Chapter VI -Permaisuri-

121 12 7
                                    

Tahun 1366 Masehi.

Masyarakat sekitar menyambut hari seperti biasa dengan wajah sumringah. Ada yang menari dengan semangat, bernyanyi dengan riang, juga para penonton yang terus bersorak. Pada masa itu menjadi kejayaan Majapahit yang telah berlangsung selama enam belas tahun. Kekayaan melimpah ruah kesegala penjuru Nusantara.

Di kerajaan, kursi takhta raja, seorang pria dewasa berwajah tampan rupawa bertukar senyum juga tawa gurau dengan para dayang-dayang istana yang cantik. Sekitar dua belas dayang muda nan cantik menggoda sang pria dengan mengerubungi nya seperti merak betina yang sedang dalam masa kawin.

Berbeda dengan seorang wanita yang terus melihatnya di balik pilar. Manik emas cerahnya menatap jijik kepada para dayang juga pria yang malah membalas godaan para dayang. Baginya para dayang itu adalah ular beracun yang bisa ia bunuh dalam kedipan mata. Menghela napas kasar, ia keluar dari persembunyian nya dan menghadap sang pria yang masih belum menyadari keberadaan nya.

Sri,"Raden Wijaya Madjasanagara"

Mereka semua segera terdiam mendengar suara dingin tersebut. Manik emas coklat wijaya bertatapan lalu cepat merubah ekspresinya menjadi senyum cerah pada istri nya, Srijayanasa Sudamanimarwadewi.

Wijaya,"Istri ku, Permaisuri ku! Ada apa?"

Sri,"...Kita perlu berbicara"

Udara ruangan segera menurun drastis, suasana yang tadi ramai menjadi mencekam karena tatapan tajam Sri pada mereka. Wijaya segera berdeham dengan canggung dan izin untuk meninggalkan para dayang. Para dayang sebenarnya sedih namun mereka tak bisa menunjukkan nya terang-terangan atau tidak kepala mereka akan segera di arak ke desa. Wijaya segera mengikuti istri nya dengan ketakutan.

Di kamar kerajaan, Sri meminta para dayang juga pengawal untuk meninggalkan kamar mereka. Tanpa basa-basi mereka pergi, meninggalkan pasangan suami-istri tersebut di kamar dalam kecanggungan luar biasa. Sri duduk di kasur dan melepas hiasan mahkota nya lalu membiarkan surai coklat indahnya tergerai bebas. Wijaya didepan mengejang dengan muka memerah. Ia segera berdeham lagi dengan mata tertutup.

Wijaya,"Umm.. Jadi istri ku, ada apa?"

Sri,"Aku hanya ingin berkata, "Enyahlah" "

Wajah yang memerah berganti menjadi hitam. Mata nya menatap horor istri nya yang mulai menatapnya dengan tatapan membunuh. Ia segera menenangkan istrinya sebelum kepalanya dijadikan pajangan di gerbang kerajaan.

Wijaya,"U-uhh istri ku tercinta, aku memang menggoda mereka namun aku tau pasti tabiat mereka. Hati juga tubuh ku milik mu sepenuhnya"

Sri,"Sebaiknya kau pegang perkataan mu karena anak-anak akan mengikuti kebiasaan bodoh mu itu"

Hatinya sakit namun ia sudah terbiasa dengan perkataan sadis istri nya. Wijaya mendekati istri nya perlahan lalu memeluk tubuh mungil istri nya erat. Sri tidak membalas kembali pelukan suami nya namun membiarkan Wijaya bermain dengan rambutnya. Dirasa hati istrinya sudah membaik, ia memberi kecupan lembut di bahu nya.

Wijaya,"Jadi permaisuri ku, apa yang ingin kau bicarakan"

Sri,"Aku teringat kembali pesan Neeraja"

Wijaya,"Apa yang Kang Neeraja sampaikan??"

Sri,"Kakang Neeraja mengatakan bahwa kau ingin bertemu seseorang ketika kau sudah jaya nanti"

Wijaya,"Eh? Ingin ketemu siapa?"

Sri,"...Lain kali bila bersumpah jangan sembarangan. Apa kau benar-benar personifikasi Majapahit? Aku bingung kenapa Hayam Wuruk juga Gajah Mada bisa menjayakan dirimu padahal kelakuan mu seperti ini"

"Krakatoa"Where stories live. Discover now