41 | Tidak Salah Paham Sama Sekali

1.6K 179 9
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Dandi menarik tangan Risa dengan lembut hingga berhasil menghentikan langkahnya. Risa pun berbalik menatap ke arah Dandi, tepat saat Meilani sudah tiba lebih dulu di rumah Rumsiah.

"Ada apa, Mas?" tanya Risa.

"Apakah kamu marah, Dek? Apakah kamu tadi sempat memikirkan tentang kata-kata ...."

"Iya, aku marah," jawab Risa, memotong ucapan Dandi.

Dandi pun terdiam di tempatnya. Perasaannya begitu terasa tak karuan saat mendengar jawaban yang Risa berikan.

"Aku marah pada Mas Dandi, karena Mas Dandi sudah membuang-buang waktu yang berharga hanya untuk meladeni laki-laki kurang kerjaan macam Kahlil," lanjut Risa. "Mas Dandi 'kan tahu sendiri kalau Kahlil itu memang suka cari gara-gara. Terus kenapa Mas Dandi harus meladeni ucapannya seperti tadi? Mas malah jadi buang-buang tenaga hanya untuk menghadapi manusia tidak penting seperti dia. Lain kali jangan hiraukan, Mas. Acuhkan saja dan uruslah yang lebih penting."

Dandi menatap lurus ke arah netra indah milik Risa yang sejak dulu selalu membuatnya merasakan rindu menggebu. Tatapan tegas yang terpancar dari netra wanita itu sama sekali tidak pernah berubah. Sama seperti sikapnya yang berbeda dari kebanyakan wanita pada umumnya, dan Dandi begitu memahaminya. Tidak ada yang berubah dari diri Risa, Dandi selalu mensyukuri hal itu setiap saat sejak dipertemukan kembali dengannya ketika ia pindah tugas ke Polres Semarang.

"Ja--jadi kamu marah karena aku menanggapi ucapannya, Kahlil? Bukan karena percaya pada ucapannya Kahlil tentang aku dan Mei?" Dandi ingin tahu lebih jelas.

"Kenapa aku harus mempercayai ucapan seorang pembohong seperti Kahlil, Mas? Aku ini pernah dibohongi dan dikhianati satu kali oleh dia. Jadi mana mungkin aku lebih percaya omongannya yang penuh kebohongan daripada percaya pada Mas Dandi dan Mei? Aku kenal Mei bukan sehari dua hari, begitu pula dengan Mas Dandi, meskipun aku sempat lupa siapa Mas Dandi sebelumnya. Tapi aku jelas percaya pada kalian berdua dan tahu bahwa aku tidak akan pernah dikhianati oleh kalian dalam keadaan apa pun. Lagi pula, kalian berdua adalah orang pertama yang benar-benar percaya pada kemampuan kedua mataku untuk melihat hal yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain. Kalau kalian bisa mempercayai aku, kenapa aku tidak bisa mempercayai kalian? Benar, 'kan?"

Sebuah senyuman pun akhirnya terbit di wajah Dandi. Risa tetap saja memasang wajah santai dan sama sekali tidak menunjukkan sesuatu yang berlebihan, meski tak bisa ia pungkiri bahwa Dandi begitu manis saat diperhatikan lebih jelas olehnya.

"Langsung saja bilang ... 'Aku sudah lama jatuh cinta sama kamu. Kamu mau enggak menerimaku sebagai calon Suamimu?', gitu loh kalimatnya. Capek sekali aku lihat kalian berdua itu bicara pelan-pelan, senyam-senyum tidak jelas. Kapan jadinya? Kapan?" gemas Meilani, yang ternyata sejak tadi berharap akan ada adegan sinetron yang terjadi di antara Risa dan Dandi.

Risa pun langsung mengalihkan tatap ke arah Meilani dan berkacak pinggang.

"Kalimat apa itu? Kalimat yang paling kamu harap-harapkan keluar dari mulut, Zul, ya? Kamu sudah tidak sabar ingin dilamar oleh Zul, rupanya. Oke ... aku akan langsung sampaikan pada Zul sekarang juga, biar perasaan kamu bisa jadi lebih tenang,

Rumsiah pun tertawa saat Meilani mendapat perlawanan telak dari Risa. Dandi pun langsung tersadar bahwa dirinya akan menjadi wasit bagi kedua wanita itu sebentar lagi. Mau tidak mau, ia jelas harus memisahkan mereka sebelum pecah perang yang akan membuat tetangga di sekitar rumah Rumsiah mengajukan protes pada Zulkarnain sebagai Kepala Desa.

"Risa! Jangan macam-macam kamu, ya!" ancam Meilani, sambil berlari mendekat ke arah Risa.

Risa pun segara berlindung di balik punggung Dandi.

"Rentangkan kedua tanganmu, Mas Dandi," pinta Risa.

Dandi pun langsung merentangkan kedua tangannya.

"Untuk apa aku merentangkan kedua tanganku ini, Dek?" tanya Dandi, yang sebenarnya masih agak bingung.

"Kalau Mei sampai di sini, halau dia dengan kedua tanganmu agar tidak berhasil mendekat padaku. Aku mau telepon Zul dulu," jawab Risa.

Telepon dari Risa segera diangkat oleh Zulkarnain di seberang sana tak lama kemudian.

"Risa!!! Jangan ngomong yang macam-macam kamu, ya!!!" Meilani sangat kesal karena Dandi benar-benar menghalau dirinya agar tidak mendekat pada Risa.

"Halo, assalamu'alaikum Zul. Aku mau bilang sama kamu kalau Mei sudah siap dilamar. Dia bilang sendiri kalimat apa yang dia tunggu terucap dari mulutmu di depannya. Kalimatnya begini ... 'Aku sudah lama jatuh cinta sama kamu. Kamu mau enggak menerimaku sebagai calon Suamimu?', gitu katanya Zul. Mbah Rumsi, aku, dan Mas Dandi jadi saksinya saat dia bilang begitu," ujar Risa, to the point.

Di seberang telepon sana, Zulkarnain pun segera cepat-cepat menuntaskan pekerjaannya di kantor agar bisa segera pulang.

"Oke. Bilang sama Mei, sore ini juga dia akan aku lamar," tanggap Zulkarnain.

"Oke, Zul. Akan aku sampaikan dengan senang hati."

Meilani berhasil lolos dari halauan Dandi setelah sambungan telepon antara Risa dan Zulkarnain berakhir. Wajah Meilani berubah pias luar biasa, karena tahu bahwa Risa benar-benar sukses menyampaikan kalimat yang diucapkannya tadi.

"Zul bilang, sore ini juga dia akan melamar kamu. Jadi ditunggu saja dengan tenang, kalem, dan tidak perlu akrobat ataupun kayang di atas tanah. Paham, 'kan?" Risa memberi arahan.

Rumsiah pun tertawa jauh lebih keras daripada sebelumnya, sehingga Siti langsung keluar dari rumahnya untuk memeriksa ada apa di halaman rumah Ibunya saat itu. Meilani terlihat sedang mencak-mencak tidak jelas, sementara Rumsiah tampaknya merasa sangat terhibur sekali. Siti pun langsung menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

"Rasa-rasanya baru kali ini Ibuku tertawa lepas seperti itu," ujar Siti.

"Mungkin itu karena Mei yang hobi mencari masalah dengan Risa, dan Risa yang hobi membalas Mei dengan caranya sendiri, Bu. Sejak dulu mereka memang susah seperti itu dan banyak orang yang sering merasa terhibur oleh adu mulutnya mereka," jelas Romi, yang baru saja pulang dari tempat kerja.

"Kalau kamu tahu bahwa mereka sebaik itu terhadap orang lain dan bahkan suka menghibur, kenapa dulu kamu tega membantu Kahlil memfitnah Nak Risa? Padahal kalau Ibu lihat, dia orang yang sama sekali tidak banyak macam-macamnya."

Romi pun menghela nafas sejenak, sambil menatap diam-diam ke arah rumah Sutejo.

"Namanya juga termakan hasutan, Bu. Kalau Kahlil masih juga tidak mengakui sendiri soal kesalahannya pada Risa, maka sampai detik ini aku dan Zul masih membencinya sama seperti saat kami masih berada di SMP. Untung saja Kahlil membuka sendiri rahasia itu pada kami berdua. Kalau tidak, jelas Zul tidak akan punya kesempatan untuk bisa dekat dengan Mei, karena Mei tidak sudi berdekatan dengan orang yang sangat membenci sahabatnya," jawab Romi, apa adanya.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now