BAB 1

64 18 10
                                    

“Mati tuh rokok lu! Ngapain sih dilihatin terus? Pacar orang itu!”

Aku mengalihkan pandanganku kepada Yasa—temanku yang baru saja berbicara. Kemudian aku, mengambil pematik dan menyalakan rokokku kembali.

“Gimana? Udah lo kasih?” Sambung Yasa kembali.

Aku tertawa kecil, mengingat kejadian lima hari yang lalu saat aku dengan bodohnya memberanikan diri menyatakan seluruh isi hatiku padanya. Dan, dengan bodohnya juga aku langsung pergi dari hadapannya saat dia bertanya tentang hal apa yang harus dia lakukan saat ini karena rupanya dia pun sayang padaku. Bukan aku tidak senang mendengar jawaban itu, tapi bukan hal ini juga yang aku mau. Sungguh, sejahat-jahatnya aku benar-benar tidak mau membuat Niffa berselingkuh denganku.

Aku ingin Niffa, aku ingin memilikinya. Sungguh, aku ingin dia tahu kalau cintaku itu nyata. Tapi, aku tidak mau membuat dia menjadi perempuan jahat. Berselingkuh denganku? Dengan orang yang tidak ada apa-apanya ini? Bukanlah sebuah hal yang membanggakan, dibandingkan dengan pacarnya aku benar-benar tidak ada apa-apanya. Pacarnya Niffa itu tampan, populer dan punya segalanya. Yah, setidaknya ada satu hal yang bisa aku banggakan dari pacarnya. Yaitu, aku yang jauh lebih tampan dari dirinya, setidaknya itu menurutku.

“Udah.” Jawabku, agak sedikit lama.
Yasa langsung menuntut sebuah cerita padaku. Awalnya, aku memang tidak ingin menceritakan tapi Yasa adalah temanku satu-satunya yang aku punya, yang paling tahu juga kalau aku sangat menyukai Niffa. Karena itulah aku ceritakan semua detailnya, dari awal sampai akhir kepadanya.

“Kalau kata gue sih, gasss aja, Bro.” Kata Yasa.

Aku menggelengkan kepala. “Gue bisa aja bilang mau, tapi gue lebih milih nggak mau.”

“Kenapa?” Tanya Yasa penasaran. “Lo mau nunggu dia putus aja?”

“Iya.” Jawabku tanpa pikir panjang.

“Lama dong.”

Aku terkekeh. “Ya nggak apa-apa, yang penting gue nggak jadi perusak hubungan orang. Nggak gentle, Bro.”

“Halah!” decak Yasa gondok.

Aku dan Yasa memang baru berteman semenjak kami masuk ke fakultas yang sama. Satu-satunya orang yang tahu bagaimana aku patah hati sekali ketika Niffa berpacaran dengan orang itu adalah Yasa, padahal Yasa sudah memberitahukanku kalau aku harus bergerak lebih dulu karena sudah terlalu lama memendam sebelum orang lain yang mendapatkan Niffa. Tapi, aku memilih untuk tidak mendengarkannya karena terlalu yakin dengan pikiran konyolku jika sekalipun ada orang lain yang mencoba mendekati Niffa, dia tidak akan menghiraukannya. Tapi rupanya, aku salah.

“Doain aja semoga mereka cepet putus.” Gumamku, merasa menyesal sendiri sekarang karena dulu pernah menyia-nyiakan kesempatan yang ada.

Sontak Yasa berdecak tak suka kembali, dia mengambil sebatang rokok lagi dan menyalakannya. Aku paham dan tahu betul tentang apa yang ada dipikiran Yasa, dia mungkin sudah terlalu muak dengan diriku yang terlalu bimbang dan labil saat ini.

“Justru dengan lo begitu, mereka akan lama putusnya. Doain yang baik-baik aja, kalau mau baik-baik sekalian, kalau mau jadi bangsat ya bangsat sekalian, Yov.” Kata Yasa santai.

“Yaudah gue doain mereka yang baik-baik aja setelah ini.”

Akhirnya, aku hanya bisa menyaksikan mereka berdua yang sedang berjalan menuju taman kampus bersama dengan beberapa orang teman mereka dengan tatapan mata yang sendu. Aku punya banyak pertanyaan untuk Niffa, tapi sepertinya kini semua itu terasa percuma.

“Yakin gue! Sebulan lagi, mereka udah putus.” Kata Yasa.

“Nggak, sih, kata gue,” Sahutku. “Meskipun gue doain mereka cepet putus tadi, tapi feelling gue mereka akan lama pacarannya.”

Setelah mengatakan kalimat itu, tatapan kami tidak sengaja bertemu. Niffa duduk persis dihadapanku, dengan terhalang satu orang yang duduk dihadapannya. Namun, selama beberapa menit dia tidak mengalihkan tatapan matanya dariku. Lalu, satu tangannya terangkat untuk menyelipkan anak rambutnya ke belakang daun telinganya. Dan, saat itu lah aku melihat jika jam tangan yang aku berikan, hari ini dia pakai. Lalu Niffa, memandangku dengan senyum. Dan aku pun, membalas senyumnya dengan tak kalah bahagianya. Aku selalu menunggu momen-momen dia yang selalu tersenyum kepadaku seperti itu, saat kami bertemu ... Aku selalu ingin menyapanya. Namun, ketika kami sudah bertatapan, aku justru kalah telak dengan tatapan itu dan bingung harus bersikap seperti apa. Tapi anehnya. Aku, menyukai saat-saat itu. Saat-saat aku tidak berdaya karena dia, Khaniffa Zavira.

.
.
.

KhaniffaWhere stories live. Discover now