Chapter XXVII -Siapa?-

29 5 0
                                    

Perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur, 1808.

Langit gelap sejuta cahaya bintang terpasang rembulan menerangi hutan. Puluhan manusia serta dua personifikasi tertidur pulas diantara nyanyian alam. Gadis kecil menyelimuti dua tuan nya dengan daun pisang tambahan. Senyuman kecil terlihat bangga telah menghangatkan dua tuan yang paling dihormati. Anak rambut dirapihkan lalu tepukan lembut diberikan. Si gadis berjalan ke sungai dalam diam, agar tidak membangunkan sang tuan.

Dibalik semak-semak, ada tubuh sungai mengalir tenang. Gemericik air terlihat jelas karena terpantul cahaya rembulan. Jemari kecil masuk pertama memastikan air apakah terlalu dingin atau hangat. Dingin tapi cukup untuk meredakan kaki juga tangan yang terus panas akibat aktivitas vulkanik. Kaki nya ia masukkan lalu berjalan ke tengah batu.

Ketika hendak duduk, ada suara langkah kaki dari ujung sungai. Suaranya mendekat namun mendadak hilang. Mungkin harimau atau monyet yang bermain di sungai. Baru saat akan duduk lagi, suara cipratan air semakin keras diikuti cahaya putih terlihat di air. Sang gadis membalik kan tubuh dan merasakan tubuh seorang wanita menubruk nya keras hingga mereka berdua jatuh ke air. Kesampingkan rasa sakit, amis darah menguar ke udara disertai air sungai berubah merah. Panik melihat nya, gadis kecil bertanya ketakutan.

Rakata,"K-Kau siapa? Mengapa banyak dar—"

"Tolong kami! Kumohon, tolong kami!"

Rakata,"Apa yang terjadi?"

"Kami— hiks.. K-kami tidak tahu mengapa ini terjadi! Tapi kami tidak salah! Kumohon bantulah!!"

Rakata tidak tahu apa yang terjadi. Ini pertama kali dia melihat darah segar secara langsung. Tidak mungkin membangunkan tuan yang sedang tertidur pulas? Apalagi mereka sedang berjalan pulang sehabis kerja rodi. Karena sangat panik, ia menggunakan sinyal alam memanggil gunung sekitar. Rambut masuk ke tanah mengeluarkan cahaya emas, pelukan mengerat sembari wajah berkerut, air naik membentuk kubah lalu meletup ke seluruh hutan. Tidak lama, lima orang datang berpakaian adat jawa.

Dua wanita dua pria satu anak laki-laki manis. Mereka nampak terkejut melihat kedatangan tamu dari luar negara. Ditambah dengan kondisi menggenaskan. Gadis bersurai biru malam segera menghampiri Rakata.

Lawu,"Bagaimana Whakaari bisa bersama mu?"

Rakata hanya menggelengkan kepala tanda ia juga tidak mengerti. Wanita dengan surai putih panjang, bermanik putih abu dan kulit minyak zaitun itu masih terus menangis. Amis darah sudah bercampur dengan kebaya putih nya. Lawu, Mandra dan trio Jatim terus menatap kebingungan. Hingga akhirnya, Whakaari memberanikan diri untuk memberi jawaban yang telah melumuri tubuhnya dengan berbagai macam darah.

Whakaari,"A-Aku ingin melihat keadaan pulau Tasmania.. Ta-pi... Aku.. Ukhhhh—!!!"

Lawu,"Katakan. Apa yang kau lihat?"

Mandra,"Apakah Balanda mengganggu kalian lagi?"

Whakaari,"A....Itu...hiks.. U-luru..!!"

Mendapat tali merah, Lawu segera menatap trio jatim yang langsung memahami situasi. Satu pria bersurai biru malam dengan manik emas menyuruh pria surai putih lembut manik biru pirus membawa Rakata pergi. Wanita surai hitam manik magenta membantu Whakaari dengan menyembuhkan luka-luka kecil. Kakak bersurai putih, Arjuna, alias personifikasi gunung Arjuno memangku Rakata lalu menyampaikan beberapa pesan pada teman manik emas nya.

Arjuna,"Kli, nanti bila ada Elang dari barat kesini bilang saja Rakata aman bersama Maharaja dan Maharatu"

Klitar,"Yo sante aja. Nanti ku bohongi"

Lawu,"Kang Kelud, Raja ngamuk aku tutup mata"

Mandra,"Mandra juga loh! Mau kena amuk emaknya juga?!"

Klitar, personifikasi gunung Kelud itu hanya menjulurkan lidahnya pada dua bocah pemimpin juga 'ibu' gunung Jawa. Perempuan manik magenta itu menengahi agar masalah tidak bertambah.

"Krakatoa"Where stories live. Discover now