; 13

1.1K 196 51
                                    

Otis sengaja mengosongkan semua jadwal. Dia dan istrinya menuruti titah Tuan Arthur untuk sementara tinggal di kediaman megah beliau, demi mempermudah pengawasan terhadap Calvin agar tidak bertemu Frans.

Tuan Arthur pun mengetahui semuanya, tentang kuliah Calvin dan tentang masalah yang terjadi di antara teman-temannya. Beliau bahkan secara langsung menghubungi dekan fakultas, mengusulkan pengadaan kelas online semata-mata agar Calvin bisa tetap kuliah meski dari jarak jauh.

"Mama mana?"

"Lagi masak," jawab Otis seraya merapikan rambut anaknya yang acak-acakan khas bangun tidur.

Ayah dan anak itu tengah bersantai di sofa, menghadap luar dibatasi jendela kaca besar. Tiang infus turut serta, menggantungkan sekantong cairan obat yang mengalir ke punggung tangan Calvin. Sementara Otis menjadikan dirinya sebagai sandaran, memeluk sang anak dari belakang.

"Terus sekarang Calv capek?" tanya Otis setelah mendengar keluh kesah putra semata wayangnya.

"He'em. Pengen istirahat."

"Pulang aja kalo gitu ya, tinggal sama Mama Papa. Tapi kalo mau coba diselesaikan dulu juga nggak papa."

Calvin memainkan cincin di jari manis sang Papa. "Kalo Kak Harsa nggak mau ketemu Calv, gimana?" cicitnya.

"Ya jangan dipaksa. Setiap orang punya waktu beda-beda untuk tenang. Lagian Daddy Frans-mu itu nggak mungkin diem aja kan? Pasti udah ngobrol sama Harsa secara kamu nggak sepenuhnya salah. Niat Calv bagus pengen bantu, cuma kurang komunikasi."

Si anak mengangguk, kemudian diam sejenak memikirkan kapan kiranya mereka sama-sama siap bertemu. "Kak Noah sekarang udah tenang belum ya." Bertanya kepada diri sendiri, namun didengar Ayahnya.

"O ya pasti. Berkat Calv hebat bisa nangkep maling laptopnya, Noah pasti lega file-file pentingnya nggak jadi hilang."

"Tapi Kak Noah kasihan tau Pa dibanding-bandingin sama kakaknya terus."

Membahas soal prestasi dan pendidikan, Otis teringat perlakuan Ibu kandung Calvin di masa lalu. "Katamu Noah pinter kan? Prediksi Papa nih, Noah akan membungkam mereka dengan prestasinya."

"Hmm iya juga. Kata orang Calv can't relate soalnya Calv anak tunggal jadi nggak paham gitu-gituan. Padahal jadi anak tunggal kan ada nggak enaknya juga."

"I know." Otis mengecup pelipis anaknya. "Makanya Papa nggak maksa Calv buat jadi penerus Papa. Now tell me, apa Calv merasa terbebani dengan tuntutan Grandpa?"

Si anak membuang napas berat. "Calv tu...bingung. Selama ikut Daddy Frans antara enjoy nggak enjoy. Calv mikir nggak enjoy-nya karena Calv ngelakuin itu diem-diem, so I'm still trying to figure it out.

Ada jeda sebelum dilanjut, "sebenernya takut juga kalo umur Calv nggak sampe jadi pewaris. Bisa aja malah Calv meninggal duluan daripada Grandpa. I'm sick, probably dying soon and I'm afraid, Pa."

"Heh! Nggak boleh ngomong gitu ah. Pamali." Otis memiringkan kepala menumpuk dengan milik Calvin, lalu mengeratkan pelukan. "Habis ini sehat kok. Yakin, oke?"

Tidak dijawab malah bertanya hal lain. "Joe sama Kak Thala di mana ya Pa? Pengen cek ke kos takutnya mereka pulang atau yang lain nyari nggak ajak Calv. Mana HP Calv lagi disita Grandpa."

Otis elus punggung tangan sang anak yang berinfus. "Papa anterin. Nanti biar Papa yang bilang Grandpa. Asalkan Calv mau janji." Lalu dicium lengan ringkihnya. "Janji ini jangan dicoret-coret lagi."

Calvin mendongak, bersirobok dengan sorot mata sarat akan kekhawatiran dari sang Papa. Dia mengangguk tanpa disertai ucapan janji.

Pintu diketuk dua kali dari luar, Otis dan Calvin menoleh bersamaan. Sekadar formalitas sebab Diana sebagai pelaku sudah membuka pintu secara mandiri. Sang nenek masuk membawa segelas susu. 

CALV : Season 2 ⁽ᴱᴺᴰ⁾Where stories live. Discover now