35 | Dikutuk

1.7K 200 16
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Dandi tampak begitu lega setelah mendengar kabar bahwa Risa telah sadar kembali setelah lima jam berlalu. Panji dan Kumala bisa melihat betapa leganya cucu mereka saat itu, sehingga mereka pun ikut merasa lega.

"Kalau kamu memang menyukai Risa, cepatlah katakan padanya mengenai perasaanmu itu. Jangan sampai nanti kamu didahului oleh orang lain," saran Kumala.

Wajah Dandi langsung bersemu merah jambu ketika Kumala mendadak membahas soal perasaannya terhadap Risa. Ia yakin sekali kalau dirinya belum mengatakan apa-apa soal perasaannya tersebut. Namun entah bagaimana Neneknya bisa mengetahui soal itu dan langsung membahasnya.

"Mbah Putri tahu dari mana soal perasaanku terhadap Risa? Aku yakin sekali, kalau diriku belum mengatakan apa-apa soal itu pada Mbah Putri ataupun pada Mbah Kakung," Dandi ingin tahu.

"Kami tidak perlu mendengarmu mengakuinya, Nak. Caramu menatapnya, caramu tersenyum ke arahnya, dan caramu memperlakukan dia sudah begitu jelas dimata kami. Lagi pula, menunggumu mengakui kalau kamu menyukai Risa jelas membutuhkan waktu yang sangat lama. Kamu itu 'kan hobi sekali memendam perasaan sendirian sejak masih kecil," ujar Panji, apa adanya soal sifat Dandi.

"Tapi untuk kali ini sebaiknya kamu tidak memendam perasaanmu sendiri, Nak. Segera ungkapkan pada Risa, dan biarkan Risa memikirkan apakah dia akan menerimamu atau tidak. Tidak boleh ada penyesalan di dalam hatimu, karena penyesalan hanya akan membawakanmu rasa sakit yang tidak ada ujungnya," tambah Kumala.

"Kalau kamu bertemu lagi dengan Risa, langsung saja katakan. Jangan ragu-ragu," Panji mendukung.

Meilani kini menatap ke arah Risa yang baru saja selesai melaksanakan shalat isya' dan maghrib yang dilakukan secara jamak takhir, karena tadi Risa melewatkan waktu shalat maghrib akibat tidak sadarkan diri. Risa menatap balik ke arah Meilani sambil melipat mukenanya.

"Kamu belum mau tidur?" tanya Risa.

"Belum. Aku mau tunggu kamu selesai shalat dulu, baru tidur," jawab Meilani.

"Perutmu sudah kenyang, 'kan? Lain kali jangan sampai lupa makan Mei, meski aku sedang ...."

"Sudah enggak usah dibahas," mohon Meilani, dengan kedua mata berkaca-kaca. "Kamu enggak tahu betapa paniknya semua orang tadi sore saat kamu langsung ambruk begitu saja ke lantai. Mas Dandi berusaha membangunkan kamu dan bahkan merebut kamu dari dekapanku, saking dia khawatirnya. Dia menggendongmu ke kamar ini, lalu Mbah Asih dan Mbah Kumala ikut membantuku membersihkan dirimu setelah Mas Dandi dan Zul keluar dari sini. Mas Dandi bersikeras tidak mau pulang pada awalnya, karena dia mau menunggui kamu sampai kamu bangun. Tapi Mbah Panji bilang bahwa mereka harus pulang, karena kita berdua adalah wanita dan tidak baik jika wanita berada satu atap dengan pria yang belum menikahinya terutama saat malam hari. Bisa terjadi fitnah. Barulah setelah itu Mas Dandi mau diajak pulang, tapi dia tidak berhenti menghubungiku dan menanyakan kabarmu. Jadi jangan bahas soal makan jika aku memang sedang sekalut itu menghadapi kamu. Kamu satu-satunya orang yang selalu ada di sisiku sejak kita saling kenal, Sa. Jadi aku jelas akan lebih memikirkan kamu daripada isi perutku," ungkap Meilani, yang kini sudah menangis cukup keras.

Risa pun segera mendekat dan memeluk Meilani dengan lembut. Ia mengusap-usap punggung Meilani seperti yang biasa dilakukannya jika Meilani sedang bersedih.

"Maaf, ya, kalau aku sudah membuatmu khawatir sampai sejauh ini. Aku enggak ada niatan sama sekali untuk membuatmu khawatir sampai tidak bisa makan," bujuk Risa.

"Iya, aku paham kok. Aku enggak marah soal kamu yang mendadak pingsan. Aku cuma ingin meluapkan yang terganjal di hatiku saja sejak tadi," balas Meilani.

"Tapi kalau dengan membuatmu khawatir aku jadi bisa berhemat dan mengurangi jatah makan harianmu, pasti akan kulakukan lebih sering, Mei."

BUGH!!!

Meilani langsung melayangkan gebukan mesra ke punggung Risa, hingga membuat Risa meringis kesakitan.

"Jangan coba-coba mengurangi jatah makanku! Aku akan membuatmu tidur di taman bunga belakang rumah kalau kamu sampai berani!" ancam Meilani.

* * *

Seharian itu Risa dan Meilani hanya menghabiskan waktu di rumah saja. Hari minggu mereka habiskan dengan mendekam di kamar masing-masing, karena Dandi kebetulan harus pergi berbelanja bersama Panji dan Kumala, sementara Zulkarnain juga sedang meninjau beberapa pekerjaan yang belum sempat diselesaikan. Dari pagi hingga malam, kedua wanita itu sama sekali tidak keluar rumah--kecuali untuk menyapu teras dan halaman. Mobil milik Risa terus saja terparkir di halaman, dan sudah ditutupi dengan sarung mobil agar tidak perlu terkena kotoran apa pun yang mengharuskannya mencuci mobil tersebut.

Sutejo tahu kalau Risa dan Meilani sudah kembali menempati rumah itu. Sejak pagi ia mengawasi rumah itu, karena berencana ingin masuk ke sana jika sudah tidak banyak orang berlalu lalang. Ia merasa penasaran soal Risa yang begitu mirip dengan Nyai Kenanga. Sekaligus ia ingin memeriksa halaman belakang rumah itu, apakah ada tanda-tanda bahwa jasad Nyai Kenanga akan ditemukan oleh Risa dan Meilani.

Malam harinya, Sutejo benar-benar melaksanakan niatnya. Romi melihatnya keluar dari rumah, karena malam itu dia sedang tidak pergi kerja dan hanya menghabiskan waktu di halaman rumah Rumsiah. Ia segera masuk ke dalam rumah Rumsiah dan berpamitan untuk mengikuti Sutejo. Rumsiah memberinya izin, karena merasa penasaran dengan tingkah Sutejo yang akhir-akhir ini terlihat sangat aneh.

Romi melihat dengan jelas bahwa Sutejo saat itu akan menuju ke rumah milik Nyai Kenanga. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan dan segera merekam aksi Sutejo saat itu menggunakan ponselnya. Ia terus mengikuti langkah Sutejo yang saat itu tampak sedang mengendap-endap di halaman depan rumah milik Nyai Kenanga. Sutejo langsung menuju ke jalan samping rumah, karena ingin segera tiba di halaman belakang rumah tersebut. Romi memasuki pagar rumah itu dengan perasaan takut, meskipun ia tahu bahwa rumah itu tidak kosong karena Risa dan Meilani ada di dalam. Namun tetap saja, Romi merasa masuk ke rumah orang tanpa izin adalah sesuatu yang salah.

"Assalamu'alaikum, Nyai Kenanga. Aku mohon izin masuk. Aku mau mengikuti Mbah-mbah tidak tahu diri itu," bisik Romi.

Sutejo sudah berbelok ke jalan samping rumah dan akan segera tiba ke halaman belakang rumah itu. Namun mendadak Sutejo seperti kejang-kejang di tempatnya berdiri dan tak lama kemudian dia merintih seakan merasa sangat kesakitan. Romi merekam semua kejadian itu meski dirinya kini sedang bersembunyi di belakang mobil Risa. Setelah mengalami kejang-kejang dan merintih kesakitan, Sutejo pun langsung lari kembali ke arah halaman depan dan membuat Romi segera merayap ke bagian bawah mobil. Ia bersembunyi di sana sampai Sutejo benar-benar keluar dari halaman rumah milik Nyai Kenanga.

Romi kemudian keluar dari bagian bawah mobil setelah Sutejo benar-benar sudah tidak terlihat olehnya.

"Nyai Kenanga, aku permisi dulu. Maaf kalau aku bertamu dengan tidak sopan. Maaf. Assalamu'alaikum," pamit Romi, masih berbisik seperti tadi.

Romi kembali menutup pagar rumah itu dengan sangat pelan, lalu berjalan menuju ke arah rumah Rumsiah kembali. Saat ia hampir sampai, ia melihat Sutejo sedang menggaruk-garuk seluruh tubuh di teras rumahnya. Kedua mata Romi pun membola. Seketika ia pun ingat dengan kutukan yang selalu melegenda di Desa Banyumanik tersebut.

"Sepertinya Mbah Tejo terkena kutukan, karena dia tidak meminta izin lebih dulu untuk masuk ke rumah Nyai Kenanga. Tapi bisa jadi juga, dia terkena kutukan karena dia adalah orang yang membunuh Nyai Kenanga," gumam Roni, sambil terus mengawasi.

* * *

TEROR MAWAR BERDARAH (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now