42 | Yang Tidak Bisa Dihentikan

1.6K 170 5
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Menunggu beberapa jam hingga pukul setengah lima sore membuat Meilani, Risa, dan Dandi akhirnya memutuskan untuk menyudahi kegiatan mengawasi Sutejo. Sama sekali tidak ada pergerakan ataupun kegiatan yang terjadi di rumah itu. Hanya Juminah saja yang tampak beberapa kali keluar untuk menyapu teras dan menyiram pot-pot berisi tanaman hias. Sutejo sama sekali tidak kelihatan batang hidungnya. Mungkin karena laki-laki itu tadi babak belur setelah Nyai Kenanga memberinya hukuman.

Mereka akhirnya berpamitan pada Rumsiah dan berterima kasih karena telah diperbolehkan untuk mengawasi Sutejo dari rumahnya. Rumsiah jelas tidak merasa keberatan sama sekali, karena rumahnya jarang sekali ramai dikunjungi oleh tamu seperti saat itu. Lagi pula bagi Rumsiah, rumahnya memang yang paling strategis jika ingin dijadikan tempat untuk mengawasi Sutejo.

Sesampainya di rumah milik Nyai Kenanga, Panji dan Kumala tampak sedang mengobrol bersama Yatno dan Asih di ruang tamu. Zulkarnain juga ada di sana dan terlihat sedang membalas pesan pada ponselnya. Itu adalah pesan dari Romi yang mengabarkan soal kepulangan Dandi, Risa, dan Meilani dari rumah Rumsiah. Zulkarnain jelas langsung membalasnya, untuk mengonfirmasi bahwa ketiga orang tersebut sudah tiba di rumah Nyai Kenanga.

Meilani langsung beranjak menuju dapur bersama Risa karena harus memasak untuk makan malam bersama setelah waktu shalat maghrib nanti. Keberadaan Asih dan Yatno di rumah itu adalah karena undangan dari Risa yang disampaikan tadi siang melalui Zulkarnain, bahwa mereka diajak untuk makan malam bersama di rumah Nyai Kenanga bersama Panji dan Kumala. Maka dari itulah Risa dan Meilani segera menyiapkan semuanya sebelum jam makan malam tiba.

"Ayam bakarnya nanti disajikan ke atas piring saji yang jauh lebih besar ya, Mei. Biar muat untuk dua ekor ayam bakar. Ini sambal ayam bakarnya sedang aku buat," ujar Risa.

"Oke, sip! Akan aku siapkan piring saji milik Nyai Kenanga yang lebih besar dari biasanya," sahut Meilani.

"Itu sayurnya kira-kira cukup jika hanya ada plecing kangkung dan urap? Tidak mau ditambah yang lain lagi, Mei?" tanya Risa, meminta pendapat.

"Mau bikin perkedel kentang, tidak? Itu masih ada kentang sisa kamu bikin campuran opor ayam siang tadi," jawab Meilani.

"Oke. Bisa juga ditambah perkedel kentang, biar lauknya tidak hanya ayam bakar saja," Risa setuju.

Mereka berdua bekerja sama dengan cepat di dapur, hingga tak sampai satu jam kemudian semua hidangan untuk makan malam pun sudah tersaji lengkap di atas meja makan. Zulkarnain dan Dandi menatap tidak percaya dengan tampilan meja makan saat itu. Mereka berdua berulang-ulang kali memastikan bahwa hanya Meilani dan Risa saja yang memasak di dapur, tidak ada lagi orang lain.

"Kalian bisa masak banyak menu seperti ini dalam waktu yang cukup singkat, ya? Sering latihan?" tanya Zulkarnain.

"Ya ampun, Zul. Kamu pikir kita kalau ada di rumah itu ngapain? Enggak mungkin dong kami hanya baring-baring seharian di tempat tidur mulai pagi sampai malam. Terutama Mei ... dia itu jelas bukan hanya sering latihan makan dalam porsi banyak, tapi juga latihan memasak dalam porsi banyak agar orang yang tinggal serumah sama dia tetap kebagian makanan meski dia makannya jauh lebih banyak," jawab Risa, sambil melirik ke arah Meilani yang mendadak sudah siap ingin mengarahkan ulekan ke arah Risa.

"Hei, ayolah. Masa iya sih kalian mau bertengkar terus setiap kali ada pembahasan baru di antara kita. Kami berdua juga capek menjadi wasit terus," bujuk Dandi.

"Ya makanya makanlah yang banyak, Mas Dandi. Makannya jangan sedikit terus," saran Meilani.

"Biar apa, Mei? Biar Mas Dandi bisa menyaingi prestasimu dalam urusan makan porsi banyak atau biar kamu punya bahan untuk membalas sindiranku padamu?" duga Risa.

Meilani pun tersenyum sambil menatap sebal ke arah Risa.

"Biar Mas Dandi jadi gendut dalam waktu singkat. Biar kamu bisa ceramah sama dia untuk mengurangi berat badan setiap saat," balas Meilani.

Asih dan Kumala yang baru saja mendekat ke arah meja makan pun tertawa begitu lepas, usai mendengar harapan Meilani terhadap Dandi dan Risa. Risa pun langsung memeluk Asih dari samping sambil memasang wajah merajuk.

"Mbah Asih ... Mei jahat sama aku," adunya.

Kumala dan Dandi pun tampak kaget, karena untuk pertama kalinya mereka melihat Risa merajuk dan mengadu pada Asih.

"Mei ... kamu jangan ganggu Risa terus. Kalau kamu merasa kurang kerjaan, ganggu saja Zul sampai dia stress," saran Asih.

Wajah Meilani tampak benar-benar merana saat Asih kembali membela Risa usai menerima aduan. Zulkarnain langsung mendekat dan mengusap-usap rambut Meilani dengan lembut.

"Zul ... Mbah Asih membela Risa lagi," adu Meilani, sambil meremas-remas serbet.

"Sabar, ya, Mei. Nanti kita akan balas aduannya Risa melalui Mbah Kumala atau Mbah Panji agar dia juga kena teguran," bujuk Zulkarnain.

Kumala pun kembali tertawa saat mendengar bujukan yang Zulkarnain keluarkan. Dandi mengikuti langkah Risa menuju dapur setelah wanita itu menjauh dari meja makan.

"Kamu bisa merajuk juga rupanya, Dek. Aku baru tahu, loh," ujar Dandi.

"Terus kalau Mas Dandi sudah tahu, Mas Dandi mau apa? Mau minta aku merajuk setiap saat pada Mas Dandi atau Mas Dandi mau menggantikan posisi Mbah Asih agar aku selalu merajuk pada Mas Dandi saja?" tanya Risa, sambil tertawa sendiri akibat pertanyaan yang ia ajukan.

Dandi pun tersenyum begitu manis di dekat Risa.

"Boleh?" tanya Dandi.

"Boleh apa, Mas?"

"Boleh aku meminta kamu merajuk hanya kepadaku saja, Dek?" Dandi memperjelas pertanyaannya.

"Mas ... sebaiknya Mas Dandi segera pergi berwudhu. Sebentar lagi waktu shalat maghrib akan tiba," saran Risa.

"Ta--tapi, Dek ...."

"Pergi wudhu, Mas," ulang Risa.

Setelah para pria shalat maghrib berjama'ah di masjid dan para wanita shalat maghrib di rumah dan diimami oleh Asih, acara makan malam pun benar-benar dimulai. Semua orang benar-benar menikmati hidangan yang tersaji malam itu tanpa pernah lupa untuk memuji rasa masakan Meilani dan Risa. Kedua wanita itu hanya bisa menutupi wajah dengan tisu, agar tidak ada satu orang pun yang bisa melihat bahwa wajah mereka sudah memerah luar biasa akibat menerima pujian.

Usai makan malam, semua orang berkumpul di halaman belakang untuk mengobrol. Risa dan Meilani menyajikan ubi goreng kopong yang baru selesai digoreng bersama teh manis panas.

"Kalau kita tinggal di sini terus, bisa-bisa kita gendut betulan seperti yang Mei harapkan terjadi pada Dandi," ujar Kumala.

Asih pun tertawa.

"Itu jelas benar, Mbah Kumala. Mana bisa kita melewatkan semua makanan enak yang mereka masak jika tinggal di sini? Sudah pasti kita akan mengalami kenaikan berat badan yang drastis hanya dalam hitungan hari," sahutnya.

Meilani dan Risa hanya bisa tertawa pelan saat mendengar hal itu. Zulkarnain dan Dandi duduk bersama, sementara Meilani kini baru akan duduk di samping Zulkarnain setelah menyimpan baki yang dipegangnya. Risa berjalan ke arah taman bunga mawar, lalu menghirup salah satu bunga mawar putih yang begitu segar. Saat ia melakukan itu, mendadak sebuah bayangan melintas di dalam pikirannya dan sama sekali tidak bisa dihentikan.

"RISA!!!" jerit Meilani, yang dengan sigap menangkap tubuh Risa.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now