Chapter XXXIII -Kesengsaraan-

28 4 0
                                    

"Abang!! Akak!!!"

Pemuda bersurai coklat gelap terus menyerukan panggilan untuk mencari dua kakak nya yang hilang. Diatas batu apung buatan salah satu gunung nya, ia mencari dengan mengarung air tsunami sembari melewati reruntuhan bangunan yang terapung bebas serta tubuh tak bernyawa yang tersangkut hingga terapung bebas.

Gadis surai tembaga ikut mencari dengan mata elang nya memastikan ada tanda kehidupan di laut hitam. Pria surai kayu coklat mendekati mereka membawa sebuah kain merah digenggaman. Batu apung segera menyatu dengan batu apung gunung Karang.

Karang,"Apa kau menemukan Pangeran dan Putri, Kailasa?"

Kailasa,"Tidak. Sebaliknya aku menemukan tusuk emas Maharatu Sri"

Kain merah manggis basah diserahkan pada Bagas. Manik jingga itu berkaca-kaca memikirkan banyak kejadian buruk yang akan menimpa dua kakak nya. Tangan gadis tembaga menepuk bahu menenangkan hati bergejolak. Karena khawatir akan ada gelombang susulan, Kailasa memutuskan untuk kembali ke tempat pengungsian. Karang mengirim kuda laut untuk melanjutkan pencarian mereka. Setelah itu, mereka pergi dengan berdoa agar mereka segera ditemukan.

—• • •—

Manik emas perlahan terbuka.

Pria pribumi itu mengapung bebas bersama 2 orang yang terikat ditangan. Rasa sakit juga dingin menyebar di sekujur tubuh. Ia merasa tubuh nya telah terbentur ribuan kali dan siap remuk saat itu juga. Namun saat kepala mengingat apa yang telah terjadi, ia berenang ke kayu apung yang cukup untuk dua orang. Adik nya terlebih dahulu dinaikan sebelum sang tulip layu.

Sekarang ia hanya perlu mengatur napas. Tubuhnya memang dingin tapi ia tidak akan mati. Manik emas itu melihat darah segar mengalir di bibir pucat sang adik. Bahu sang meneer juga bercampur warna merah meski samar. Yang ia akan lakukan sekarang adalah menunggu bantuan sembari mendorong kayu untuk mencari "daratan" kokoh.

Dentuman kecil disertai langit kelabu menghantui suasana tapi ia memilih untuk terus maju. Selama adiknya baik-baik saja maka semua nya aman. Saat manik emas memandang kilat petir di langit, mata nya tak sengaja menangkap asap biru-hijau membumbung keatas. Asap itu memiliki kekuatan magis. Ia segera mengikuti arah asap itu untuk menyelamatkan sang adik.

Benar saja, beberapa menit kemudian manik emas melihat surai coklat abu sedang mengarahkan tangan kanan nya ke atas langit dan mengeluarkan asap biru-hijau itu. Manik kayu hitam menelusuri setiap jengkal air tsunami mencari korban atau sosok sang tuan. Belum sempat berseru, kayu apung yang ia bawa terasa didorong oleh seseorang. Saat kepala hendak melihat, hanya seekor kuda laut emas kecil yang mendorong kayu sendirian.

Singkirkan rasa penasaran, ia mengikuti kuda laut dan mengembalikan niatnya untuk memanggil si pemuda magis.

Dirga,"Lancaraka!!"

Personifikasi Gunung Aseupan itu segera berbalik dan mengarahkan tangan kirinya untuk mengangkat sang pangeran dari dingin laut. Batu apung timbul dari dalam dan segera membawa tubuh dingin itu mendekat. Dirga merasa seluruh tubuhnya yang kedinginan menjadi hangat setelah diangkat menggunakan batu apung. Lancaraka juga mengubah kayu menjadi batu apung hangat untuk menyelamatkan tuan nya yang lain. Kuda laut emas mendekati Lancaraka lalu merubah diri menjadi benang emas membentuk sebuah pesan dalam aksara Sunda.

Anggukan diberi dan ia segera memangkas rambutnya lalu mengikatkannya pada kuda laut kecil itu. Dua batu apung segera terikat bersama dengan kuda laut. Lancaraka menyentuh batu apung memberi tambahan magis agar tetap menghangatkan tubuh sang tuan.

Lancaraka,"Kuda laut itu milik Rarang. Dia akan mengarahkan pangeran dan putri ke tempat yang sudah kita jadikan pengungsian sementara"

Dirga,"Bagaimana dengan mu?"

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang