahmad bertanya seperti itu. Apa hubungannya dengan Adiba? Bukankah tidak ada hubungan apa-apa antara dirinya dengan Adiba?

"Kenapa kamu bicara seperti itu, Mad," Ilham justru membalikkan pertanyaan.

"Sudah lah, Ham. Tidak usah mengelak, aku bisa menebak ke mana arah pikiranmu saat ini. Tadi sebelum pertigaan, kamu sempat melihat gang jalan masuk ke rumah Pak Parta. Kamu juga sengaja memelankan laju mobil, ketika kita melewatinya. Kalau kamu ingin bertemu dan berpamitan dengan Adiba, ya kita putar balik saja." Ujar Ahmad sambil tersenyum. Ia mencoba menebak isi hati Ilham.

Ilham hanya terdiam. Dalam hatinya ingin sekali menemui gadis bercadar itu, namun logikanya menolak. Untuk apa bertemu dengan orang yang sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan kita? Buang-buang waktu.

"Mad, apa sebaiknya kita jenguk Mas Yudi dulu? Semalam dia pingsan. Apa kamu tidak khawatir dengan keadaanya?" Tanya Ilham mengalihkan topik pembicaraan.

"Ya juga ya, Ham. Baiklah kalau begitu, kita putar balik saja. Kita ke rumah Mas Yudi sekarang," jawab Ahmad sedikit terkejut, sebab ia sendiri lupa dengan kondisi Yudi yang pingsan semalam.

Ilham bergegas memutar arah, kembali lagi ke desa Giung Agung. Padahal 100 meter lagi, mereka sampai pada gapura desa.

"Tapi, di mana rumah Mas Yudi? Semalam, kita tidak ikut mengantarkannya pulang. Apa kita tanya saja sama warga," ujar Ilham.

"Kita tanya saja sama Pak Parta. Bukankah, cuma beliau yang kita kenal? Lagipula, kita juga sudah tahu di mana rumah bapaknya Adiba," balas Ahmad penuh senyum. Ia mengangkat kedua alisnya untuk menggoda Ilham.

"Kenapa kamu senyum-senyum begitu, Mad? Jangan mikir yang aneh-aneh kamu," gerutu Ilham dengan raut wajah memerah. Ia berusaha menyembunyikan rasa malu.

"Ya, ya! Maaf," Ahmad tertawa terkekeh melihat wajah sahabatnya seperti tomat yang baru matang.






JALAN PULANGWhere stories live. Discover now