Chapter XXXII -Murka-

30 5 2
                                    

26, Agustus 1883. Pukul 10:50, Banten.

3 manusia berpakaian bangsawan Belanda melewati perkebunan pribumi. Sebenarnya hanya satu asli Belanda yang berambut pirang mancung sedang merokok menggunakan cangklong, sementara dua lainnya adalah pribumi berpakaian bangsawan Belanda. Wajah si kembar nampak menahan geram akibat terpaksa memakai pakaian ini. Pria jangkung berkulit sawo matang menatap sinis pria pucat didepan, diikuti adiknya yang lebih ingin mengutuk sang Meneer.

Selama pengawasan kebun juga, banyak pribumi menggumamkan keberadaan mereka dalam suara sekecil mungkin. Mereka mencemooh wujud salah satu bangsa penjilat kaki putih. Meski takut, mereka masih membicarakan sosok penghianat dalam balutan kain mahal. Mata itu menatap hina dan satu sebutan yang terus diulang membuat hati si kembar sakit.

"Londo Ireng"

Mereka adalah personifikasi Nusantara. Rasanya sangat sakit dan terhina saat panggilan itu disematkan pada mereka. Boleh jadi penduduk tidak tahu siapa mereka, tapi tetap saja itu membuat mereka terlihat sebagai penjilat kaki Belanda. Salahkan hal ini pada pria nanas pirang. Dia yang memaksa mereka untuk memakai baju ini. Jika kalian ingin tahu apa yang terjadi pada pakaiannya, pakaian mereka dibakar tanpa dosa oleh si pirang. Itulah mengapa mereka tak ada pilihan lain selain memakai pakaian putih hitam ini.

Dirga memakai baju hitam bahan kain terbaik, kain batik motif parang melilit pinggang menutupi hingga mata kaki dan sepatu pantofel hitam membalut kaki nya. Sementara sang adik, Kirana, memakai baju nona belanda krem lengkap disertai sarung tangan dan topi besar berenda. Ia memang terlihat cantik namun baju ini membuat asumsi kejam dari mulut bangsa yang ia cintai. Si Meneer sendiri memakai baju hitam dengan sisi kerah berwarna emas, celana putih, sepatu bot hitam dan pangkat emas terselip manis di dada lebar.

Kirana dan Willem nampak serasi sementara Dirga terlihat seperti pelayan di belakang. Dasar tulip ip ip ip. Mereka sampai di pos pertama tempat pengumpulan panen. Ada beberapa Belanda yang melapor pada Willem, bahkan beberapa melaporkan seorang gadis pribumi bermata senja sering bermain di sekitar perkebunan. Jika informasinya benar, itu berarti gadis kecil ini sedang memperhatikan mereka.

Namun saat sedang berada dalam suasana damai, seorang pribumi berlari cepat melewati mereka sembari membawa hasil panen curian. Petugas memang mengejar tetapi,

"BANG!"

Peluru menembus tulang rusuk. Tubuh si pencuri jatuh sudah tak bernyawa. Darah menggenang di tanah. Semua pekerja diam atau lari ketakutan, Willem nampak tak berkutik setelah menembak seorang pribumi. Kembar Nusantara melihat semua hal itu dan akan murka sebelum pandangan beralih pada gadis cilik familiar.

Wajah manis terciprat darah segar, manik senja mengecil ketakutan, tubuh membeku melihat darah menggenang, bunga melati telah terkotori darah pribumi. Mulut itu hendak berteriak tetapi lari dari tempat menjadi jawaban. Dirga dan Kirana hendak menyusul namun ditahan Willem. Pria Belanda itu mengatakan bahwa Rakata akan baik-baik saja. Mereka kesal tapi mereka juga tidak tahu gunung Krakatau itu akan berlari kemana.

Saat Willem sedang sibuk mengurus mayat tadi, Dirga dan Kirana pergi diam-diam kembali ke rumah untuk mengganti pakaian. Untung nya Sangkuriang tiba tepat waktu memberikan baju baru. Tapi ketika mereka selesai, pintu dibuka dan seorang pria Belanda menunjukkan wajah kesal.

Willem,"Apa yang kau lakukan?"

Sangkuriang,"Hm? Memberi baju baru?"

Willem,"Baju mereka yang tadi lebih baik. Untuk apa kau menggantinya menjadi pakaian inlander lagi?"

Sangkuriang,"Bukan kah itu hak mereka?"

Willem,"Ganti. Jangan kau ubah mereka. Mereka sudah sempurna!"

"Krakatoa"حيث تعيش القصص. اكتشف الآن