Perempuan muda itu merasa geli, saat kumis tebal sang suami mulai menggelitik daun telinganya.

"Aku pastikan kamu akan mendapat seorang anak, Mas. Ini waktu yang tepat untuk melakukannya. Mas, bisa ... emh," Lastri menggantungkan kalimatnya.

"Layani aku, Lastri."

Entah kenapa, Lastri begitu bersemangat saat sang suami minta dilayani. Tanpa disadari, seseorang tengah mengintip aksi mereka melalui celah lubang kayu. Seseorang itu berusaha menahan amarahnya, tangannya mengepal erat, napasnya memburu. Emosi yang ia tahan, seakan ingin memberontak, hendak meledak.

"Kau tunggu saja, Parta!"

***

Tahun 2000.

Kerumunan para santriwati di pesantren Al-Jabar milik Kiai Sobirin tengah berteriak histeris di aula. Mereka bukan sedang kesurupan, melainkan tengah terpesona melihat ketampanan santri muda bernama Ahmad Kairi. Santri putra itu ditunjuk secara langsung oleh Kiai Sobirin untuk menjadi pengisi acara pengajian rutin tiap tahun. Ahmad hanya mengembangkan senyuman untuk membalas sambutan para santri putra mau pun putri.

Namun, ditengah riuhnya teriakan yang menggema, ada satu gadis yang tampak biasa saja saat melihat sang santri. Gadis itu bernama Adiba Kamilah Kanza. Gadis belia yang sekarang menginjak usia 15 tahun itu, hanya memandang sesaat ke arah panggung, lantas kembali menunduk, membaca sebuah buku. Hal itu sedikit menarik perhatian Ahmad. Ia sesekali melirik tempat Adiba duduk. Ahmad kesulitan melihat paras Adiba yang sering kali tertutupi oleh beberapa santri putri yang duduk di depannya. Ahmad menghela napas panjang, kemudian ia kembali melanjutkan tugasnya.

"Terima kasih, Mad. Berkat kerja kerasmu, acara yang diselenggarakan menjadi sangat meriah," ucap Kiai Sobirin sembari menjabat tangan Ahmad.

"Sama-sama Pak Kiai. Saya juga berterima kasih atas kepercayaannya. Alhamdulillah, acara berjalan dengan lancar," sambut Ahmad dengan lembut.

"Sebenarnya, ada satu lagi yang ingin saya katakan padamu, Mad. Tapi ... rasanya saat ini bukan waktu yang tepat." Tangan Kiai Sobirin sedikit bergemetar, Ahmad bisa melihat dengan jelas bagaimana gugupnya Kiai kondang itu.

"Tidak apa, Pak Kiai. Saya siap mendengarkan,"

Kiai Sobirin memandang lekat Ahmad. Santri muda itu sedikit ketakutan, melihat tatapan tajam sang Kiai.

"Selama tiga minggu ke depan, para santri akan libur tahun ajaran baru. Para santri pasti memilih untuk pulang ke desa masing-masing. Namun, ada satu santri putri yang membuat saya khawatir, semenjak kedatangannya di pesantren, saya merasa jika ada sesuatu yang gelap menyelimuti dirinya. Terkadang, aura itu memutih lalu menjadi kuning ke emasan, terkadang pula berubah menjadi hitam pekat." Kiai Sobirin mencoba mengatur pernapasannya. Di usianya yang sepuh, Kiai Sobirin memang sudah sering sakit-sakitan. Tubuhnya yang renta tak sanggup lagi menopang kedua kakinya. Dengan bantuan tongkat, Kiai Sobirin berjalan mendekati kursi, dan duduk secara perlahan.

"Apa maksud Pak Kiai?" Tanya Ahmad. Pemuda itu tentu saja menjadi penasaran.

"Namanya Adiba Kalimah Kanza. Dia berasal dari desa Giung Agung. Ibunya yang mengantarkan gadis itu ke sini. Saat itu, usianya baru tujuh tahun. Adiba gadis yang sangat sopan, supel dan mudah berbaur dengan santri putri yang lain. Namun, saat usianya menginjak empat belas tahun, salah satu pengurus pesantren pernah melihatnya mengendalikan sebuah buku tanpa menyentuhnya. Pengurus tersebut merasa ketakutan. Saat hendak melaporkannya ke ustazah penjaga asrama, tiba-tiba saja tubuh pengurus tersebut mengalami kejang, lalu ..." Kiai Sobirin menjeda kalimatnya. Ia terbatuk-batuk, Ahmad segera mengambil segelas air dan memberikannya pada Kiai Sobirin. Lelaki sepuh itu meneguknya hingga tandas.

JALAN PULANGWhere stories live. Discover now