"Terima kasih, Pak." Balas Ahmad. Ilham hanya membalas dengan tersenyum.

Tak lama kemudian Pak Heru muncul dari arah tempat wudu. "Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, dan Adek-Adek, ini dia guru baru yang akan mengajar di sini. Namanya Mas Ahmad." Pak Heru memperkenalkan Ahmad ke pada para warga yang ikut berjemaah di mushola.

"Selamat datang, Mas Ahmad. Semoga betah di sini," ucap Pak Soleh, pria yang sering menjadi imam di mushola.

"Terima kasih, Pak. Saya merasa senang bisa mengajar di sini. Saya juga minta bimbingan Bapak-Bapak dan warga di sini, bagaimana pun juga, saya manusia biasa yang sering salah dan lupa. Saya harap, bisa menjadi bagian dari masyarakat desa Giung Agung." Ahmad kembali tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Ya, tentu saja Mas. Kami akan bersedia membantu, apa pun itu." Tukas Pak Soleh.

Ahmad mengembangkan senyum lebar, begitu juga para jemaah lain.

"Yud, ikamah!" Titah Pak Soleh kepada pemuda bernama Yudi.

"Baik, Pak!" Yudi segera berdiri, mengambil mikrofon dan segera mengumandangkan ikamah.

Shalat maghrib berjemaah terlaksanakan dengan khidmat. Suasana desa Giung Agung malam ini tampak tenang dan damai. Sebagian jemaah memilih pulang, tanpa menunggu waktu isya. Gerombolan ibu-ibu juga tampak menggandeng tangan si anak. Biasanya setelah shalat, para anak-anak akan mengaji. Namun, hari ini diliburkan karena baru tahap pengenalan oleh guru baru.

Selama menunggu waktu isya tiba, para jemaah yang masih berada di mushola, mengisi kekosongan dengan tadarus. Dipimpin Pak Soleh, para remaja putra yang ikut berjemaah pun melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan khusyuk. Namun, saat giliran Ahmad, tiba-tiba saja lampu padam.

"Loh, kok mati." Cetus Ilham.

"Sepertinya lampu padam secara keseluruhan. Mungkin, sedang ada perbaikan di desa sebelah. Coba saya cari lilin dulu, siapa tahu masih ada." Pak Soleh berdiri, dengan langkah hati-hati ia berjalan menuju lemari tempat penyimpanan barang.

"Dingin sekali," Ilham menggosok-gosok kedua tangannya. Sesekali menempelkannya ke pipi.

"Ya, tak seperti biasanya, malam ini sangat dingin." Celetuk Pak Usman.

"Apa mungkin mau hujan ya," Sahut Pak Heru.

"Bisa jadi," tukas Pak Parta.

Srek!

Srek!

Srek!

Terdengar suara langkah kaki yang diseret. Semua orang dalam keadaan gelap mencoba melihat dari mana arah suara langkah kaki tersebut. Namun, indra penglihatan mereka seakan tak berfungsi. Semuanya tampak gelap.

"Ada yang jalan," bisik Ilham pada Ahmad.

"Kamu dengar juga, Ham?" Tanya Ahmad.

"Ya, aku dengar suara langkah kaki orang," jawab Ilham setengah berbisik.

"Mungkin warga sini yang kebetulan lewat," Ahmad mencoba berpikir positif.

"Masa gelap begini keluar rumah, Mad. Apa tidak takut. Jangan-jangan itu hantu," ucap Ilham takut. Dia bahkan menggeser tubuhnya ke samping Ahmad.

"Hust, jaga bicaramu, Ham. Mana ada hal semacam itu, jangan sembarangan bicara," tegas Ahmad.

"Ya, maaf." Ilham semakin merapatkan tubuhnya ke sisi Ahmad, saat merasa ada sesuatu yang membuat bulu kuduknya meremang.

"Ahmaaad ..."

Ahmad mengernyit. Ia mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. Dalam keadaan gelap, Ahmad mencoba mencari di mana asal suara tersebut. Dalam hitungan detik, Ahmad sempat melihat ada bayangan seseorang yang melintas cepat melewati pohon bambu yang tumbuh di samping mushola.

"Kenapa Pak Soleh lama sekali, padahal setahu saya lemari barang ada di samping pintu. Apa lilinnya habis?" Gumam Pak Heru.

Beberapa jemaah juga tampak kebingungan. Sudah hampir tujuh menit Pak Soleh pergi. Namun, tak kunjung jua kembali.

"Coba saya lihat dulu, Pak. Siapa tahu Pak Soleh kesulitan mencari lilin." Ucap Pak Usman.

"Ya, Pak. Mohon bantuannya."

Sekian detik, belum sempat Pak Usman berdiri, tiba-tiba saja Pak Soleh datang.

"Alhamdulillah, bagaimana Pak sudah ketemu lilinnya?" Tanya Pak Usman.

"Ini lilinnya, Pak. Maaf, saya tidak punya korek untuk menyalakannya. Jadi saya bawa saja lilinnya ke sini," jawab Pak Soleh dengan wajah datar.

"Tidak apa-apa, Pak. Kita bisa pinjam dulu sama warga lain yang mungkin bawa korek." Balas Pak Usman.

"Saya punya, Pak." Salah satu warga berdiri, lalu memberikan korek kepada Pak Usman.

"Kenapa tidak bilang dari tadi, Pon. Kan bisa dinyalakan dulu, buat penerangan sambil menunggu Pak Soleh," gerutu Pak Usman.

"Maaf, Pak. Saya lupa," Popon cengengesan, ia hanya menggaruk-garuk kepala sebagai ucapan maaf.

Pak Usman segera menyalakan lilin, dan meletakkannya di tengah mushola. Mushola kembali terang, semua jemaah berkumpul di satu titik. Namun, tidak dengan Pak Soleh. Pria tua itu tiba-tiba menghilang.

"Loh, ke mana Pak Soleh? Bukannya tadi berdiri di samping kamu, Pon?" Tanya Pak Usman.

"Saya juga tidak tahu, Pak. Saya kira sudah duduk tadi," jawab Popon.

"Mungkin, sedang ke kamar mandi." Sela Pak Heru.

Hening. Para jemaah larut dalam pikiran masing-masing. Sementara Ahmad, ia begitu gelisah. Sesekali ia memandang ke arah Ilham, hendak bicara namun tampaknya Ilham pun ikut larut dalam pemikirannya sendiri.

"Mas Ahmad, pian lihat juga kah?" Bisik Yudi.

"Lihat apa, Mas Yudi?" Ahmad berbalik tanya.

"Tadi, saat Pak Usman menyalakan lilin, saya sempat melihat kaki Pak Soleh tidak menapak di lantai, Mas." Jawab Yudi, ia mengecilkan volume suaranya sekecil mungkin.

Ahmad terkejut dengan pernyataan Yudi. Dia juga dibuat kaget, karena bukan hanya dirinya saja yang melihat kejanggalan di diri Pak Soleh. Ternyata Yudi pun ikut melihatnya.

"Maaf, Bapak-Bapak! Saya lama. Loh sudah ada lilinnya to? Wah, tahu begitu saya tidak pulang tadi. Soalnya lilin di sini sudah habis,"

Semua orang yang berada di mushola tampak terkejut melihat kedatangan Pak Soleh. Mereka saling beradu pandang satu sama lain.

"Kalau Pak Soleh baru datang, lalu siapa tadi yang memberikan lilin padaku?" Gumam Pak Usman sembari menatap Pak Heru yang kebetulan duduk di sampingnya.

Pak Heru hanya menggeleng pelan.


JALAN PULANGWhere stories live. Discover now