1509

660 85 28
                                    

Dering alarm yang memekakkan telinga mengisi ruang berukuran tujuh kali delapan meter. Seorang gadis terlihat terusik dari tidur lelapnya. Diiringi erangan malas, gadis tersebut menekan asal ponselnya, lalu lanjut tertidur.

Dua menit. Hanya dua menit gadis tersebut kembali terlelap. Selepas dua menit berlalu, matanya mengerjap perlahan. Menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya.

"Ngantuk," keluhnya dengan suara lirih. Masih mempertahankan kepalanya yang berada di atas tumpukan buku.

Terakhir ia melihat jam di ponselnya pukul dua dini hari dan sekarang waktu sudah menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh menit. Terhitung tiga jam lebih ia ketiduran di meja belajar. Hal yang lumrah dalam hidup seorang Anjani.

Kini kepala Anjani sudah berpindah dalam pangkuan tangannya. Rasa pusing menyeruak, rupanya pusing yang ia derita semenjak pulang berkemah tidak mereda. Padahal ia sudah menenggak tablet paracetamol semalam.

Papa
Anjani

Anjani meraih ponselnya menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kiri memijat pelan pelipisnya. Membaca pesan masuk dari sang papa.

Papa
Jangan terlambat hari ini

Tapi hari ini ada dispensasi buat kelas sebelas pa
Aku nggak masuk dulu ya?

Masuk.
Pulang nanti jangan bolos les
Kamu udah cukup libur dua hari kemarin.

Helaan napas kasar mengudara. Libur papanya bilang? Papanya bahkan tidak tahu ia hampir dipulangkan karena menggigil di tempat perkemahan. Belum lagi tragedi Aruna kemarin membuat Anjani semakin dibenci oleh kedua kakaknya.

•••

"Aruna sakit?" Anjani mengajukan pertanyaan retoris. Jelas-jelas ia sendiri sudah mengetahui dengan jelas jawabannya. Ia hanya berusaha mencairkan suasana beku di dalam mobil yang ditumpanginya.

"Iya, Jan," sahut Laut dari kursi depan. Di sampingnya terdapat Langit yang tengah mengemudi dengan wajah tanpa ekspresi.

"Ngapain nanya kalau lo udah tau jawabannya? Lupa kalau lo yang buat kembaran lo sakit?" sembur Langit.

Anjani membungkam mulutnya. Malas, pagi-pagi sudah ditanggapi sesinis itu oleh sang kakak.

"Ada orang kayak lo ternyata ya, Jan? Sebesar apa ambisi lo buat dapet juara satu sampe kembaran lo sendiri jatuh aja lo nggak peduli sama sekali?" Langit kembali berbicara ketika lampu lalu lintas menunjukkan warna merah. Ia menatap Anjani yang tengah balik menatapnya melalui kaca bagian dalam mobil.

"Parahnya, lo yang buat dia jatuh. Terus lo sekarang masih tanya kembaran lo sakit atau engga? Tolol juga lo."

"Lang," tegur Laut.

"Lo diem. Lo bahkan nggak bisa marah sama manusia anjing kaya dia." Langit ganti menatap Laut dengan tatapan tajam.

"Lo yang diem." Laut balik menatap Langit dengan berani. "Nggak ada gunanya lo marah-marah sama orang nggak punya hati kaya Anjani."

Menusuk. Perkataan Laut berhasil menusuk hatinya tepat sasaran. Mulanya Anjani pikir Laut membuka suara untuk membelanya, tetapi ternyata Anjani salah besar. Ah, Anjani tampaknya lupa jika tidak ada satu orang pun yang ada dipihaknya.

•••

"Lo liat nggak sih kemarin Anjani buat kembarannya sendiri jatoh?"

"Gue liat! Sengaja kali ya? Dia kan nggak pernah mau kalah."

"Gue juga liat, mana dia nggak nolongin."

"Sumpah iya, gue kaget. Mereka kayanya emang nggak sedeket itu deh. Pantes aja jarang interaksi di sekolah."

cowardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang