"Pelan-pelan saja ceritanya, Pak Kiai." Pinta Ahmad. Pemuda itu tidak ingin jika sang Kiai justru menjadi sakit, akibat terlalu memaksakan diri.

"Saya baik-baik saja, Mad. Saya hanya batuk sedikit," Kiai Sobirin menyeka sisa air di ujung bibir. "Setelah saya selidiki, ternyata Adiba adalah anak Suparta. Saya minta sama kamu, untuk menjaganya. Saya sudah menganggap Adiba seperti putri saya sendiri. Saya takut, jika saya sudah tiada lagi, Parta akan menjerumuskannya ke dalam kegelapan." Imbuh Kiai Sobirin, kedua matanya tampak berlinang. Pria sepuh itu tak lagi memandang ke arah Ahmad. Kiai Sobirin justru memandang langit-langit ruangannya. Ada sesuatu yang berbeda dari tatapannya. Namun, Ahmad tak bisa mengartikan tatapan tersebut.

Ahmad dibuat bingung dengan permintaan Kiai Sobirin. Dia tidak tahu menahu soal siapa gadis yang dimaksud oleh sang Kiai.

"Suparta? Siapa dia? Kenapa Kiai Sobirin begitu takut padanya. Perasaan tidak ada orang yang bernama Suparta di Giung Agung. Apakah dia seorang pendatang?" Gumam Ahmad dalam hati.

Setelah melewati perdebatan yang panjang, akhirnya Ahmad terpaksa menerima permintaan Kiai Sobirin. Kiai Sobirin meminta Ahmad untuk mengantar Adiba sampai ke rumah. Kebetulan juga, Ahmad dan Adiba tinggal di desa yang sama. Dan, saat ini Ketua RT mereka sedang mencari seorang guru untuk mengajar ngaji di Mushola.

Kiai Sobirin mengusulkan Ahmad untuk menjadi guru di sana. Pak RT pun setuju. Kiai Sobirin meminta Ahmad untuk merahasiakan asal usulnya kepada warga di sana. Ahmad diminta untuk mengaku sebagai keponakan Kiai Sobirin. Awalnya Ahmad menolak, namun Kiai Sobirin terus mendesaknya. Dengan terpaksa Ahmad menuruti permintaan sang kiai. Pasti ada alasan tertentu, yang mungkin belum bisa dijelaskan untuk saat ini. Tapi yang pasti, tujuan sang kiai semata-mata untuk melindunginya.

Hari yang ditunggu pun tiba. Ahmad bersama satu santri, bernama Ilham tengah berada di perjalanan menuju desa Giung Agung. Tak lupa jua, Adiba pun ikut serta. Kiai Sobirin sendiri yang meminta Adiba untuk ikut dengan Ahmad dan Ilham. Meskipun merasa sungkan, namun Adiba tak bisa menolak. Perjalanan dari pondok ke rumah Adiba memakan waktu yang cukup lama dan juga biaya yang mahal. Adiba harus tiga kali ganti bus untuk sampai di sana. Beruntung baginya, sang kiai memberinya tumpangan gratis. Meskipun harus semobil dengan Ahmad dan juga Ilham.

Sesekali Adiba melirik ke arah Ahmad. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Terlihat jelas dengan ia meremas jemarinya berulang kali. Begitu pula dengan Ahmad. Pemuda itu pun tak kalah gugup, saat mengetahui Adiba adalah gadis yang menarik perhatiannya waktu itu. Dari sekian banyak santri putri, hanya Adiba yang terlihat menonjol. Adiba menjadi satu-satunya santri putri yang memakai cadar. Pakaian yang ia kenakan pun lebih cenderung berwarna hitam. Sesekali ia terlihat memakai warna lain, ketika sedang belajar di kelas. Namun, keseharian Adiba selalu memakai pakaian berwarna hitam.

Dari dulu sampai sekarang, tidak ada satu pun santri putri yang melihat wajah Adiba. Adiba selalu memakai cadar, meskipun dalam kondisi tidur. Bahkan ia juga memakai cadar saat hendak mandi. Banyak santri putri dan putra yang penasaran, bagaimana wajah gadis itu. Ada yang berasumsi, jika Adiba memiliki paras yang cantik, kalau dilihat dari kedua bola mata kecokelatan dan bulu matanya yang lentik.

Meskipun Adiba duduk di kursi belakang, nyatanya pesona gadis itu mampu membuat tubuh Ahmad sedikit bergemetar. Keringat di dahinya mengucur deras. Pemuda itu menyekanya berulang kali.

"Tolong jaga Adiba, saya percaya sama kamu."

Ahmad tersentak, saat ingat dengan kata-kata Kiai Sobirin. Cukup besar tanggung jawab yang diberikan oleh Kiai Sobirin padanya. Terlebih, Adiba bukan kerabatnya. Ia pasti merasa kesulitan untuk mendekati gadis tersebut. Belum lagi, nanti jika sudah berada di desa. Ahmad bahkan belum tahu, bagaimana kondisi desa Giung Agung sekarang. Bagaimana dengan orang-orang di sana. Sudah lama ia tak pulang. Bahkan tidak ada rencana ingin pulang, namun ternyata takdir berkata lain. Hari ini, ia kembali pulang ke kampung halaman.

"Berapa meter lagi, Ba?" Tanya Ahmad ketika sudah sampai pada gapura jalan masuk menuju ke desa Giung Agung.

"Sekitar 200 meter lagi, Mas. Nanti ada persimpangan jalan, belok kiri, lurus saja ikuti jalan. Nanti juga sampai," jawab Adiba.

Ahmad tercengang mendengar suara Adiba yang begitu merdu. Tanpa disadari santri muda itu tengah membayangkan bagaimana wajah Adiba. Namun, segera ia menepis pikiran buruknya.

"Astaghfirullah, apa yang aku lakukan," Ahmad mengusap wajahnya yang basah oleh keringat. Ia juga membenarkan letak pecinya yang tadi sempat miring akibat tersenggol jarinya sendiri.

Sementara Ilham, sang supir sedang berusaha menahan tawanya. Bibir pemuda itu membuka menutup sendiri, saat melihat gerak gerik sahabatnya yang salah tingkah.

"Sepertinya, Ahmad menyukai gadis ini." Gumam Ilham dalam hati.

"ILHAM!"

Ilham terkejut mendengar teriakan Ahmad, ia segera menginjak pedal rem, mobil terhenti secara mendadak hingga ke empat rodanya membunyikan suara yang nyaring.

"Astaghfirullahaladzim," Kepala Ilham hampir saja mengenai setang kemudi. Untungnya pemuda itu dengan cekatan mampu menguasai diri.

"Hati-hati, Ham. Hampir saja kamu tadi menabrak orang," ucap Ahmad.

"Maaf, Mad. Aku tidak fokus tadi," Ilham segera meminta maaf, seraya menundukkan kepala.

"Kamu tidak apa-apa, Ba---

Kedua mata Ahmad terbelalak lebar ketika melihat Adiba tidak lagi berada di kursi belakang. Ahmad mengedarkan pandangan, dicarinya gadis belia itu. Sampai akhirnya, ekor mata Ahmad tertuju pada semak belukar yang tumbuh di tepi jalan. Ia seperti melihat bayangan melintas di sana. Ahmad bergegas turun dari mobil, berjalan menuju semak, tanpa menghiraukan Ilham yang sedari tadi berteriak memanggil namanya.

"Ba, Adiba ..."

Ahmad mencoba memanggil Adiba dengan lirih. Kakinya terus melangkah maju, menerobos duri pada tumbuhan liar yang akhirnya menempel di sarung Ahmad.

Hening, tidak ada sahutan dari siapa pun.

"Adiba!" Ahmad memanggil lagi. Namun hasilnya tetap sama, tidak ada jawaban.

"Ahmad!" Ilham menarik tangan Ahmad, sedikit menyeretnya kembali ke jalanan. Tentu saja Ahmad terkejut, dengan sikap Ilham.

"Kamu mau ke mana, Mad? Lihat, di sana itu jurang, kalau aku tidak menarik tanganmu, bisa jadi kamu akan terjatuh nanti," umpat Ilham. Pemuda yang seumuran dengan Ahmad itu tampak begitu khawatir.

"Jurang?" Ahmad melongo dengan mulut sedikit terbuka saat mendengar ucapan Ilham.

"Ya, itu jurang. Lihatlah!" Telunjuk Ilham bergerak, menunjuk ke arah tempat Ahmad berdiri sebelumnya.

Pemuda itu tercekat, ketika melihat jurang yang dimaksud Ilham. Jurang itu terlihat curam, dan terjal. Andai saja Ilham tidak menolongnya, sudah dipastikan Ahmad akan terjatuh terperosok ke dalamnya.

"Kamu cari apa to, Mad? Kok bisa sampai sana," tanya Ilham penasaran.

"Cari Adiba," jawab Ahmad.

"Astaghfirullah, dari tadi Adiba sama kita loh Mad, itu dia di sana," Ilham berganti menunjuk ke arah mobil. Ahmad semakin terkejut, melihat Adiba berdiri di samping mobil. Padahal ia yakin, sebelumnya Adiba tidak berada di sana tadi.

"Istighfar, Mad. Istighfar," Ilham menepuk pundak Ahmad.

"Astaghfirullahaladzim,"

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now