; 23

1.3K 181 30
                                    

Calvin menyesal. Penyembuhan yang seharusnya berjalan lancar, sedikit terhambat oleh masalah lambung akibat kurangnya makanan yang mengisi perut. Ditambah hari itu dia coba-coba meminum kopi tanpa sepengetahuan yang lain. Walaupun hanya setengah gelas, tak menyangka dampaknya begitu berat.

Untungnya, masalah itu dapat segera teratasi dengan baik berkat kemauan Calvin untuk sembuh cukup tinggi.

Sesuai dugaan, Mama Papa-nya menjadi lebih protektif. Setiap yang mau bertemu Calvin harus dipastikan bersih serta sehat. Kegiatan Calvin juga terjadwal dan dipantau ketat. Keluar rumah seputar olahraga ringan di taman, atau makan bersama一itupun rumah makannya higienis.

Meski begitu Calvin tidak pernah kesepian. Setiap hari ada saja yang datang menemani. Otis juga mengurangi perjalanan bisnis ke luar kota ataupun negeri, demi bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan putra semata wayangnya.

Otis bergerak di posisinya memeluk Calvin yang masih terlelap. Dia kecup pelipis sang anak hingga kepala yang menempel dadanya bergerak kecil.

"Sh sh, tidur lagi," ucap Otis seraya menepuk-nepuk punggung anaknya untuk menenangkan.

Perlahan dia bangun, sebisa mungkin tidak membuat pergerakan besar yang mengganggu. Sejenak dia diam dalam posisi duduk. Terpaku pada wajah damai sang putra, namun ekor matanya menangkap helaian rambut di bantal belakang kepala Calvin.

Si ayah tersenyum miris. "Bentar lagi sembuh ya," berbisik, menyibak rambut yang syukurnya masih lebat, tumbuh cepat walaupun rontok.

Tak berselang lama setelah Otis tinggalkan kamar, Calvin bangun. Meraba-raba kasur depannya dan menyadari sang ayah telah menghilang. Lantas dia bangkit dengan mata belum terbuka sempurna.

Tontonan sehari-hari Calvin berupa kemesraan kedua orang tuanya. Seringnya work out bersama, kadang juga gendong-gendongan keliling rumah. Pagi-pagi di hari libur pun sudah disuguhi tangan Papa melingkari perut Mama一yang sedang memasak一dari belakang.

Langkahnya tak bersuara sebab Calvin memakai kaos kaki. Calvin lantas pura-pura menguap sambil meregangkan badan.

"Eh, halo, good morning sweetheart."

"Morning, sayang."

Sapa Witney dan Otis bergantian. Namun, Otis tak lepaskan tangannya, malah wajahnya semakin mendusel ke leher belakang sang istri.

"Mas ih gantian, aku mau peluk anakku." Witney menggeliat, berusaha melepaskan diri.

"Calv bisa nunggu kok. Kamu anget, Ney."

Angin bertiup dari jendela dapur yang terbuka. Calvin memeluk diri sendiri saat merasakan hawa dingin menusuk kulitnya di balik piyama kotak-kotak. Giginya bergemelutuk.

Kegiatan dua sejoli pun otomatis terhenti. Otis langsung bergerak menutup jendela sementara Witney mendekap, menarik kepala Calvin bersandar di bahunya.

"Di luar emang lagi dingin." Dari mengusap punggung Calvin, tangan Witney bergerak memeriksa kening. "Hangat. Hari ini olahraganya di dalem aja ya. Nggak ada tamu dulu sampai demamnya turun."

"Calv nggak demam kok, nggak kenapa-kenapa," Calvin mengelak, padahal jelas dia merasa meriang.

Otis kembali membawa selimut. Dibungkusnya Calvin dari belakang beserta dirinya memeluk sang anak juga istri. Sehingga kini Calvin diapit oleh Mama Papa-nya seperti sandwich.

"Papa pernah bilang apa? Sakit bilang sakit, Calv. Jangan ditahan." Otis mencium belakang kepala anaknya. Terbukti setelah itu Calvin bersin disusul batuk.

"Tuh kan," andalan Witney ketika mengomeli. "Mulai flu ini. Mama bikinin susu jahe. Calv nunggu di depan TV gih."

Sang ibu lepas, begitupun ayahnya. Lantas Calvin mengeratkan selimut dan berlalu. Kepergiannya dipandangi Witney dengan tatapan sayang sekaligus sendu.

CALV : Season 2 ⁽ᴱᴺᴰ⁾Where stories live. Discover now