8

798 173 33
                                    

"Jadi, bagaimana?" tanya Maiko. 

Rangga menoleh ke arah Aishin. Tapi Aishin tetap lurus memandang kakaknya. Mereka sedang berada di ruangan TV di rumah dinas GSR.

Tidak seperti saat menerima Erni bertamu tempo hari, suasana kali ini lebih menegangkan. Tidak ada martabak dan TV dimatikan. Tidak ada suara dari lantai dua juga. Aishin mengenakan setelan piyama katunnya seperti biasa. Maiko mengenakan blus sutra dan celana panjang yang potongannya makin mennjukkan kejenjangan kakinya. Rangga masih mengenakan kemeja dan celana hitam-hitam karena dia baru pulang kerja.  

"Ini... aku nggak salah dengar kan?" tanya Aishin. "Menurut Kakak, daripada kita menunggu serangan selanjutnya, lebih baik kita yang menyerang duluan? Caranya gimana? Kita aja nggak tahu siapa yang.... ngeginiin aku..."

Saking banyaknya yang sudah terjadi, Aishin sampai tidak tahu bagaimana cara mendeskripsikan apa yang sudah dia alami dan cuma bisa menggunakan kata yang abstrak semodel 'ngeginiin'.

Tadi pagi Maiko memang meminta dilakukan pertemuan bertiga dengan Rangga dan Aishin. Tapi jujur Aishin tidak mengira topik yang Maiko lemparkan: Aishin, kita sudah cukup lama bersembunyi. Ini saatnya kita menyerang balik. 

Maiko menatap Aishin dengan sungguh-sungguh. "Hanya ini caranya untuk menuntaskan masalahmu. Memangnya kamu mau berapa lama berada di bawah perlindungan GSR terus?"

Aishin menggeleng dan menatap Rangga. "Boleh nggak aku berada di bawah perlindungan GSR terus?"

Rangga menatap Aishin. "Boleh aja sih, tapi..."

"Tapi? Tapi apa??" tanya Aishin.

"Tapi Kak Maiko benar. Kalau kita yang maju duluan, setidaknya kita sudah punya persiapan. Kita harus mencari tahu siapa pelaku yang menerormu selama ini. Aku merasa serangan mereka cukup brutal. Tidak pernah ada ancaman, atau permintaan dari mereka, yang mereka inginkan hanyalah kematianmu. Melihat kehidupanmu selama ini, kurasa asalnya bukan dari orang-orang terdekat. Aku merasa kamu pernah berada di tempat yang salah, di waktu yang salah... Mungkin menyaksikan sesuatu yang tak seharusnya kamu lihat. Tapi kamu tidak menyadarinya..."

Aishin termenung.

Maiko menambahkan. "Kamu ingat pesta pertunangan sepupunya Kak Ernest di Hotel Pine Tree? Yang kamu datang tanpa Kakak?" tanya Maiko. "Kakak ingat seminggu setelah itu kamu diserang pakai clurit di jalan, sampai lehermu terluka parah." 

Tanpa sadar, Maiko memegangi  lehernya sendiri. 

"Rangga bilang, pelakunya orang yang punya pengaruh dan uang. Jadi Kakak mulai menelusuri tamu-tamu yang datang di pesta pertunangan itu, mengkrosceknya... Butuh waktu cukup lama untuk menyisir data sebanyak itu. Tapi setidaknya, kini Kakak yakin, ada tiga orang yang bisa melakukan itu padamu," kata Maiko. "Dan tiga orang itu akan berkumpul lagi di villa di Bandung bulan depan, bersama beberapa puluh tamu undangan lainnya. Akan ada pesta penikahan. Ernest tidak bisa ikut karena dia harus ke Melbourne dan Kakak akan memastikan semua orang tahu kamu yang ikut bersama Kakak."

***

Setelah Maiko pergi, Rangga dan Aishin pindah mengobrol ke rooftop. Mereka berdua duduk di bangku kayu panjang. Di antara mereka, terdapat dua botol minuman dingin yang sudah hampir kosong. 

Rangga menoleh ke arah Aishin. "Bagaimana pendapatmu soal rencana Maiko?"

Aishin menghela napas. "Mau bagaimana lagi.... memang agak sulit diterima, tapi aku tahu Kak Maiko benar. Kita harus mengonfrotasi pelakunya," kata Aishin.

Sejenak Aishin terdiam, rasanya ada yang salah dengan penggunaan kata 'kita'. Sebagai kata ganti kata orang pertama jamak, mengatakan kita berarti merujuk pada dia dan Rangga.

Jadi sebelum Rangga mengucapkan ledekan purba semacam 'Kita? Lu aja kali...', Aishin buru-buru meralat. "Maksudnya aku... aku yang harus mengonfrontasi pelakunya."

Setelah berkata begitu, Aishin baru menyadari sumber perasaan berat yang sedari tadi menghimpir dadanya, saat dia mendengar rencana Maiko. Karena Aishin lah yang jadi ujung tombak keberhasilan rencana ini. 

Rangga terkekeh pelan. "Udah bener lho pake kita, kok jadi 'aku' doang... Emang mau kemana sih sendirian aja..." kata Rangga.

Aishin untuk pertama kalinya menoleh ke arah Rangga, melihat senyum Rangga dan wajah Rangga. Refleks Aishin menyipitkan sebelah matanya. Rangga terlihat begitu menyilaukan. 

Aishin kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Rangga memang akan ikut ke Bandung, ditemani satu pegawai GSR lainnya. Mereka akan menemani Maiko dan Aishin selama tiga hari mereka menginap di villa itu, memastikan keselamatan kedua kakak beradik, tapi terutama memastikan keselamatan Aishin.

Rangga terlihat lumayan percaya diri dengan rencana Maiko, tapi apa anehnya? Baik Maiko maupun Rangga jenis orang yang selalu berhasil dan sukses dalam hidupnya. Mereka jenis orang-orang yang memperjuangkan hidup mati-matian, berusaha mengubah nasib dengan semangat.

Sebaliknya, Aishin tak punya semangat yang sama. Dia hanya bisa merespon segala yang yang terjadi pada dirinya, tanpa benar-benar punya inisiatif untuk mengambil langkah pertama. Aishin lebih suka jadi penonton, melihat orang-orang di sekitarnya keren dan cemerlang ditempa kehidupan.

Aishin membiarkan hidup terjadi padanya, alih-alih memperjuangkan hidup yang dia inginkan. 

"Kamu masih ragu dengan rencana ini?" tanya Rangga. "Sampai nggak bisa senyum dari tadi..."

Aishin kembali menghela napasnya, bahunya terkulai lesu. "Maksudku, normal nggak sih kalau aku khawatir nanti pas pelaksanaannya nggak semudah yang dipaparkan Kak Maiko? Mendekati tiga orang yang Kak Maiko curigai sebagai pelakunya, dan melihat siapa yang kemungkinan pelaku utamanya? Wajar nggak sih kalau aku takut... celaka?"

Sesuatu yang dingin menyentuh pipi Aishin.

Aishin mengira Rangga menempelkan botol di pipinya, tapi saat dia menoleh, Rangga terlihat sedang menarik tangannya.

"Ada bulu mata di pipimu," kata Rangga.

Refleks, Aishin mengambil tangan Rangga, menggenggamnya erat dan menariknya ke dekat wajahnya.

Benar saja, di ujung telunjuk Rangga, ada sehelai bulu mata halus. 

Masih sambil menggenggam tangan Rangga yang dingin, Aishin mengambil bulu mata itu menggunakan telunjuk dan jempolnya. "Aku sedang mengkhawatirkan soal nasibku, kenapa Pak Rangga malah ngeribetin bulu mata," gerutu Aishin.

"Aku sudah melihat bulu matanya dari tadi. Sudah menahan diri dari tadi juga, tapi akhirnya gagal," kata Rangga. "Aishin, tolong, bisa nggak kamu lepaskan tanganku dulu?"

Aishin merasa tangan Rangga lebih dingin dari tangannya dan dia merasa agak enggan melepaskannya begitu saja.

Jadi Aishin malah menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam tangan Rangga dan menahannya. "Coba jawab dulu, wajar nggak kalau aku takut celaka?"

Rangga menatap Aishin lekat. "Aishin, manusia memang hanya bisa berencana dan berusaha.... Tapi aku janji akan berusaha sekuat tenaga, merencanakan sedetail yang aku bisa.... agar tidak ada apa-apa akan yang terjadi padamu."

Ucapan Rangga cukup memuaskan untuk didengar, dan Aishin melepaskan tangan pria itu.

Setelah itu, entah untuk keberapa kalinya dalam malam ini, Aishin menghela napas panjang.

***


Sengkarut AsmaraWhere stories live. Discover now