Chapter XIX -Kembar Nusantara-

67 8 4
                                    

Emas ganda memandang hamparan laut biru. Deburan ombak selalu berdatangan diikuti angin pantai menerpa raga. Tepat ditengah laut, asap putih dari tumpukan batu besar "hidup" membumbung ke angkasa. Mereka bertanya-tanya dalam hati, apakah itu penghujung pulau Suwarnabhumi? Atau hanya sebuah pulau tanpa penghuni? Tidak ada yang tahu. Tepukan juga gumaman anak kecil dipangkuan menyadarkan pikiran. Manik jingga bulat dengan senyum lebar menyapa gadis sawo matang itu hangat. Gadis itu balas tersenyum dan memeluk gemas keponakan tersayang nya tersebut.

Kirana bersama kakak nya, Dirga, sedang duduk melihat aktivitas pedagang-pedagang. Kapal-kapal bangsa luar memang besar hingga menarik perhatian sekaligus memberi tanda seorang pelanggan ingin membeli rempah-rempah. Langkah kaki lain mendekati mereka. Sorban tan pucat dengan bayi mungil menggigit jari kecil nya datang mendekati mereka. Nampaknya sang paman sudah kembali membawa keponakan mereka yang lain. Beberapa kalimat ditukar memberi informasi keadaan sekitar atau keadaan Bayu sekarang yang sudah kembali sehat. Zain tersenyum lalu duduk disebelah Kirana.

Zain,"Keadaan memang sudah mereda tetapi prajurit mereka masih berkeliaran disini. Tetap hati-hati"

Dirga, Kirana,"Baik, Paman"

Zain,"Ah iya. Rarang, apa Sahari baik-baik saja?"

Karang,"Kondisinya membaik"

Zain,"Syukurlah"

Dirga,"Sekarang kita hanya perlu mencari Salaka dan Jaka.."

Kirana,"Aku harap mereka baik-baik saja"

Sudah satu tahun terlewat. Jaka dan Salaka tidak pernah ditemukan oleh mereka. Keluarga Gunung Sunda geram mendengar salah satu negara dari Eropa yang menculik mereka berdua. Keadaan kembali tenang saat Kirana memperkirakan pedagang Eropa itu akan ke pelabuhan Banten lalu menemui mereka. Sangkuriang sempat berpikir kenapa orang Eropa itu tidak melewati jalur darat saja dan tentu mendapat jawaban dari Angga, personifikasi Gunung Papandayan, bahwa jalur darat lebih berbahaya karena harus melewati hutan atau bahkan pemukiman asing. Kemungkinan lain adalah Jaka atau Salaka sengaja mencari jalan memutar agar mereka semua dapat membuat rencana.

27 Juni 1596, mereka masih menunggu tanda-tanda kapal Eropa negeri bunga tulip. Para pedagang telah bertukar informasi dan kebanyakan dari mereka pernah melihat kapal Belanda lewat tetapi tidak dengan eksistensi anak kecil dan pria surai tembaga tua. Mereka hanya bisa berharap kapal itu segera singgah dan mereka bisa memulai negosiasi. Kembar Nusantara menghapus rasa gelisah lalu kembali berdoa semoga Jaka dan Salaka masih bertahan.

Sorakan seorang nelayan mengalihkan perhatian mereka. Nelayan itu nampak menyuruh semua orang membuat tempat berlabuh untuk beberapa kapal besar. Kapal khas Eropa lagi. Hanya saja berbeda dari kapal Spanyol dan Portugal. Tidak salah lagi ini pasti kapal yang mereka cari. Karena takut salah atau ada serangan mendadak, Zain meminta Dirga untuk menemani nya sementara Kirana dan Karang menjaga anak-anak. Bayi mungil dari gendongan Zain diserahkan pada Karang.

Zain,"Kalian tetap dibelakang kami. Jika terjadi penyerangan, Rarang panggil Kailasa lalu bawa kabur Kirana dan Dirga"

Kirana,"Uhhh Paman, Kirana bisa lawan balik kok!"

Zain,"Hush. Sudah keputusan"

Dirga,"Baik, Paman..."

Tuan atau Sultan dari Kesultanan Banten ikut keluar dari keraton untuk menyambut Eropa baru. Beberapa rombongan pria tinggi berkulit putih pucat dan surai pirang turun bertemu raja di daerah sekitar. Untung nya sudah ada penerjemah masing-masing sehingga komunikasi tidak terlalu sulit. Selama paman mereka sibuk berbicara menemani sultan nya, manik emas Dirga mendapati pria lain yang "terlihat" sama seperti mereka. Kebetulan mata mereka saling bertatapan. Akhirnya personifikasi Belanda meminta izin pada tuan nya untuk berbicara dengan "personifikasi".

"Krakatoa"जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें