39 | Sutejo Meracau

1.7K 176 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Sutejo merintih kesakitan saat sadar dari pingsannya. Seluruh tubuhnya babak belur dan penuh memar di bagian wajah. Nyai Kenanga jelas hanya menghilangkan sedikit ingatan Sutejo, sementara semua bekas dari siksaan yang diterima oleh laki-laki tua itu masih tetap terasa sampai ke tulang-tulangnya. Sutejo sendiri bahkan merasa yakin, bahwa saat itu ada beberapa uratnya yang keseleo dan tulangnya yang cedera akibat rasa sakit yang begitu tidak tertahankan.

"Eh? Siapa itu yang sedang baring-baring di jalanan?" tanya salah satu Ibu-ibu yang baru saja akan menjemur gabah di halaman rumahnya.

Ibu-ibu lain yang sedang menjemur pakaian dan menyapu halaman pun ikut melihat ke arah sosok yang tergeletak di jalanan tersebut.

"Itu Mbah Tejo!" seru salah satunya.

"Hah? Mbah Tejo? Kenapa Mbah Tejo baring-baring di jalanan? Mabuk lagi?" tanya suami dari ibu yang sedang menjemur gabah.

"Enggak tahu, Pak. Coba sana lihat. Jangan sampai dia ternyata sekarat gara-gara mabuk lalu meninggal di situ. Bisa geger Desa ini."

Pria itu pun segera keluar dari halaman rumahnya dan mendekat ke arah tempat di mana Sutejo berada. Betapa kagetnya orang itu saat melihat sekujur tubuh Sutejo yang babak belur dan wajahnya yang penuh dengan memar. Sutejo jelas belum pernah terlihat begitu sebelumnya, meski sedang mabuk berat sekalipun.

"Mbah Tejo? Sampeyan kenapa, Mbah? Habis minum, Mbah?" tanya pria itu, ingin memastikan.

"A-ku ... me-ra-sa ... sa-kit ... ba-dan-ku ... se-mu-a-nya," jawab Sutejo, terdengar seperti orang mabuk.

"Lah itu yang aku tanyakan, Mbah. Sampeyan kenapa bisa sampai babak belur begini? Habis mabuk? Adu jotos sama pelanggan lain di bar? Atau sampeyan dikeroyok sama yang lebih muda dan tidak bisa melawan?"

"Pu-lang. A-ku ... ma-u ... pu-lang," pinta Sutejo.

"Ya sudah jelas Mbah harus pulang. Mana boleh baring-baring terus di sini. Bisa geger nanti Desa kita kalau Mbah mau baring-baring di sini sampai sore. Tunggu, aku panggilkan dulu warga lain agar membantu mengangkat Mbah Tejo sampai ke rumah."

Pria itu pun segera berlari meninggalkan Sutejo untuk memanggil warga lainnya. Beberapa pria berdatangan tak lama kemudian dan tubuh Sutejo segera digotong dari jalanan menuju ke rumahnya. Juminah yang sedang menyapu di halaman rumah tampak sangat kaget saat melihat warga berdatangan sambil menggotong tubuh Sutejo yang sudah babak belur. Kasminah, Rumsiah, dan Siti tampak hanya berani memperhatikan dari halaman rumah masing-masing. Mereka tidak ingin ikut campur dengan keluarga itu, karena takut akan kembali mendengar caci maki tidak berujung yang biasa keluar dari mulut Sutejo ataupun Juminah.

"Ya ampun, Pak! Bapak kenapa? Kok bisa sampai babak belur dan memar-memar begini?" tanya Juminah, sedikit panik saat melihat keadaan suaminya.

Sutejo jelas tidak bisa memberikan jawaban karena rahangnya terasa sangat sakit. Hal itu membuat Juminah segera menoleh ke arah para Bapak-bapak yang mengantarkan Sutejo pulang.

"Suamiku kenapa? Kok dia bisa jadi babak belur seperti ini?" tanya Juminah.

"Enggak tahu, Mbah Jum. Tadi itu Mbah Tejo mendadak terlihat sedang baring-baring di jalanan depan rumah Lik Mus. Ketika aku dekati, Mbah Tejo memang sudah babak belur begitu. Saat aku tanya, bicaranya justru meracau tidak jelas dan terputus-putus. Mungkin Mbah Tejo habis mabuk lagi seperti biasanya, Mbah Jum. Makanya Mbah Tejo tadi sampai tidak sadar kalau dirinya sudah babak belur begitu."

"Mabuk? Masa iya suamiku mabuk pagi-pagi buta begini? Ini masih jam sembilan. Lagian mana ada juga penjual minuman keras yang buka jam segini?"

"Ya, enggak tahu. Kami 'kan hanya menemukan Mbah Tejo di jalanan dan kalaupun soal apa yang terjadi, jelas Mbah Tejo sendiri yang lebih tahu persisnya. Mbah Jum tanya saja coba sama Mbah Tejo."

Juminah pun kembali menatap ke arah Sutejo yang tampak masih linglung.

"Pak! Bapak kenapa sebenarnya? Jawab, Pak!" paksa Juminah.

"Nyai Kenanga," sahut Sutejo.

"Hah? Nyai Kenanga, Mbah? Kenapa Nyai Kenanga? Mbah ketemu sama Nyai Kenanga?" tanya salah satu Bapak-bapak yang ikut mengantar Sutejo pulang.

Juminah sudah mulai merasa sangat geram karena suaminya itu selalu saja menyebut dan mengingat soal Nyai Kenanga. Tidak peduli di mana dan kapan, pasti selalu saja ada nama Nyai Kenanga yang dibawa-bawa.

"Nyai Kenanga yang membuatku begini. Dia membuatku lemas tak berdaya begini," jawab Sutejo.

Bapak-bapak yang mengantar Sutejo pulang saat itu hampir saja keceplosan tertawa. Andai saja mereka tidak berpikir bahwa yang ada di hadapan mereka adalah orangtua, maka mungkin mereka tidak akan menahan-nahan diri untuk tertawa selantang mungkin.

"Maaf ini, Mbah Tejo. Bukannya kami ingin bicara tidak sopan atau bagaimana. Tapi ... masalahnya Nyai Kenanga jelas tidak mungkin bisa membuat Mbah Tejo babak belur sampai seperti ini. Nyai Kenanga itu perawakannya kecil mungil, hanya karena dia agak tinggi saja makanya sering disegani oleh para pria seperti kami."

"Dan sudah sangat jelas tidak mungkin kalau Nyai Kenanga bisa membuat Mbah Tejo lemas tak berdaya. Nyai Kenanga 'kan sudah lama menghilang dari Desa ini. Kalaupun ada yang bisa membuat Mbah Tejo lemas tak berdaya betulan, mungkin itu adalah LC Karaoke yang tersedia di bar, Mbah."

Juminah sudah tidak tahan lagi dengan pembicaraan yang memuakkan itu. Ia pun segera bangkit dari lantai teras dan menatap marah ke arah para Bapak-bapak yang tadi mengantarkan Sutejo pulang.

"Sebaiknya kalian semua pulang sekarang juga! Jangan coba-coba menghina Suamiku! Dia tidak mungkin mau main sama LC Karaoke, sementara di rumah ada aku, Istrinya!" tegas Juminah.

Semua Bapak-bapak yang ada di sana pun segera berpamitan setelah mendengar Juminah marah. Rumsiah jelas langsung menggeleng-gelengkan kepalanya, saat tahu kalau Juminah masih saja sering membela-bela Sutejo padahal tahu kalau suaminya itu melakukan kesalahan.

"Tidak ada berubahnya. Sama saja seperti yang sudah-sudah," gumam Rumsiah.

Tatapan tajam Juminah kini terarah pada Sutejo. Sutejo bisa melihat tatapan tajam itu dan dirinya hanya bisa meringis kesakitan.

"Nyai Kenanga lagi ... Nyai Kenanga lagi ...! Sampeyan itu benar-benar keterlaluan, Pak! Tidak pernah sampeyan memikirkan perasaanku sejak awal kita menikah! Sekarang urus saja sendiri diri sampeyan! Aku tidak sudi mengurus sampeyan lagi!" tegas Juminah.

"Bu ... bantu aku berdiri," pinta Sutejo, terdengar memelas.

"Suruh Nyai Kenanga bantu berdiri! Jangan suruh-suruh aku!"

"Bu ... cepat! Bantu aku!" perintah Sutejo, jauh lebih lantang.

Juminah tidak menghiraukan hal itu. Dibiarkan dan ditinggalkannya Sutejo sendirian di teras rumah, sehingga Sutejo harus berjuang sendiri untuk masuk ke dalam rumah dengan cara merayap di lantai.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora