Melihat Rhiana yang menangis haru seperti ini, hati Azhaan semakin tersentuh. Ia akan merasa sangat bersalah jika dirinya membuat masalah hingga mengecewakan Rhiana.

"Don't cry Mom, your makeup will fade," ucap Enver menghapus lembut air mata yang membekas di kedua pipi Rhiana.

Rhiana tertawa mengibaskan kedua tangannya. Lalu mengusap lembut rambut putra bungsunya tersebut.

Drrttt

Terdengar dering ponsel yang berasal dari dalam tas gucci berwarna hitam milik Rhiana. Rhiana merogoh tasnya mengambil ponsel tersebut.

"Kalian tunggu sebentar." ucap wanita paruh baya itu pada kedua putranya di balas dengan anggukan oleh Azhaan dan Enver.

Mereka bergegas menuju sofa untuk bersantai menikmati pemandangan malam hari dari balik jendela kamar hotelnya sembari menunggu Rhiana.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Enver mencoba memulai topik pembicaraan dengan sang kakak.

"Nothing."

Enver sudah menduga, bahwa kakaknya akan menjawab seperti itu.

Azhaan melirik Enver sekilas yang tengah menatap kosong jendela kamar. Ia sedikit berdengus, tersenyum mengingat bagaimana dulu bocah itu sangat cengeng dan selalu merepotkan bahkan hingga saat ini. Tidak terasa adiknya tersebut semakin dewasa. Meski umur keduanya terpaut hanya dua tahun, tetap saja bagi Azhaan adiknya tersebut hanya anak kecil yang terpaksa dewasa.

"Kau—" ucap Azhaan terpotong membuat Enver menoleh ke arahnya.

"Why?"

Azhaan membenarkan kerah kemejanya. Sesekali ia menyeruput teh hangat yang telah di sediakan oleh Rhiana sebelumnya. "Bagaimana perasaanmu saat ini?"

"Kamu nanya?" ledek Enver yang langsung mendapati tatapan tajam dari Azhaan. Enver terkekeh pelan melihat sang kakak yang selalu saja sensi seperti wanita yang tengah datang bulan. "Seperti biasa, bahkan lebih buruk." lanjutnya.

Azhaan menaikkan sebelah alisnya seperti ingin bertanya, why?

"Mommy menyuruhku melupakan kejadian itu," ucapnya yang paham akan ekspresi yang di berikan oleh Azhaan.

Azhaan membuang kasar nafasnya, menyandarkan tubuhnya pada sofa.

"Mommy benar sudah wak—"

Dengan cepat Enver memotong ucapan sang kakak. "Tidak akan." telaknya.

Mereka kembali terdiam. Tenggelam dalam pikirannya masing-masing.

5 years ago

Washington, Amerika Serikat | 08.30 PM

Hujan deras di kota Washington membuat seorang pemuda berusia sekitar dua puluh  tahun terpaksa berlarian di bawah gelapnya langit dan derasnya hujan. Pemuda tersebut berniat untuk meneduh, namun karena jaraknya yang sudah tidak jauh dari rumah ia memutuskan berlari menerobos air hujan.

Di tengah guyuran air hujan, pandangan pemuda itu terhenti pada sebuah mobil sedan berwarna putih yang sangat ia kenali pemiliknya. Mobil dengan plat nomor LAZ-584 yang ia yakini milik sang ayah. Dengan langkah tergopoh-gopoh pemuda tersebut menghampiri mobil untuk meminta tumpangan kepada Ayahnya, Lionel Aamir Zhaiens. Setibanya di sana, ia di kagetkan atas apa yang telah ia lihat dengan mata kepalanya sendiri.

Dengan penuh amarah, pemuda itu mengambil sebuah batu bata merah yang berada di dekatnya dan melempar batu bata tersebut ke arah spion mobil hingga membuat dua orang yang tengah bercinta di dalamnya terperanjat kaget. Bagai tersambar petir di siang bolong, ia kembali terkejut ketika mendapati sang kekasih berada di dalamnya. Ya, Ayahnya telah bercinta dengan seorang wanita yang di yakini adalah kekasihnya.

BILLIONAIRE HUSBANDWhere stories live. Discover now