45 | Tangisan Risa

1.7K 185 19
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"AARRRRGGGGGHHHH!!!" teriak Risa, saat akhirnya sadar dari pingsan.

"Risa? Kamu kenapa, Sa? Hei ... kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Meilani, saat akhirnya melihat Risa membuka kedua matanya.

Kumala dan Asih masih berada di sisinya. Mereka terus menangis sejak tadi, karena Risa mendadak tidak sadarkan diri seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Saat tahu kalau dirinya sudah kembali berada pada kenyataan, Risa pun langsung menangis begitu histeris. Dandi dan Zulkarnain langsung berlari dari meja makan ke ambang pintu kamar yang ditempati oleh Risa, namun tak berani masuk karena takut dimarahi oleh Kumala dan Asih. Panji dan Yatno juga mendengar suara tangis Risa yang histeris. Mereka pun segera bangkit dari kursi di ruang tamu, dan menuju ke arah kamar Risa seperti yang dilakukan oleh Dandi dan Zulkarnain.

Meilani mendekap Risa dengan erat sambil mengusap-usap punggungnya dengan lembut. Risa benar-benar sulit berhenti menangis, karena rasa sakit hatinya terasa begitu dalam lebih daripada yang sebelumnya.

"Sa, kamu kenapa? Tolong katakan padaku, Sa. Biar aku tahu apa alasanmu menangis saat ini," pinta Meilani.

"Iya, Nak. Coba katakan ada apa? Kenapa kamu tadi mendadak pingsan dan sekarang kamu mendadak menangis histeris begini?" tanya Kumala, ikut membujuk Risa.

"Me-mereka ja-jahat, Mei. Me-mereka ja-jahat pa-pada Nya-Nyai Ke-na-nga," jawab Risa, terbata-bata akibat tangisnya.

"Mereka? Siapa mereka yang kamu maksud, Sa? Nyai Kenanga memperlihatkan padamu sesuatu tentang ingatan lamanya?" Meilani kembali bertanya.

"I-iya, Mei. Nya-Nyai Ke-Kenanga mem-per-lihatkan pa-padaku, so-soal yang ter-terjadi pa-padanya ter-terakhir kali. A-aku sa-kit ha-ti, Mei. A-aku sa-kit ha-ti me-lihat Nya-i Ke-na-nga di-per-laku-kan be-gi-tu o-leh di-a."

"Dia? Siapa dia, Sa? Mbah Tejo?" duga Meilani.

Risa pun menganggukkan kepalanya dan terus menangis histeris. Panji pun masuk ke dalam kamar itu dan langsung mendekat pada Meilani yang sedang memeluk Risa. Dandi mengikutinya dengan cepat, karena tahu bahwa Panji mungkin saja sedang merasa marah terhadap Sutejo setelah Risa melihat sesuatu yang ditunjukkan oleh Nyai Kenanga.

"Nak, coba katakan pada kami semua tentang hal yang Nyai Kenanga perlihatkan kepada kamu. Biarkan kami juga tahu masalah sebenarnya seperti apa, kejadiannya seperti apa. Jangan menanggungnya sendirian. Perasaan kamu akan semakin terasa sakit jika sampai menyimpannya sendiri," bujuk Panji.

Saat menatap wajah Panji, seketika Risa pun teringat soal bagaimana Sutejo memperkosa Nyai Kenanga di masa lalu. Risa pun segera menggeleng-gelengkan kepalanya, karena tidak menerima bujukan itu. Tangisnya semakin menjadi-jadi karena begitu takut akan menyakiti perasaan Panji, jika sampai Panji mengetahui semua yang diperbuat oleh Sutejo terhadap Nyai Kenanga. Dandi pun segera merangkul Kakeknya dengan pelan.

"Mbah, sebaiknya kita jangan paksa dulu Dek Risa untuk menceritakan yang telah diperlihatkan oleh Nyai Kenanga. Biarkan Dek Risa tenang dulu, Mbah. Biarkan dia menentramkan hatinya yang sedang terasa sakit," saran Dandi, sedikit berbisik.

Panji tahu bahwa saran yang Dandi berikan adalah saran paling tepat untuk menghadapi Risa saat itu. Keadaan jiwa Risa sedang tidak stabil, dan jika terus didesak maka mungkin saja dia akan merasa stress. Panji jelas tidak mau hal itu terjadi pada Risa. Bahkan ia takut kalau Nyai Kenanga akan marah padanya, sama seperti saat Sutejo menuduh Risa tadi pagi. Ia tidak mau menerima kemarahan dari Nyai Kenanga, karena menurutnya Nyai Kenanga sangatlah menyayangi Risa meski tak pernah saling kenal sebelumnya.

"Iya. Kamu benar, Nak. Sebaiknya Risa kita biarkan diam dulu untuk menenangkan diri. Dia pasti akan bicara, jika memang sudah benar-benar siap untuk bicara pada kita semua," Panji setuju.

Malam itu setelah semua orang pulang dari rumah Nyai Kenanga, Meilani kembali tidur di kamar yang Risa tempati. Ia masih mendekap Risa di sisinya, agar Risa tidak merasa sendirian. Tangisan Risa sudah mulai mereda, meski airmatanya masih mengalir deras di wajah cantik itu. Meilani tidak lagi bertanya-tanya seperti tadi, karena ia ingat pesan dari Dandi untuk tidak menekan Risa agar bercerita tentang yang diperlihatkan oleh Nyai Kenanga.

"Maaf ya, Mei. Kalau aku jadi terlalu cengeng akhir-akhir ini," ujar Risa, pelan.

"Enggak apa-apa, Sa. Kalau kamu cengeng, kalau kamu menangis, itu artinya kamu masih memiliki rasa simpati dan empati di dalam hatimu. Itu artinya kamu adalah orang yang perasa, alias peka terhadap kesulitan yang orang lain lalui. Kamu enggak perlu malu hanya karena menjadi sedikit cengeng dan mudah menangis. Itu artinya kamu punya banyak stok airmata yang mungkin harus dikuras, biar enggak mengendap," tanggap Meilani.

Risa pun langsung menatap ke arah wajah Meilani dan bisa melihat kalau sahabatnya itu sedang berupaya untuk menahan tawa. Seketika airmata Risa menjadi semakin deras dan tangisnya pun kembali terdengar seperti tadi. Meilani langsung kalang kabut dan mendekap Risa lebih erat.

"Eh ... kok malah tambah nangis? Aku barusan berusaha menghibur kamu, Sa, bukan berusaha membuatmu lanjut menangis. Jangan gitu dong. Aku jadi enggak hati tahu," bujuk Meilani, dengan nada panik.

"Aku benar-benar enggak bisa berhenti memikirkan Nyai Kenanga, Mei. Dia enggak punya orang yang bisa menghiburnya semasa hidup, seperti aku punya kamu saat ini. Hidupnya sulit karena dia hanya sendirian di rumah ini, Mei. Enggak ada yang bisa menolong dia dan harapan satu-satunya yang dia punya adalah Mbah Panji, Mei. Itu adalah alasan kenapa aku enggak mau menceritakan semuanya di hadapan Mbah Panji. Aku takut Mbah Panji merasa terluka dan marah, jika sampai tahu hal apa yang dilakukan oleh Mbah sinting itu pada Nyai Kenanga," jelas Risa.

"Oh ... sudah berubah nama panggilannya? Biasanya kamu memanggil dia Mbah tua, sekarang kamu lebih suka memanggil dia Mbah sinting? Iya? Begitu?" tanya Meilani, sengaja tidak mau fokus pada pengakuan Risa.

"Tadinya aku mau memanggil dia Mbah bajingan, Mei. Tapi enggak jadi. Nanti aku dimarahi oleh Mbah Asih atau Mbah Kumala kalau sampai bicara yang terlalu kasar. Ya ... meskipun aku yakin kalau Mbah Rumsi pasti setuju kalau aku memanggil laki-laki itu Mbah bajingan, tapi aku lebih memilih memanggilnya Mbah sinting saja," jawab Risa, sambil menyeka airmatanya.

"Oke ... oke ... kali ini aku setuju dengan pikiranmu itu. Jadi, kamu tidak mau menceritakannya pada Mbah Panji, tentang apa yang Nyai Kenanga perlihatkan padamu? Apakah itu untuk selamanya, Sa?" Meilani ingin tahu.

"Enggak tahu, Mei. Aku masih bingung. Tapi kalau aku enggak bilang, bagaimana caranya mau membongkar kejahatan Mbah sinting itu dan mengangkat jasad Nyai Kenanga dari tempatnya dikuburkan? Aku benar-benar dihadapakan pada dilema, Mei," keluh Risa.

"Kamu juga sudah tahu di mana jasad Nyai Kenanga berada, Sa?" kaget Meilani.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now